Konstruksi Makna dalam Bahasa 

0
351

Oleh: Hanna Suteja

Pierre Bourdieu mengatakan bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi, melainkan alat kekuasaan juga. Mungkin kita tidak menyadari meskipun hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Sebagai contoh perkataan seorang atasan  kepada bawahannya tentu tidak selalu dapat  dianggap sebagai percakapan biasa. Perkataan atasan dapat diartikan sebagai instruksi atau perintah yang harus dilaksanakan. Hal ini dimungkinkan karena  atasan memiliki otoritas dan kekuasaaan karena posisinya. Demikian juga perkataan orang tua juga harus diikuti anak, dan bukan sebaliknya. 

Menjelang pilpres yang sebenarnya masih cukup lama kita banyak disuguhi pernyataan dan komentar dari para petinggi partai atau politisi. Bagaimana kita harus bersikap terhadap pernyataan dan komentar-komentar yang bersliweran di media massa dan media sosial? Ketika kita mendengar pernyataan seseorang tentu kita tidak serta merta menerima dan mempercayai perkataan tersebut.  

Ketika mengkritisi penggunaan bahasa perlu ditanyakan siapa yang mengatakannya, kapan, kepada siapa dan kepentingan apa di balik pernyataannya tersebut.  Dengan kata lain makna penggunaan bahasa tidak bisa terlepas dari konteksnya. Bahasa dalam pengertian ini disebut wacana. Praktik penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam dunia politik juga tidak jauh berbeda berbeda dan tentunya menarik untuk dianalisis.

Sebagai seorang pakar linguistik Bourdieu mengamati adanya simbolisasi kekuasaan dalam penggunaan bahasa dan menjadikannya sebagai strategi kekuasaan. Menurutnya bahasa tidak pernah netral karena di dalamnya dapat terkandung ideologi, dan strategi kekuasaan dalam mencapai tujuan tertentu.

Dalam kunjungannya ke kantor DPW Nasdem Sumatera Utara Anies Baswedan ditanya tentang tanggapannya atas tudingan praktik intoleransi sebagai akibat politik identitas yang dilekatkan orang kepada dirinya.  Berikut adalah kutipan berita dari detik.com tertanggal 5 November 2022: “Saya sering menyampaikan, jangan di-counter, jadi kalau bapak mendengar bahwa misal dikatakan ‘Anies tidak toleran, diskriminatif, Anies tidak bersahabat’, maka bapak jangan jawab ‘Anies bersahabat’, bapak tanya saja ‘bisakah ditunjukkan buktinya?’ Karena kalau tidak bisa ditunjukkan buktinya, maka pernyataan itu batal demi akal sehat,” kata Anies.”  

Jadi dalam menjawab pertanyaan itu Anies bukannya memberikan sanggahan terhadap tuduhan itu; sebaliknya Anies menyarankan agar penanya balik bertanya kepada penuduhnya untuk membuktikan kebenaran tudingan mereka. Dalam hal ini strategi yang digunakan Anies menurut Haryatmoko dapat dikategorikan sebagai sebuah narasi alternatif. Penggunaan narasi tersebut  merupakan strategi dalam komunikasi untuk membalikkan situasi agar isu yang sedang dibicarakan teralihkan dengan narasi lain yang sengaja diproduksi untuk maksud tersebut. 

Di hadapan anggota partai pengusungnya sebagai bakal capres tentu mereka juga menginginkan bakal calon presiden pilihan partainya adalah sosok yang bereputasi baik sehingga narasi alternatif yang dikatakan Anies tersebut tentu akan membuat sosok Anies terkesan sebagai korban fitnah oleh pihak-pihak yang tidak menyukainya. Jika orang mencermati informasi yang beredar di media massa maupun media sosial, orang tentu dapat dengan mudah membuktikan benar tidaknya tudingan tersebut. Namun, itulah yang terjadi dalam penggunaan bahasa dalam ranah politik. Yang benar belum tentu benar dan yang salah belum tentu salah.

Saat ini kita hidup dalam era post truth di mana setiap orang bisa mengatakan sesuatu yang salah sebagai kebenaran. Anies paham betul bahwa semua pernyataannya tentu akan diliput oleh berbagai media massa karena beliau adalah sosok yang saat ini menjadi pusat perhatian sesudah pencapresannya oleh partai Nasdem. Sebenarnya tidaklah terlalu sulit untuk membuktikan kebenaran tudingan tentang Anies tersebut. Namun, Anies sadar betul akan tindakannya yang dengan penuh keyakinan menantang pihak oposan dengan narasi alternatifnya untuk membuktikan tudingan mereka. Sebagai bakal calon presiden tentulah Anies sangat berkepentingan untuk menampilkan diri sebagai figur yang pantas didukung. Inilah apa yang disebut oleh Bourdieu bahasa sebagai alat kekuasaan yang tentunya tidak bersifat netral karena  di baliknya selalu ada ideologi dan kepentingan yang hendak dicapainya. Untuk itu penggunaan bahasa dapat dikonstruksi sedemikian rupa untuk memberi makna tertentu sesuai yang diinginkan. Bahasa juga dapat dipakai untuk mendekonstruksi makna.

Dalam narasi alternatif yang sudah disebutkan di atas  sebenarnya Anies melakukan keduanya. Anies mengonstruksi makna bahwa dia tidak intoleran dan sekaligus mendekonstruksinya dengan mencoba mematahkan persepsi negatif terhadap dirinya dengan cara memojokkan pengkritiknya untuk membuktikan kebenaran klaim mereka. 

Contoh yang dijelaskan di atas hanyalah salah satu dari sekian praktik penggunaan bahasa yang tidak netral dan sarat dengan kepentingan. Dalam menghadapi masa menjelang pilpres hendaklah kita senantiasa bersikap kritis terhadap makna dan tujuan yang tersembunyi dibalik  pernyataan, komentar dari para politisi maupun netizen yang bertebaran baik di media massa maupun di media sosial. Dengan demikian  kita tidak akan mudah digiring oleh konstruksi-konstruksi makna untuk mencapai tujuan pihak yang berkepentingan. 

=====

Penulis adalah dosen Bahasa Inggris Universitas Pelita Harapan, Jakarta

Komentar ANDA?