KTR DAN INTEGRITAS YANG TERPASUNG

0
905

Oleh: Alexander Kapitan

Guru SMP Negeri 11 Kota Kupang,

sedang menyelesaikan program pasca sarjana pada Undana Kupang

 

Keberanian menghadapi realita

Mengawali tulisan ini, penulis berterimakasih kepada Walikota Kupang atas keberaniannya mengeluarkan Peraturan Walikota Kupang Nomor 34A tahun 2014, dan Surat Edaran No. BAGSOS.440/121/2014, tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Surat tertanggal 29 September 2014 itu, kini berusia lima bulan dan telah dikirim ke segenap SKPD, kantor, badan, instansi pemerintah maupun swasta untuk ditindaklanjuti. Dari sisi waktu pemberlakuan peraturan ini, semestinya masih hangat dengan sosialisasi, rapat-rapat internal SKPD/Badan/Kantor, pengawasan yang melekat, sampai kepada sanksi yang diberikan. Benarkah demikian?

Keberanian dari seorang walikota seyogianya diikuti dengan keberanian para pimpinan SKPD, Instansi, Kantor, Biro, Badan, Bagian, Seksi, Sekolah, Yayasan dan lembaga lainnya. Pimpinan pada level di bawahnya mesti merasa malu jika tidak mengambil bagian dalam keberanian tersebut, karena untuk itulah mereka dipilih   menjadi bagian dari kepemipinan. Dan untuk menjaga kepercayaaan sebagai bagian dari kepemimpinan, ia harus berjuang keras untuk melawan dirinya sendiri demi loyalitas kepada atasan untuk sebuah program yang berhubungan dengan banyak orang, misalnya dalam hal ini adalah memimpin dirinya dan bawahannya untuk tidak merokok sembarang tempat atau tidak merokok sama sekali. Sebagai bawahan dalam kepemimpinan walikota, ia mesti berupaya menyukseskan peraturan dan intruksi atasannya dengan menerapkan waktu merokok atau tidak merokok, dan menentukan tempat merokok yang benar bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan napsu merokoknya.

Keberanian memulai mesti dilanjutkan dengan keberanian untuk melanjutkan, dan keberanian berkata-kata haruslah dibarengi dengan keberanian bertindak dan mengambil resiko atas tantangan. Tantangan itu adalah menghentikan, mengurangi atau membatasi kebiasaan dari sejumlah orang yang terbiasa merokok di sembarang tempat. Kebiasaan ini dianggap perlu diubah karena dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan, pendidikan, kebiasaan dan pola hidup orang lain. Mengganti pola dan kebiasaan lama dengan yang baru memang tidaklah mudah sebagaimana yang dibayangkan. Menghentikan dan mengurangi (barangkali) adalah urusan perokok tetapi membatasi adalah urusan bersama dengan orang lain, mengingat waktu dan tempat adalah ruang hidup bersama.

 

Keberanian adalah sebuah sikap tegas untuk melawan dan menantang kesulitan dan hambatan. Sikap ini dipunyai semua orang, tetapi keberanian karena kekuasaan terberi sehingga punya alasan untuk mengubah mental perilaku orang lain adalah kepunyaan pimpinan dari aspek manapun. Kaitan dengan KTR, power terberi itu mesti didayagunakan untuk kemaslatan banyak orang. Power terberi ini mesti mampu mengubah pola hidup yang menjadi mentalitas orang, untuk beralih dan menempatkan diri serta kebiasaan pada waktu dan tempat yang benar. Waktu yang benar adalah tidak mengganggu pekerjaannya dan pekerjaan orang lain, dan tempat yang benar adalah tempat yang dikehendaiki untuk tidak menularkan nikotin dari asap rokok, dan bau mulut serta hawa tak sedap dari perokok yang berhembus ke mana-mana. Apa lagi jika hembusan yang keluar itu mengandung virus tertentu.

Realita kini adalah peraturan dan edaran tersebut seolah tidak berdaya melawan mentalitas yang menganggap merokok adalah sebuah gaya hidup, membangun nilai diri, simbol kejantanan, kebutuhan sosial dan alat komunikasi, sehingga nampak sekali banyak yang masih merokok di sembarang tempat. Mereka seolah kehilangan tenggang rasa dengan bebasnya merokok   di kantor-kantor, sekolah, tempat pesta, kelas, bus, mikrolet dan di tempat layanan umum lainnya tanpa peduli dengan rasa terganggunya orang lain di sekitar. Realitas ketidakpedulian ini juga ditunjukkan dengan merokok di hadapan anak-anak dan remaja, ibu-ibu hamil, orang sakit dan orang lain yang anti madat. Ketidakpedulian lainnya adalah merokok di depan papan nama, pengumuman, plakat yang bertulisan ‘kawasan bebas asap rokok, dilarang merokok atau terimakasih anda tidak merokok’. Mengapa demikian?

Integritas diri sebagai kunci

Apabila edaran dan peraturan itu secara hirarki dikirim untuk para pimpinan pada level di bawahnya – bukan langsung kepada masyarakat luas – berarti ada sebuah keyakinan bahwa para pimpinan terpilih itu mempunyai pengetahuan, kekuatan, kuasa dan cara untuk menanggapi dengan melaksanakannya. Karena mereka mempunyai bawahan untuk diarahkan dan bawahan itu tentulah terbatas jumlahnya sehingga memungkinkan sebuah peraturan dan tata tertib dapat dilaksanakan, dikendalikan, dipantau, diawasi dan dievaluasi.   Tidak mungkinlah mengharapkan lebih dari perberlakukan KTR dengan langsung mengumumkan secara langsung kepada masyarakat luas tanpa pengendali. Bagaimanapun tingkat kesulitan sebuah tugas atasan untuk diejawantahkan, jika dilakukan dengan cara dan strategi yang tepat perlahan tapi pasti akan dapat terwujud. Strategi yang tepat adalah mulai dari ruang lingkup yang kecil kepada ruang lingkup yang besar, dari yang sedikit kepada yang banyak, dari yang terbatas menuju yang luas, dari diri sendiri kepada orang lain.

Kalau integritas diri sebagai bagian dari kekuatan orang dewasa dan ukuran bagi seorang yang diberi kepercayaan memimpin, maka Walikota Kupang telah mengambil langkah tepat, bahwa kemauan untuk melaksanakan peraturan dan tata tertib serta norma apapun termasuk pemberlakuan KTR, mesti dimulai dari orang yang punya integritas. Kamus Besar Bahasa Indonesia   mendefinisikan integritas sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. Dengan demikian integritas adalah konsistensi dan keteguhan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Nilai dan keyakinan dalam hal ini adalah bahwa merokok tidak sehat, dapat mengganggu orang lain dan bahwa merokok dapat mengganggu pekerjaan apa lagi pekerjaan yang melibatkan banyak orang. Merokok di lingkungan pendidikan adalah tindakan yang sangat tidak edukatif ketika guru menjelaskan tentang hidup sehat.

Integritas juga adalah sikap konsisten antara tindakan dengan  nilai atau prinsip. Juga diartikan sebagai kejujuran dan  kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah munafik .  Seorang dikatakan berintegritas apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya (Wikipedia). Jelaslah bahwa seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan. Apa yang dikatakan adalah apa yang dilakukan, dan apa yang dilakukan adalah apa yang dikatakan. Atau dengan kata lain orang yang kata-katanya dapat dipegang. Integritas sesungguhnya menjadi karakter utama bagi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang mempunyai integritas akan mendapatkan kepercayaan dari bawahannya, karena apa yang menjadi ucapannya juga menjadi tindakannya.

Integritas yang terpasung

Gambaran integritas yang terpasung ketika masih ditemukan adanya pimpinan yang menerapkan kedisiplinan hanya bagi bawahan, seperti sering terlambat dengan berbagai alasan, menginstruksikan bawahan untuk tidak merokok tetapi yang bersangkutan merokok seenaknya. Contoh lain yang lebih menyakitkan di lingkungan pendidikan adalah guru yang perokok menyiksa siswa yang kedapatan merokok. Jika demikian halnya berarti kata-kata mulutnya sungguh sungguh tidak ada hubungan dengan tindakan atau tindakan yang dilakukan jauh dari sebuah keyakinan bersama dan melawan nalarnya.

Terpasungnya integritas juga nampak dari indah dan idealisnya kata-kata sebuah peraturan yang dikeluarkan dan berhenti pada map-map surat masuk tanpa ada tindak lanjut yang nyata dari para pimpinan. Kata tidak menjadi perbuatan, atau keberanian membuat peraturan tanpa diimbangi dengan keberanian mengawasi, mengevaluasi sampai pada keberanian memberi sanksi, sehingga nilai yang diperjuangkan sungguh berdayaguna.

 

Jika pasungan integritas tidak segera dibebaskan untuk merekatkan kata dan perbuatan, maka tidaklah mengherankan bahwa para perokok yang secara sembrono melakukan kebutuhan pribadinya telah berandil besar untuk melahirkan dan mengembangbiakan 43.000 pengguna narkoba di daerah ini, sebagaimana dilansir oleh harian ini.

Harapan

Sebagai ciptaan yang mampu berefleksi, tentu saja kita menyadari perkembangan sosial dan iptek yang sedang mengubah pola pikir masyarakat, sehingga apa yang dahulu dianggap sebagai kebutuhan sosial kini telah beralih menjadi kebutuhan pribadi. Semua telah terbuka dan mengerti bahwa pengetahuan sedang direfleksikan setiap saat, dan berubah seiring penemuan yang membuka wawasan baru terhadap kebudayaan dan kebiasaan hidup. Kesadaran akan integritas akan membantu kita keluar dari simbol-simbol dan peringatan tertulis menuju sikap dan perilaku yang bermartabat.

Menyadari realitas yang mengkwatirkan, semua berharap sungguh bahwa komitmen untuk menempatkan diri dan memiliki kebiasaan baik mestilah tertata dari diri sendiri, mulai dari atasan atau pemimpin sebagai teladan untuk ditiru. Pemimpin yang berintegritas harus mendahului. Jika pimpinan suka merokok atau merokok di sembarang waktu dan tempat, jika guru boleh merokok di sekolah dan siswa tidak boleh, jika orangtua boleh merokok anak-anak dilarang; maka pemimpin, orang tua dan guru telah memasung integritas dan telah membuat semakin jauh jarak yang antara nilai, kata dan perbuatan.

“When you are looking at the characteristics on how to build your personal life, first comes integrity; second, motivation; third, capacity; fourth, understanding; fifth, knowledge; and last and least, experience. (NN) Bahwa untuk membangun karakter kehidupan pribadi, integritas adalah yang pertama, kedua adalah motivasi, ketiga kapasitas, keempat adalah pengertian dan terakhir adalah pengalaman. Semoga

Komentar ANDA?