KUPANG. NTTsatu.com – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menegaskan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Nusa Tenggara Timur terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Karena itu harus segera memberikan klarifikasi terkait surat yang dikirimkan kepada DPD PDI Perjuangan NTT.
Dalam sidang putusan di ruang Sidang DKPP, Jakarta Pusat, Jumat (9/10/2015). majelis Hakim DKPP Endang Wihdatiningtyas menyimpulkan bahwa Bawaslu Provinsi NTT terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
Sidang itu dihadiri Honing Sanny bersama penasehat hukumnya Petrus Balla Pattyona dan beberapa orang lainnya seperti Fransiskus Xaverous Ciku Namang dan Ansel Deri, sementara dari Bawaslu hadir ketua Bawaslu NTT, Nelce Ringu dan Mikhael Feka.
Laporan yang dikirim Ansel Deri dan Ciku Namang dari Jakarta menguraikan, DKPP menilai surat tersebut telah menyebabkan salah tafsir, sehingga menimbulkan permasalahan di internal PDI-P. Pada sidang putusan mengenai dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, DKPP memutuskan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan anggota DPR RI dari daerah pemilihan NTT, Honing Sanny, terhadap Bawaslu Provinsi NTT.
Putusan majelis hakim itu akhirnya mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menjatuhkan sanksi peringatan keras terhadap teradu satu, dan memerintahkan membuat surat klarifikasi paling lama 7 hari sejak putusan dibacakan.
DKPP berpendapat, tidak ada bukti yang menunjukkan Bawaslu NTT berniat buruk sehingga menyebabkan permasalahan di internal PDI-P. Meski demikian, Bawaslu NTT seharusnya berhati-hati dalam memahami surat laporan mengenai kecurangan dalam perhitungan suara pemilu.
Bawaslu NTT seharusnya mampu berpikir jernih dan responsif untuk memberikan klarifikasi saat ada penafsiran keliru soal surat yang pernah diterbitkan bagi pihak lain. Selain itu, menurut DKPP, Bawaslu NTT seharusnya cermat dan teliti saat membuat konsep surat sehingga tidak menimbulkan permasalahan.
“Ketua dan anggota Bawaslu dalam hal ini melanggar sumpah janji, profesionalitas, dan kepastian hukum,” kata Endang.
Honing Sanny yang mengajukan gugatan ini meminta agar DKPP memecat ketua dan anggota Bawaslu NTT. Ia menganggap, Bawaslu NTT telah melampaui wewenangnya dalam membalas surat DPD PDI Perjuangan.
Surat yang dikirimkan Bawaslu NTT dianggap telah dijadikan dasar DPD PDI-P untuk memecat Honing. Masalah ini bermula dari aduan yang dilayangkan Andreas Hugo Pareira. Andreas yang merupakan caleg PDI-P dari dapil yang sama, yakni Nusa Tenggara Timur I, menuduh Honing melakukan pemindahan suara partai di 10 kecamatan di dapil tersebut.
Bawaslu Provinsi NTT kemudian diminta untuk memeriksa laporan tersebut. Melalui surat, Bawaslu NTT menyatakan tidak dapat menindaklanjuti laporan adanya perbedaan jumlah suara yang sudah diplenokan di tingkat PPS, PPK, KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi, ke tahap selanjutnya. Sebab, tidak ada keberatan baik dari saksi PDI-P maupun pengawas pemilu kabupaten dan jajarannya saat pleno dilangsungkan.
Bawaslu menilai perbedaan jumlah suara tersebut hanya terjadi dalam data yang dimiliki PDI-P. Bawaslu kemudian merekomendasikan agar hal itu diselesaikan secara internal partai atau mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan perolehan suara kepada Mahkamah Konstitusi. (sel/cik/bp)
====
Foto: Sidang Kasus Honing Gugat Bawaslu NTT di ruang sidang DKPP Jakarta, Jumat, 09 Oktober 2015