LEWOLEBA, NTTsatu.com – Petrus Bala Pattyona, pengacara nasional kelahiran Boto, Lembata menegasakan, keputusan mejelis hakim yang menghukum Ipi Bediona dan Frans Limawai telah menunjukkan kepada public bahwa sempurnalah kerusakan Penegakan Hukum di Lembata.
Penegasan Petrus yang dikirim melalui email ke redaksi NTTsatu.com mengatakan, putusan Pidana 1 tahun terhadap Ipi dan Ferry telah menunjukan betapa sempurnanya kerusakan hukum di Lembata.
Dia mengatakan sempurna karena rekayasa dalam sistem peradilan yang dimulai dari penyidikan tanpa bukti-bukti kuat, setidak-tidaknya objek perkara mengenai pemalsuan dan surat yang dinyatakan palsu yang tak pernah disita dan diperlihatkan selama persidangan sementara dokumen yg dipergunakan adalah milik Dewan, saksi-saksi, fakta tidak ada melihat/mengalami/mendengar perbuatan pidana kedua terdakwa, proses penuntutan yang tak sesuai fakta-fakta persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa yang hanya mengutip BAP polisi dan diamini oleh hakim dengan menyempurnakan manipulasi fakta-fakta persidangan dengan memasukan/mengutip secara salah keterangan-keterangan yang disampaikan di persidangan, telah menunjukan betapa luar biasanya kerusakan hukum di Lembata.
Menurutnya, kerusakan-keruskan itu setidak-tidaknya dari indikasi kasus-kasus yang terjadi Lembata semisal bagaimana kasus kematian almahrum Lorens Wadu yang tidak diproses sementara indikasi keterlibatan bupati sudah bersuluh matahari dari berbagai informasi dengan ditangkapnya sopir bupati, tetapi akhirnya dilepaskan juga tiga tersangka lainnya yg salah satunya mantan anggota Dewan yang kasusnya hingga kini masih gelap, apalagi terpidana-terpidana di rutan semisal Waleng yg sudah buka keterangannya dlm berbagai kesempatan tak pernah diproses.
Hal yang sama juga dengan kasus kematian bocah di kolam arena yang disiapkan untuk balapan di Waiara. Kasus-kasus korupsi berbagai proyek pembangunan yang tak pernah diaudit/diverifikasi apakah penyelesaian tuntas 100%.
Atau, kasus korupsi di pengadilan yg tak pernah dieksekusi karena jaksa-jaksa sudah menggelapkan barang bukti uang hasil korupsi, karena uang yg disita dalam kasus korupsi rumput laut sebesar Rp 600 juta sementara yg dijadikan barang bukti dalam persidangan hanya Rp 50 juta sehingga terpidana mengancam jaksa, silahkan eksekusi tapi terdakwa juga minta uang yang tidak dijadikan barang bukti dikembalikan.
Lainnya, laporan-laporan pidana yang disampaikan masyarakat tak pernah diproses sementara dari pihak-pihak yg beruang begitu cepat direspons;
Contoh kasusnya laporan dugaan ijasah palsu kepala desa terpilih di Lewoeleng, begitu sigapnya polisi memproses bahkan manahannya di saat umat katolik merayakan paskah.
“Rumor yg beredar bahwa aparat penegak hukum yg ditugaskan ke NTT (Polisi, Hakim, Jaksa), merupakan orang2 buangan yg mendapat hukuman krn perilakunya bermasalah dan pekerjaan, tidak cerdas, tak bermutu, orang-orang hukuman, orang-orang yang memperdagangkan hukum semakin saya percayai proses penegakan hukum yg terpublikasi,” tulisnya.
Sekedar contoh betapa para penegak hukum rusak di NTT dan mendapat tulah dari lerawulan tanah ekan karena leluhur tak pernah diam melihat kerusakan ini. Ini terjadi pada seorang Kajari di Lembata yg memeras terdakwa tapi menuntut berat dlam kasus korupsi, begitu menerima uang panas utk acara keagamaan di Bali, tetapi acara keagamaan belum terlaksana si Kajari keburu dipanggil Tuhan. Atau seorang Kajari yg menahan seorang warga asing tanpa bukti dan setelah WNA diadili di Larantuka dan dibebaskan, tetapi dua bulan kemudian Kajari ditemukan tewas di kamarnya konon karena serangan jantung.
Contoh lainnya, seorang hakim di Kupang yg membuat putusan degan merekayasa fakta-fakta persidangan selain dipecat sekarang sakit strok tak berdaya dan sangat menderita.
“Ini sekedar contoh dan menjadi pelajaran buat Majelis Hakim yang menghukum kedua terdakwa dengan kepalsuan fakta-fakta hukum dalam persidangan yang disaksikan oleh masyarakat lewotanah, tanah ekan lerawulan karen apa yang dinyatakan dalam putusan dengan kalima: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME dan dibungkus kepalsuan, kemunafikan atau ada transaksi segala, maka cepat atau lambat tulah itu menimpa saudara, keluarga maupun keturunannya. Kemarahan, kekecewaan dn kegeraman saya sebagai ekpresi betapa hukum dan aparatnya yg miskin bisa dibeli dengan uang pulsa dan hal ini hendaknya menjadi perhatian petinggi-petinggi kepolisian, kejaksaan dan MA untuk menempatkan aparatnya di daerah-daerah-daerah di NTT,” tulisnya,
Diakhir keterangnnya, Petrus menuliskan, “kepada Ipi dn Ferry tak perlu berkecil hati apalagi menyesal dengan pilihan untuk bersikap jujur dan kritis untuk bersuara karena di belakangmu berdiri ribu ratu untuk menopang dn mendukungmu,” tulis Petrus Bala Pattyona SH MH; Advokat/Pengacara, Legal Auditor/Kurator/Mediator Bersertifikat/Dosen Hukum Pidana /Kandidat Doktor Ilmu Hukum. (bp)
=====
Foto: Petrus Bala Pattyona