Foto : Gereja stasi Santu Petrus Leuwayan, Paroki Salib Suci Hoelea, Keuskupan Larantuka yang saat ini tengah dibangun. Inilah salah satu buah kerja sama antar umat beragama di Leuwayan
LEUWAYAN, nama sebuah desa kecil di Kecamatan Omesuri Kabupaten Lembata NTT. Di sana hanya ada dua agama yang dianut penduduk setempat yakni, Katolik dan Islam. Desa dengan jumlah penduduk 1.293 jiwa itu 90 persennya beragama Katolik dan sisanya Islam. Kendati demikian tidak membuat penduduk setempat tumbuh sebagai umat beriman yang enggan terhadap perbedaan agama. Mereka telah melabrak sekat perbedaan itu. Mereka hidup dalam persentuhan yang kuat tanpa ada gesekan antar umat beragama.
Betapa tidak, suasana toleransi di desa ini sudah tumbuh lama. Setiap momentum hari besar keagamaan baik Katolik maupun Islam misalnya, selalu saja diadakan hajatan silahturahmi antar umat yang diinisiasi pemerintah desa, dewan stasi gereja dan dewan sarah masjid setempat. Ketika hajatan silahtuhrahmi digelar, dengan mengambil lokasi di aula sekolah menengah di desa itu atau juga di kantor desa, terlihat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berbondong-bondong datang, berbauran untuk makan bersama dan berjabatan tangan, saling memberi ucapan selamat hari raya. Ini adalah hajatan yang sudah lazim bagi mereka karena sudah rutin diadakan setiap tahun.
Ketua Dewan Pastoral Stasi Santu Petrus Leuwayan, Herman Yosep Modi, ketika dihubungi beberapa waktu lalu mengatakan, kegiatan silahtuhrahmi yang dilaksanakan bertujuan membangun semangat persaudaraan dalam keberagaman dan gereja mau membangun penghayatan iman yang diagonal.
Lanjut Herman, hidup ini ibarat taman bunga dan taman itu akan indah jika ditumbuhi beraneka jenis bunga. Kita mesti menjadi bagian dari taman ini untuk menyumbang keindahan taman itu.
Kisah Leuwayan tak hanya itu. Leuwayan yang mayoritas Katolik teryata pernah dipimpin oleh kepala desa yang beragama Islam. Abubakar Sulang, seorang muslim yang memimpin desa ini selama 6 tahun (2008-2014). Dia memimpin desa ini dengan identitas keislamannya tetapi menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan karakter pluralnya.
Umat Katolik di desa ini termasuk dalam wilayah Keuskupan Larantuka. Saat ini di Leuwayan sedang dibangun sebuah gereja untuk umat Katolik setempat. Sebelumnya memang pernah ada bangunan gereja yang berdiri sejak tahun 1974. Namun kondisinya yang memerihatinkan karena termakan usia, tahun 2013 dirobohkan dan dibangun gedung baru. Sejak itu, umat dari kedua agama di desa itu bahu membahu membangun gedung gereja yang berukuran 20×40 meter. Beberapa umat Islam terlibat sebagai anggota panitia pembangunan gereja. Bahkan ada beberapa umat muslim yang membawa proposal meminta sumbangan dana ke desa-desa tetangga sampai ke desa-desa di kecamatan lain di Lembata.
Terkait semangat kebersamaan orang Leuwayan dalam pembangunan gereja ini, Marsel Ruben Payong (seorang putra Leuwayan yang kini menjadi dosen di STKIP St. Paulus Ruteng dan juga Asesor di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi), melukiskan indahnya kebersamaan dalam keberagaman di Leuwayan melalui akun facebooknya.
Berikut pelukisannya : gereja ini adalah salah satu bukti kerukunan dan perdamaian antar umat beragama baik di Kedang maupun di Lembata. Yang ikut membangun gereja ini tidak hanya umat katolik tetapi juga saudara-saudara muslim di beberapa kecamatan terdekat (Buyasuri, Ileape, Lebatukan, dll). Dengan bermodalkan rekomendasi dari Bupati Lembata, panitia menyebar proposal ke desa-desa, termasuk desa-desa dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di sana, permintaan sumbangan bahkan diumumkan secara terbuka di mesjid-mesjid. Di Leuwayan sendiri, salah satu warga muslim bernama Ali Payong menyumbang material yang banyak berupa pasir, semen, atau batu. Begitu pun ketika ada jadwal pekerjaan, saudara – saudari yang muslim dengan sukarela datang ikut membantu.
Cerita dari adikp-adik yang mengumpulkan dana di Kecamatan Ileape, mereka diterima dengan sangat baik bahkan saudara-saudara muslim menawarkan rumah untuk mereka menginap selama mereka mengumpulkan dana di sana. Kemudian bersama-sama dengan aparat desa, mereka berjalan dari rumah ke rumah baik katolik maupun muslim untuk mengumpulkan sumbangan karena sudah diumumkan secara luas melalui pengeras suara dari mesjid.
Mereka memberi sekurang-kurangnya Rp. 5000 per kepala keluarga, bahkan ada yang sampai Rp. 100.000. Menurut cerita dari om saya yang juga ketua panitia pembangunan gereja, di desa Kalikur Kecamatan Buyasuri yang notabene 99, 99% muslim, mereka mendapat sumbangan satu juta lebih. Saya sangat terharu mendengar hal ini.
Saya bertanya kepada salah satu bapak yang muslim di Leuwayan, “Ayah, mengapa ayah ikut menyumbang untuk membangun gereja?” Dia hanya menjawab, “anak, kalau bangun rumah Tuhan, apa pun agamanya, kami tidak keberatan. Kalau kita bisa bangun rumah sendiri, mengapa untuk rumah Tuhan kita tidak bisa? Betapa indahnya kebersamaan seperti ini.
Namun sayangnya, menurut ketua panitia pembangunan gereja, Bapak Soter Laleng, kekinian proses pembangunan gereja tersebut agak tersendat karena hambatan dana.
“Kami kekurangan dana setelah merampungkan pengerjaan dari pondasi hingga dinding. Sekarang kami sedang mencari dana untuk pengerjaan atap bangunan yang mana estimasi biaya material atap mencapai 317 juta rupiah. Yang terkumpul dari sumbangan baru 100 juta rupiah. Dan uang itu sudah kami transfer ke Makasar untuk pemesanan material atap. Kami bersyukur karena dari penyedia material atap bersedia untuk dibayar sebagian dulu,” katanya.
Mereka yang akan mengerjakan atap. Jadi biaya 317 juta itu sudah termasuk ongkos kerja tukang yang mana para tukang juga disiapkan oleh pihak penyedia material atap. Setelah merampungkan atap, sisa biaya sekitar 217 juta akan dibayar kemudian.
Ini yang harus kami cari lagi nanti. Soal kerja sama umat di desa ini dalam kegiatan pembangunan gereja itu tidak diragukan lagi. Sejak awal mulai dari pondasi, kami sudah mengerjakannya bersama-sama. Baik yang Islam maupun Katolik, semuanya terlibat”, kata Soter Laleng pada Senin (23/11/2015) saat dihubungi nttsatu.com dari Kupang. (Jon Peu)