Oleh: Faustina F.N. Andu
Menjadi seorang mahasiswa berarti lebih mulia dari sekedar siswa SD, SMP dan SMA. Mulia yang dimaksudkan bukan serta merta menyandang status mahasiswa dari universitas terkenal dengan jas almamater keren. Namun tentang bagaimana seorang mahasiswa mampu berpikir kritis dalam segala aspek.
Seorang mahasiswa di mata orang mungkin sesuatu yang biasa saja tapi tugas kuliahnya yang luar biasa. Hal tersebut membuat banyak mahasiswa menjadi stress bahkan ingin berhenti kuliah karena merasa tidak mampu menghadapi tugas-tugas yang akan datang.
Tetapi beda halnya dengan mahasiswa sepuh. Walaupun banyak penyebab yang melatarbelakangi seorang mahasiswa tidak lulus-lulus, tapi mereka sangat kuat menghadapi segala macam terpaan masalah entah dari segi keuangan, tugas yang bertubi-tubi, dosen pendendam, kemalasan, bahkan mental mereka.
Dari sekian masalah yang saya sebutkan (walaupun masih banyak yang saya lupa), permasalahan mental lebih menarik perhatian saya secara khusus. Mengapa demikian? Karena begitu banyak masyarakat yang mematokkan waktu ideal kuliah berkisar dari 4 sampai 5 tahun. Sehingga mahasiswa yang kuliah lebih dari 5 tahun dianggap kurang cerdas bahkan kurang beruntung. hal tersebut otomatis berdampak pada mental mahasiswa sepuh yang dicap kurang beuruntung tadi. Mereka jadinya memikul beban yang berat, entah karena tekanan dari teman-teman seangkatan, keluarga, maupun masyarakat. Baik jika tekanan itu membuat diri mahasiswa mempunyai ambisi untuk cepat-cepat lulus. Bagaimana jika dibawa ke hal-hal negatif, misalnya meminum obat penenang untuk menghilangkan stress akibat beban yang membebani kehidupan kuliahnya.
Tekanan dari teman mahasiswa sepuh sering kali dalam bentuk selebrasi wisuda yang berlebihan bahkan sampai menyindir. Perlakuan seperti itu harus dihindari karena menyangkut potensi diri yang masih menjadi misteri. Entah apa yang membuat mereka terkesan pamer hanya karena wisuda lebih dahulu. Seolah kisah hidup mereka berakhir happy ending. Lagi pula masih ada kehidupan pekerjaan yang menuntut kesempurnaan serta skill bersaing yang handal.
Tak cukup beban dari teman-teman. Keluarga yang adalah orang terdekat kita yang dianggap mengerti segala hal tentang kita, bisa saja berbalik dan menuntut standar ideal yang mereka patok berdasarkan gosipan tetangga sekitar.
Sebagian besar beban mahasiswa sepuh berasal dari keluarga yang tidak mampu mendukung mereka untuk terus berusaha memperbaiki kekurangan dalam kehidupannya sebagai seorang mahasiswa. Kadang beban itu muncul ketika mereka bertanya “Anak Pak B sudah wisuda, kamu nya kapan?” pertanyaan yang menusuk. Sakit tapi tak berdarah. Entahlah, mungkin mereka ingin memacu semangat tapi justru memperburuk keadaan.
Gossip tetangga juga termasuk dalam komponen pembentuk beban mahasiswa sepuh di tengah masyarakat. Waktu gossip tetangga kadang membutuhkan waktu berjam-jam meski hanya membahas nasib seseorang. Padahal mereka tak tahu apa-apa. Tapi bisa ditebak materi gossip juga dibumbui tipuan yang menarik sehingga berkualitas bagi pendegarnya. Tidak salah. Rupanya mereka hanyalah kumpulan warga kurang kerjaan yang suka mencari sensasi. Namun, kembali lagi pada keunikan setiap pribadi bahwa tak perlu mendapat gelar akademik selama berguna bagi bangsa dan negara.
Dilansir dari website hutan-tersisa.org kisah inspiratif Muhammad Kasim Arifin, mahasiswa IPB Fakultas Pertanian yang mengikuti KKN di desa Waimital, Pulau Seram, Maluku tahun 1964. Ia menjalani masa KKN di tempat itu serta memiliki hasrat untuk membumikan pengetahuannya. Ia membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, dll tanpa bantuan pemerintah.
Rasa kemanusiaannya terus bertambah walaupun masa KKN telah usai, namun ia tetap ingin mengabdi kepada desa untuk menyukseskan petani di desa dengan meninggalkan jati dirinya sebagai orang kota. Ia mulai berpenampilan layaknya warga desa seperti memakai sandal jepit, serta baju yang sederhana. Ia menghabiskan kehidupannya selama 15 tahun untuk membantu masyarakat desa tanpa bertoga. Lalu ia kembali dengan senyum bahagia di bibirnya karena telah berhasil mensejahterakan masyarakat Waimital. Jasanya dikenang dan diabadikan dengan nama jalan di desa tersebut. Tahun 1994 ia menerima tawaran untuk menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh.
Kisah Pak Kasim menginspirasi mahasiswa-mahasiswa sepuh di luar sana. Lebih baik jika ingin menjadi seorang yang berguna bagi orang lain, mulailah dari hal sederhana, seperti ketika mahasiswa lain berlomba-lomba siapa cepat bertoga, lebih baik merealisasikan pengetahuan secara gamblang. Gelar bisa didapat kapan saja. Masalahnya apakah gelar tersebut berguna bagi sesama warga negara? Karena jika kuliah hanya ingin dihormati dan dihargai atas gelar yang capai, lebih baik tak punya gelar namun berjasa bagi orang lain.
Oleh karena itu, kisah Pak Kasim menyadarkan kita bahwa menjadi mahasiswa sepuh tidak selamanya rapuh. Karena gelar tidak pernah melarang kita untuk berkontribusi. Kita bisa memperoleh kesuksesan kapan saja. Karena kesuksesan tidak selalu tentang keberhasilan diri semata. Melainkan bagaimana kesuksesan itu berdampak bagi orang disekitar kita.
Dukungan dari teman-teman, keluarga maupun masyarakat sangatlah penting. Bukan dengan over selebrasi, membanding-bandingkan potensi diri dengan orang lain atau bahkan bergosip demi kepuasan pribadi. Melainkan mengelilingi mahasiswa sepuh dengan pemikiran-pemikiran postif. Gagal bukan berarti kalah, menang tidak selalu menyenangkan serta solusi pastilah menginspirasi.
*) Penulis adalah Mahasiswi Universitas Katolik Santu Paulus, Ruteng – Manggarai