Oleh: Dra. Christina Purwanti, M.Pd
DALAM berbahasa, hal penting yang perlu diperhatikan adalah makna bahasa dan nilai bahasa yang tetap dijadikan sebagai titik tolaknya. Secara historis dapat dikatakan bahwa seluruh perubahan dalam lingkup hidup manusia, dibangun melalui makna dan nilai dari sebuah bahasa. Seorang pemikir terkenal, Aristotelles misalnya sangat memprioritaskan makna dan fungsi bahasa yang selalu menyiratkan sebuah kebenaran. Bahasa bisa hadir untuk mengoreksi seluruh proses berpikir manusia dan doktrin orang bijak yang menyimpang dari semangat dan pola berpikir.
Dalam berpolitik, bahasa bukanlah sebuah tool netral. Bahasa selalu memiliki kekuatan untuk selalu mengubah. Kekuatan bahasa bisa menghancurkan dan kekuatan bahasa juga bisa membangun. Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara yang baik atau buruk, hal yang bisa diukur pertama adalah para politisinya, harus mampu memformulasikan bahasa dalam setiap keputusan yang mau dicapai.
Bahasa dan politik, selalu bergantung pada; kata, kalimat, teks dan konteks. Seluruh kebenaran hidup manusia sebagai manusia politik dalam sebuah masyarakat pengguna bahasa pun, terus mengandalkan kata, kalimat, teks dan konteks; dalam setiap percakapan dan dalam setiap aktivitas politik.
Seorang kritikus sastra berkebangsaan Belanda A.A. Teew , seperti yang dikutip Armada Riyanto (2011: 64 ) sempat memberi judul pada salah satu bukunya, “Tergantung pada Kata ( bahasa )”. Di sinilah peran sastra ( baca: politik) beroperasi dengan mengandaikan daya konotatif yang dimiliki kata. Kata yang dapat membangkitkan imajinasi, kata yang mampu mengugah rasa, kata yang berkuasa menghidupkan angan-angan. Politik juga hidup dari kekuatan yang dimiliki kata. Kata yang mampu menembus batas pemaknaan sehari-hari dalam berpolitik yang yang sering terdengar lumrah dan biasa-biasa serta bisa membuka sebuah dunia pengalaman yang lain sekali pun.
Dalam perspektif bahasa, kita bisa mengatakan bahwa politik juga hidup atau lebih tepat dikatakan bahwa aktivitas politik, selalu dan sangat mengandalkan eksistensi bahasa. Di sinilah politik dan bahasa memiliki kekuatan yang bersifat kolaboratif.
Keyakinan sebuah kata dalam bahasa yang terus diungkapkan, sebetulnya mengekspresikan kebijaksanaan dan keyakinan dari sekelompok masyarakat atas sebuah ideologi yang diyakini di dalam politik. Dalam konteks sosial politik, bahasa menjadi sangat berarti dalam seluruh fakta sosial yang dihadapi oleh manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk memaknai sebuah fakta sosial yang terus melingkupinya. Siapa pun manusia tentu menggunakan bahasa sesuai dengan fakta sosialnya dengan memperhatikan struktur bahasanya.
Pada akhirnya bahasa mempunyai nilai sendiri dan tujuan tersendiri untuk bisa menciptakan realitas sosial dalam aktivitas politik manusia; di sinilah fungsi bahasa, bisa membentuk dan bisa mendidik.
Bahasa bisa membentuk dan mendidik seluruh hidup manusia. Peran bahasa menjadi sangat penting. Makna bahasa terbentuk sesuai perkembangan manusia sejak kecil sesuai dengan kepentingannya. Sebuah kalimat sebagai contoh untuk mengungkapkan kepentingan: “kamu anak brilian”. Bila kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah kepada seorang anaknya secara konsisten, maka sebagai respon positifnya sesuai dengam kalimat tersebut, si anak menjadi anak yang brilian. Demikian juga seorang dokter mengatakan kepada seorang pasiennya bahwa ” kamu akan segera sehat” dengan menelan obat ini. Sebetulnya pada saat yang sama, bahasa memiliki kekuatan yang mengubah; sekaligus memberikan sugesti kepada si sakit tersebut, sehingga proses penyembuhannya bisa berjalan dengan cepat.
Lewat bahasa yang terucap oleh para politisi, dapat terlihat secara jelas maknanya bahwa siapa menguasai siapa, jika menelaah bahasa yang digunakan dalam sebuah penuturan yang terjadi. Penggunaan bahasa politik terjadi secara langsung dan juga secara tidak langsung. Makna bahasa politik tidak selalu sejalan dengan makna bahasa secara linguistik dalam penggunaan seorang penutur bahasa. Seorang penguasa politik memiliki makna politik di mana arti, makna dan nilai serta tujuan bahasa selalu diarahkan kepada kepentingan dan tujuan yang mau dicapai yakni bahasa politik.
Semoga bermanfaat.
***
*) : Penulis adalah Dosen Bahasa Indonesia Universitas Pelita Harapan, Jakarta