Media Baru: Partisipasi Politik Baru?

0
218

Oleh : Pincanny Georgiana Poluan, S.I.Kom., M.A.

Ibarat nafas kehidupan, media sosial  dapat menjadi bagian krusial dalam kehidupan sosial bagi sebagian besar manusia di dunia. Pemahaman seperti ini menunjukkan secara langsung bahwa eksistensi media sosial tidak dapat diremehkan begitu saja karena telah menjadi bagian sentral dalam kehidupan segenap umat manusia. Pada sisi lain, dapat dikatakan bahwa keberadaan media sosial selalu melekat di dalam perilaku hidup dari masing-masing orang secara inheren dalan setiap fakta sosial. Hal ini didukung dengan besarnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia – 228,76 juta pengguna di tahun 2023 (Number of social media users in Indonesia from 2019 to 2028, 2023). Media sosial yang tergolong popular di Indonesia adalah Facebook, Instagram, Tiktok, X, dan lain sebagainya. Dari jumlah pengguna tersebut, terdapat 106.721.600 pengguna Instagram dengan sebagian besar dari jumlah pengguna adalah mereka yang berusia 18-24 tahun (Instagram users in Indonesia, 2023). Penggunaan Instagram terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pengguna setiap harinya; dari kebutuhan akan informasi berita terkini, hiburan, sampai pada kebutuhan rumah tangga. Untuk dapat selalu memenuhi kebutuhan penggunanya, Instagram selalu menawarkan fitur-fitur inovatif. Akan tetapi dari semua fitur yang dimiliki oleh media sosial dewasa ini, satu karakteristik yang secara konsisten ditawarkan kepada pengguna adalah budaya partisipatif (participatory culture).

Dengan mengusungkan budaya partisipatif, Instagram telah berkontribusi secara signifikan ke dalam munculnya bentuk baru dari partisipasi masyarakat, secara khusus kaum dewasa muda pada usia 18-24 tahun. Partisipasi adalah aspek yang ditawarkan dan yang membedakan Instagram secara signifikan dengan media tradisional lainnya. Yang dimaksud dengan partisipasi di sini adalah kesempatan bagi para pengguna untuk ikut terlibat demikian pun dapat dilihat dan didengar (Beer, Burrow, dkk, 2013 dikutip dalam Marres, 2017). Kontribusi yang dimungkinkan di sini adalah di dalam kehidupan sosial, budaya, dan bahkan politik. Dengan adanya budaya partisipatif ini, Instagram dapat mendukung munculnya dimensi baru dari participatory democracy (demokrasi partisipatif) – peningkatan grassroot democracy dengan kemunculan teknologi media digital (Fuchs, 2014). Betitik tolak dari hal tersebut maka konsep kewarganegaraan pun ikut berubah, dengan munculnya istilah digital citizenship. Fitur-fitur di dalam media sosial, seperti Instagram, membuat partisipasi di dalam dunia politik menjadi jauh lebih menarik bagi kalangan dewasa muda. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah kisah #Gejayanmemanggil yang terjadi September 2019. Sekitar 10.000 mahasiswa menyuarakan suaranya terkait RUU KUHP. Dengan pasifnya partisipasi politik generasi muda sebelum adanya kemunculan teknologi digital, kejadian tersebut menunjukkan bagaimana melalui Instagram, sekian banyak mahasiswa dapat tergerakan untuk terjun langsung ke jalanan demi memperjuangkan apa yang mereka anggap adil kepada pihak pemerintahan. Bahkan, kegiatan ini pun bergema sampai ke daerah-daerah lain di Indonesia dengan tujuan yang sama. Bagaimana generasi muda saat ini dapat menggunakan media sosial untuk menyampaikan idenya dan terlebih berpartisipasi di dalam dunia politik yang dapat dikaitkan dengan istilah techno-moral change – perubahan yang terjadi karena adanya media baru.  

Fenomena ini dapat terjadi kembali lagi karena participatory culture yang ditawarkan oleh Instagram. Generasi muda dapat memiliki kesempatan untuk mengkritisi isu-isu publik, memberikan feedback kepada pimpinan, menyebarkan informasi, memproduksi kontennya sendiri, serta bergerak menuju tujuan-tujuan politik. Sebelumnya, informasi politik yang disampaikan oleh media konvensional lebih bersifat satu arah yang tidak cocok lagi untuk generasi muda. Bahkan melihat kembali di protes Gejayan memanggil, mahasiswa menyuarakan kritiknya kepada pemerintah agar lebih terbuka dan interaktif ketika hendak memutuskn sebuah kebijakan. Selain itu, kemampuan Instagram untuk membuat sebuah konten menjadi viral pun dapat mendorong generasi muda untuk mencari-tahu secara lebih mendalam lagi, apa yang sebenarnya terjadi. Mereka yang pada awalnya tidak ada niat untuk berpartisipasi, terdorong untuk memperkaya pengetahuan mereka akan suatu isu yang pada akhirnya berujung pada sikap solidaritas dan bersimpul pada ikatan emosi ( emotional connection). Keterikatan tersebut yang mendorong mereka untuk bergerak ke arah tujuan publik – aktualisasi solidaritas antar mahasiswa untuk mendengungkan suara masyarakat yang tidak memiliki akses untuk didengar. Verbeek (2019) menjelaskan hal ini  secara bijak tentang bagaimana Instagram mengubah kewajiban moral (moral obligation) para generasi muda. Pada bagian ini, moral obligation yang akhirnya menggerakan kaum generasi muda untuk berkontribusi, baik dengan menyebarkan informasi, membuat konten yang mempersuasi partisipasi rekan muda lainnya, sampai pada partisipasinya di dalam aksi-aksi fisik. Perlu digarisbawahi bahwa selain hal-hal positif ini, perubahan ini pun memiliki kelemahan.

Partisipasi generasi muda yang tergerak dari platform seperti Instagram memiliki kemungkinan adanya dorongan yang salah. Dorongan yang pertama adalah atas dasar ketidaktahuan para generasi muda yang berpartisipasi. Keikutsertaan mereka hanya didasarkan pada kebutuhan untuk eksis atau kebutuhan konten pribadi mereka secara masing-masing. Fitur Instagram yang memungkinkan para penggunanya untuk menciptakan konten (hingga bahkan menjadi seorang fulltime content creator) menciptakan kebutuhan pengguna untuk membuat konten yang lebih menarik. Popularitas kegiatan masyarakat seperti protes, dapat dijadikan ajang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, kemungkinan kedua yang lebih krusial adalah kemungkinan adanya kekuatan-kekuatan yang mengambil kesempatan untuk menunggangi aksi-aksi yang dilakukan oleh generasi muda. Fuchs (2014) mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan semacam itu menjadi penghalang dalam partisipasi digital. Kekuatan ini dapat mengeksploitasi partisipasi digital dan berbagai akibatnya, dan partisipasi tersebut tidak secara murni tergerak dari para generasi muda. Kembali pada contoh #Gejayanmemanggil, pada saat itu ada saja suara yang alih-alih menyuarakan untuk menjatuhkan Presiden yakni suara yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh para mahasiswa pada kegiatan tersebut. Dalam hal ini, para generasi muda meskipun didorong untuk selalu kritis dalam menerima, menyerap, dan meresponi informasi yang mereka terima di dalam media sosial. 

Sebagai akhir dari tulisan ini,  eksistensi media sosial telah mengubah partisipasi politik generasi muda secara mengagumkan. Seberapa pun generasi muda aktif berpartisipasi dalam setiap fakta sosial, sebetulnya menjadi bagian penting yang secara langsung mengkritisi bagaimana respon pemerintah terhadap keterlibatan generasi muda dalam fakta sosial yang sedang berkembang dan terus menderah  dewasa ini. Jika media sosial mampu membuat suara-suara generasi muda terdengar lebih nyaring di publik dalam pengertian luas, maka pertanyaan berikut untuk dikaji selanjudnya adalah, seberapa jauh kepeduliam pemerintah secara langsung, yang benar-benar mendengar dan melihat hakikinya sensitifitasnya masyarakat tentang Media Baru sebagai Partisipasi Politik masyarakat ke depannya.

=======

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas  Pelita Harapan, Jakarta

Komentar ANDA?