Motang Rua Punya Keturunan di Saigon
Lima tahun Motang Rua terkurung dalam penjara di Camplong dengan terus mengalami penyiksaan. Setelah lima tahun ditawan di Camplong, Motang Rua dibuang ke Serambih Mekahdi Banda Aceh. Lima tahun juga dia berada dalam penjara koloni Belanda.
Karena memiliki ilmu kebal yang sangat ampuh, dia tidak berhasil dieksekusi tentara Belanda. Selama lima tahun di Aceh, dia disiksa dan dipaksa bekerja rodi menggali tambang di bawah tanah untuk tempat persembunyian tentara Belanda.
Setelah beberapa tahun berada di Aceh, dia pun dibawah lagi ke tepat perasingan paling tenar di Indonesia yaitu di Nusa Kembangan yang sekarang dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan.
Di Nusa Kambangan, dia menjalani hukuman seperti tawanan lainnya. Pemimpin Beo Kina yang dikenal gagah, pemberani dan kuat tersebut juga diperlakukan yang sama seperti tawanan lainnya.
“Beberapa tawanan lainnya sekampung dengan Motang Rua yakni dari Beo Kina dikirim kembali ke Beo Kina, sementara Guru Ame Numpu sama sekali tidak ada kabar tentang keberadaanya saat itu,” tutur Philipus dan berhenti sesaat karena terlihat sangat sedih menceritakan soal kehidupan ayahnya yang gagah perkasa itu.
Motang Rua malah dianggap sebagai salah satu tawanan yang masuk dalam kategori tawanan kelas berat, maka dia akhirnya dibuang lahi hingga Saigon. Dan pada akhirnya selama 27 tahun dia meninggalkan kampung halamanya Beo Kina Kecamatan Rahong Utara Kabupaten Manggarai.
Motang Rua tetap tegas menghadapi kenyataan hidupnya sebagai seorang tawanan Belanda. Dia tetap ulet bekerja sesuai perintah. Karena keuletanya bekerja sebagai tawanan Belanda dia pun diperbolehkan memperistri seorang anak tentara erpangkat Letnan di Saigon. Hasil perkawinan itu mereka dikarunia tiga orang anak yakni dua putri dan satu putra.
“Ketiga anak Motang Tua di Saigon itu pernah datang di Kampung ini. Sulung bernama Nona Koe sudah menjadi dokter di Belanda, anak kedua dan ketiga laki laki dan tetap menggunakan nama Motang Rua,” katanya.
Kemudian karena dia ulet memlihara peternakan bebek dan ayam milik letnan di Saigon, dia diizinkan Belanda untuk kembali ke kampung halamanya. Lantaran terlalu gembira untuk pulang kampung, dia lupa pamit dengan istri kedua yang lagi mengandung anak ketiga. Dia berangkat menuju Aceh bersama pasukan tentara Belanda.
“Ketika tiba di Aceh dia dikejutkan dengan berita kelahiran anak ketiga di Saigon, dan diminta untuk segera memberikan nama anak putra tersebut. Anak tersebut dieri nama Motang Rua dengan nama panggilan Guru agar kelak keturunananya dikenang di Saigon. Saya ingat waktu saya masih kecil, putri sulung Nona Koe bekerja sebagai seorang dokter,” katannya.
Philipus bersama keluarga merasa amat sangat bangga karena ketiga saudara berdarah Belanda pernah mengunjungi kampung halamanya Beo Kina 60an tahun lalu ketika dia masih SD.
Philipus kemudian melanjutkan kisahnya, dari Aceh Motang Rua dengan naik kapal milik Belanda menuju Kupang dari kupang menuju Ende. Dari Ende, bersama tentara Belanda yang ditugaskan ke Manggarai, Motang Rua diturunkan di Pelabuhan Borong ibu kota Kabupaten Manggara Timur dan bertemu dan mengawasi para pekerja rodi rakyat Manggarai yang sedang bekerja menggali jalan Ruteng –Borong . Para pekerja itu sama sekali tidak mengenal Motang Rua sebagai saudara mereka sendiri.
“Dengan penampilan yang berbeda, ayah kami tetap rendah hati dan mengatakan bahwa dia adalah guru Ame Numpu Si Pebangkan Tentara Belanda,” jelasnya.
Kabar mulutpun tiba di Kampung halamanya di Beo Kina bahwa Motang Rua segera tia di Beo Kina. Warga desa menyambut kabar itu dengan penuh suka cita. Mereka akhirnya menggelar ritual syukuran di kampung Beo Kina dengan ritual penyembelihan ‘’Kaba Rae’’ (Kerbau berbulu putih) sebagai bentuk penghargaan kembalinya pemipin kuat dan peberani yang bisa pelindungi warga Beo Kina.
Masyarakat Manggarai menyiapkan 4 Kaba Rae , 1 kerbau dari ase kae keluarga Motang Rua, 1 kerbau dari Woe saudari Motang Rua, 1 Kerbau dari Anak Rona Paman Motang Rua dan 1 Kerbau dari Warga Kampung.
Ritual penyamutan kembalinya pahlawan mereka digelar dengan sangat meriah. Mereka mensyukuri bahwa orang kuat warga desa mereka yang sekian tahun menghilang akhirnya kembali lagi ketengah-tengah mereka dan akan hidup bersama seperti sebelumnya. (hironimus dale …….habis)