Melirik Kisah Sejarah Pahlawan Manggarai Raya Motang Rua (satu dari dua seri tulisan)

0
5813
Foto : Philipus Harup anak Motang Rua menunjukkan Tombak dan Kapak Peninggalan sejarah Pahlawan Motang Rua di depan Rumah adat Kampung Beo Kina

Motang Rua Pahlawan Dari  Manggarai  Raya  Punya Power Mengusir  Belanda

 

Berbagai daerah di Indonesia memiliki kisah-kisah herioik yang dilakonkan orang-orang di daerah masing-masing. Di Manggarai misalnya, penduduk setempat mengenal Motang Rua. Sosok Petrus Guru Ame Numpu dengan kegigihan dan keberanianya sehungga dia dijuluki  Motang Rua. Menurut bahasa setempat, Motang artinya babi hutan, Rua Mendidih maka Motang Rua diibaratkan  seorang pemberani dan gigih melawan penjajah Belanda kala itu. Bagaimana kisahnya, berikut liputan wartawan NTTsatu.com di Manggarai, Hironimus Dale yang dituangkan dalam dua seri tulisan berikut ini.

 

Libur lebaran nan cerah Selasa. 6 Juli 2016 NTTsatu.com mencoba menggali sejarah pahlawan asal Manggarai yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat Manggarai Raya yang meliputi kabupaten Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat.

Bersama Otwin Wisang Kasi Pengembangan Obyek Wisata Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Manggarai kami mendatangi  kampung  halaman Motang Rua  di kampung Beo Kina, Des Golo Longkok Kecamatan Rahong utara  untuk berdiskusi sekaligus meminta keluarga untuk membuat ritual adat guna memohon izin pembangunan patung Pahlawan Motang Rua di Jantung kota Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai pada tahun anggaran 2016 ini

Kami bersua dengan anak kedua Motang Rua, Phlipus Harup (81) yang masih hidup bersama anak dan cucunya menjaga sejarah pahlawan Motang baik itu cerita lisan kisah heroic Motang Rua  yang diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu mereka maupun perlengkapan perang Motang Rua berupa tombak dan kapak disimpan begitu rapih bak museum tempat penggalian sejarah generasi penerus Manggarai

Menurut cerita dari Philipus anak kedua Guru Ame Numpu, keberanianya sudah ada sejak Motang Rua dipercayakan untuk memimpin kampung Beo Kina sebagai Pong Toro atas lahan pertanian dari kerajaan Todo, raja yang mengusai Manggarai kala itu dan dipercayakan juga sebagai staf kerajaan  mengumpulkan pajak dari masyrakat untuk kerajaan.

“Sejak dia memimpin kampung semua warga takut untuk melanggar aturan adat, dan bahkan pencuri  tanpa pengampunan langsung dibunuhnya,” kata Philipus.

Keberanian Motang Rua paling kokoh dan mengeluarkan semua kekuatan menentang penjajah Belanda sebagai bentuk penolakanya terhadap warga asing yang ingin  mengusai Manggarai raya.

“Begitu banyak tentara Belanda yang ia bunuh dengan menggunakan tombak dan kapak. Peralatan perang yang sangat sederhana nampun sangat ampuh,: tuturnya.

Perlawanan yang dilakukan Motang Rua dan erhasil membunuh sejumlah tentara Belanda, maka dia menjadi incaran Belanda. Keluarga dan warga  menjadi korban amukan kemarahan tentara Belanda akibat perlawanan yang dilakukannya terhadap koloni Belanda saat itu.

“Banyak warga kampung ditembak mati oleh tentara Belanda. Selain dibunuh, ada sebagian warga yang ditawan Belanda antara lain adik kandung dari Motang Rua. Adik Motang Rua itu ditawan di sebuah pelabuhan tempat armada tentara Belanda di Kecamatan Reo pantai utara Kabupaten Manggarai,” jelas Phlipus anak kedua dari Istri ketiga Motang Rua yang  lahir pada tahun 1932 saat Indonesia dijajah Jepang dalam sebutan kampung mereka “Nipon”.

Berbulan-bulan tentara Belanda mencari Motang Rua, Diapun bersembunyi di kampung keluarga seperti Purek-Weol- Redo di Kecamatan Ruteng dan  kemudian di Raka Kecamtan Ndoso Kabupaten Manggarai Barat juga bersembunyi di kampung dari ipar Motang Rua. Dia diminta saudarinya agar bersembunyi di Pajo di Cunca Rawe sebuah air terjun yang memiliki gua didalamnya tempat Motang Rua bersembunyi agar tidak diketahui mata-mata tentara Belanda,

Karena takut keluarganya dihaisi tentara Belanda, Motang Rua akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda. Memang Motang Rua memiliki piur  ilmu  kekebalan tubuh anti  senjata tajam karena  itu tidak satupun peluru menebusi tubuhnya. Dia akhirnya ditarik dan dibawa oleh 5 tentara Belanda  menuju Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai sebagai pusat pemerintahan Belanda saat itu.

“Dia di panggil pimpinan tentara Belanda kemudian disiksa. Dia ditelanjangi dan direndam di air kali Wae Gogol sebelah Tulung kompleks pemukiman raja Baruk  dan keluarga yang memipin Manggarai,” tuturnya.

Pimpinan Tentara Belanda meminta 5 tentara yang dikenal dengan sebutan Marmose untuk menembak Motang Rua di Kali  Wae Gogol. Lima tembahkan yang dimuntahkan dari senjata tentara Belanda itu, tidak mampu menembusi tubuh pemimpin Pong Toro tersebut. Dia akhirnya disuruh mandi dan mengenakan pakaianya kembali.

Motang Rua dianggap sebagai pembangkang ulung bagi Belanda sehingga dia ditawan dan dibawah ke Reo bersama keluarga dan warga Beo Kina lainya. Persis di bibir pantai  dia mendapat kurungan khusus dan direndam dalam sebuah  drum berpaku sehingga  tidak bisa melarikan diri.

“Namun, sayangnya selama dua tahun di Reo  adik dari ayah Motang Rua meninggal sementara keluarga dan warga lainya, sebagai tawanan mereka dibawah ke Kupang, Nusa Kambangan, Aceh dan ada yang ke Jakarta,” urai Philipus.

“Kuburan dari adik dan ayah Motang Rua kakek kami sampai sekarang tetap menjadi tempat sejarah bagi keluarga kami. Kalau ada waktu keluarga pergi berdoa di Reo di makam itu.” pria kepala delapan ini.

Setelah dua tahun di Reo,  Motang Rua bersama 4 keluarga lainya  ditawan di Camplon, salah satu wilayah penjara dan penyiksaan  pemerintahan tentara Belanda di wilayah Kabupaten Kupang.

“Dia cukup lama di Camplong. Di sana dia disiksa dan dipaksa bekerja rodi dari pagi hingga malam,” kisahnya. (hironimus dale (Bersambung….)

Komentar ANDA?