FLORES TIMUR merupakan salah satu dari 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur yang cukup terkenal dengan toleransi kehidupan beragamanya di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini.
Wilayah kabupaten yang terdiri dari daratan Flores Timur, Pulau Adonara dan Pulau Solor dengan luas wilayah daratan sekitar 1.812,85 kilometer persegi dan luas wilayah lautan 4.179,53 kilometer persegi itu berpenghuni sekitar 280.862 jiwa, dengan penduduk yang beragama Islam 60.146 jiwa, Kristen Protestan 2.592 jiwa, Katolik 217.944 jiwa, Hindu 163 jiwa, Buddha 14 jiwa dan Konghucu hanya tiga jiwa.
Mereka hidup saling berdampingan satu sama lain, tanpa membedakan suku, agama dan ras. Mereka berada dalam satu ikatan budaya dan adat yang kuat, sehingga tidak pernah mencederai sesamanya hanya karena berbeda agama dan aliran kepercayaan.
Jika ada hajatan keagamaan di tubuh gereja Katolik, seperti pentahbisan imam baru, justru kelompok Muslim di wilayah itu bertindak sebagai panitia atau pengurus inti dalam urusan tersebut. Demikian pun sebaliknya. Jika ada umat muslim menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, justru yang menjadi panitia penyambutan saat pulang kampung adalah orang Katolik.
Wujud toleransi antarumat beragama di Flores Timur, dan beberapa tempat lainnya di Nusa Tenggara Timur, tidak hanya sebatas itu, tetapi juga dalam pembangunan atau rehabilitas rumah ibadat. Jika ada pembangunan masjid, misalnya, umat agama lain pasti akan terlibat di dalamnya. Demikian pun sebaliknya.
Dalam takaran kerukunan hidup beragama, Flores Timur mungkin menjadi salah satu contohnya. Mereka menyadari betul akan makna kerukunan tersebut. Rukun berasal dari kata ruku, Bahasa Arab, yang artinya tiang-tiang yang menopang rumah, penopang yang memberi kedamaian dan kesejahteraan kepada penghuninya.
Makna tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Flores Timur dan NTT pada umumnya selalu berada dalam suasana persaudaraan dan kekeluargaan, meski berbeda suku, agama, ras dan antargolongan.
Dalam tataran kenegaraan, ada beberapa jenis agama yang tumbuh hidup dan berkembang di negeri yang berasaskan Pancasila ini, yang harus dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa untuk saling menghargai, menghormati, saling belajar, saling menimbah serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan masing-masing.
Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding, pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki. Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi.
Namun, dalam sejarah kehidupan umat beragama, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan sering dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan.
Dalam pemahaman teoritis dan pengakuan langsung banyak pihak, agama bukan dan tidak boleh dipandang serta dijadikan sebagai pemicu konflik dan perpecahan, melainkan harus dipandang serta dijadikan sebagai penunjang perdamaian dan persatuan.
Namun, kenyataannya dalam perilaku atau tindakan orang-orang tertentu, entah dengan sengaja atau tidak, agama dipakai sebagai pemicu konflik dan perpecahan.
Bahkan ada orang-orang tertentu yang menganggap dan menjadikan agama sebagai dasar atau alasan untuk tidak boleh hidup bersama atau harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan orang yang berbeda agama, seperti yang tengah mencuat di republik saat ini.
Dalam pandangan sejumlah tokoh agama moderat, mereka menilai konflik dan kekerasan maupun perpecahan dan penghancuran yang berkaitan dengan agama dapat terjadi, fanatisme yang salah.
Penganut agama tertentu menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, mau menang sendiri, tidak mau menghargai, mengakui dan menerima keberadaan serta kebenaran agama dan umat beragama yang lain.
Umat beragama yang fanatik (secara negatif) dan yang terlibat dalam konflik ataupun yang menciptakan konflik adalah orang-orang yang pada dasarnya kurang memahami makna dan fungsi agama pada umumnya, kurang memahami dan menghidupi agamanya secara lengkap, benar, mendalam.
Selain itu, kurang matang iman dan taqwanya, kurang memahami dan menghargai agama lain serta umat beragama lain, kurang memahami dan menghargai hakekat dan martabat manusia, kurang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang universal, terutama hati nurani dan cinta kasih.
Kelompok masyarakat seperti itu, menurut pandangan rohaniawan Katolik Romo Agus Ulahaiyanan, Pr, karena kurang memahami dan menghidupi wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan yang khas Indonesia, yakni kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan, baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Menurut dia, permasalahan yang timbul, ataupun yang dikhawatirkan akan timbul, dapat diatasi atau dicegah dengan upaya peningkatan pemahaman dan implementasi yang memadai dari kekurangan-kekurangan tersebut, terutama peningkatan kualitas iman dan taqwa, hati nurani dan cinta kasih.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan dialog atau komunikasi timbal balik yang dilandaskan pada kesadaran akan adanya kesamaan maupun perbedaan yang tak dapat diingkari dan disingkirkan, sesuai hakikat atau harkat dan martabat manusia.
Bhineka Tunggal Ika Masyarakat Indonesia, baik secara lokal maupun nasional memiliki nilai-nilai dan norma-norma budaya yang pada dasarnya sangat mengutamakan, menjamin serta mencirikhaskan kerukunan dan toleransi, perdamaian dan persatuan, serta persaudaraan dan kekeluargaan.
Selain itu, memiliki solidaritas dan kerja sama, bukan hanya antarumat beragama tetapi antarsetiap individu dan kelompok dari latarbelakang manapun, karena bernauh di bawah falsafah bangsa Bhineka Tunggal Ika yang merupakan perekat utama dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Kerukunan dan toleransi merupakan ciri budaya masyarakat bangsa Indonesia, baik secara lokal maupun nasional, seperti yang sudah lama berlangsung di bumi Flores Timur dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
Atas dasar itu, masyarakat Flores Timur dan NTT pada umumnya, menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi dalam aspek manapun dengan alasan apapun tidak dapat diterima secara kultural karena sama halnya dengan menolak atau merusakkan budaya lokal maupun nasional.
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik sangat menekankan dan turut memperjuangkan kerukunan dan toleransi antarumat beragama, karena dan demi keharmonisan, persaudaraan, damai sejahtera, persatuan, dan keselamatan segenap umat manusia.
Atas dasar itu, Gereja Katolik mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus yang selalu mengajarkan tentang cinta kasih.
Dalam pandangan Gereja Katolik, kerukunan dan toleransi antarumat beragama adalah penting bagi praktik hidup beragama secara benar, konsekuen dan efektif demi terwujudnya keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, yang hanya dapat dicapai melalui cinta kasih.
Menurut pandangan Dr Ali Masrur, MAg, salah satu masalah dalam komunikasi antaragama di Indonesia saat ini, karena munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antaragama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif.
Akibatnya, kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak.
Pada sejumlah literatur tentang Islam juga disebutkan bahwa dalam mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim, tetapi dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial Islam merupakan nilai yang bersifat universal.
Kendatipun dapat dipahami bahwa Islam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep Alquran dan As-Sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahir dari pelaksanaan ajaran Islam secara konsekuen dapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antarbangsa, nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab Islam hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya.
Mencermati nilai universalisme Islam tersebut menampakkan bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian, menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar.
Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antarumat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku, bangsa dan agama, seperti yang terjadi di bumi Flores Timur khususnya, dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya selama ini. (Penulis: Laurensius Molan/ucan.news.com)