Oleh: Wisnu Nugroho
(tulisan ini disambil dari Kompas.com)
Adalah pekerja honorer seperti Asep (27), Basuki (31), dan Yudi (26) serta puluhan lainnya yang membuat taman di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta indah dan rapi tertata. Melalui tangan-tangan terampil mereka pula, dua pohon beringin yang ada di depan Istana Negara, Jakarta tidak terus tumbuh membesar.
Beringin “kembar” di depan Istana Negara perlu dipangkas secara berkala karena dua sebab utama: ke atas dan ke bawah.
Pertama, ke atas. Jika dibiarkan tidak dipangkas ranting dan daunnya, beringin kembar itu akan menutupi lambang negara Garuda Pancasila di tembok Istana Negara.
Kedua, ke bawah. Jika beringin kembar itu dibiarkan meluas ranting dan daunnya tanpa dipangkas, rumput dan tanaman kecil di bawahnya akan mati. Hak tanaman-tanaman kecil itu akan sinar matahari bisa dirampas oleh rimbunnya beringin.
Terpangkasnya beringin kembar di halaman depan Istana Negara saya dapati kembali, Kamis (12/5/2016) lalu, saat berjalan melintasinya menuju Gedung Bina Graha, Jakarta.
Dengan penampakannya yang lebih kecil dari yang pernah saya dapati selama periode 2004-2009, beringin kembar di depan Istana Negara tidak hanya dipangkas tetapi dibonsai oleh para pekerja honorer Istana.
Karena pembonsaian ini, dari arah Jalan Veteran, lambang negara Garuda Pancasila yang berwarna keemasan terlihat lebih bersinar dan mencolok. Begitu juga hak tanaman-tanaman kecil akan sinar matahari untuk tumbuh subur di bawah beringin itu.
Pembonsaian beringin kembar di depan Istana Negara berdampak ganda.
Menengok ke belakang, beringin kembar di depan Istana Negara merupakan warisan paling nyata Presiden Soeharto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Tumbuh dan berakarnya beringin di Istana Negara sekaligus adalah tanda bagi Soeharto yang berkuasa dengan dukungan utama Golongan Karya (Golkar). Dalam tiap-tiap pemilu pemerintahan Orde Baru sejak 1971, Golkar selalu menang dengan perolehan suara lebih dari 60 persen.
Bahkan, di akhir kekuasaan penguasa Orde Baru ini, di Pemilu 1997, Golkar meraih 74,51 persen suara. Kita tahu semua, setahun setelah itu, di awali krisis ekonomi dan meluasnya ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah yang disuarakan mahasiswa, Soeharto tumbang.
Meskipun Soeharto tumbang, tidak demikian dengan beringin kembar yang ditanam pada periode kekuasaanya setelah menggantikan Presiden Soekarno.
Kepada kita, Soeharto seperti hendak menegaskan kebenaran ini, “Jika hendak dikenang melampau usia kita, lakukan tiga hal ini: memiliki keturunan, menulis buku, dan menanam pohon”.
Mengenai upaya rutin memangkas ranting-ranting dan rimbunnya daun beringin, Asep pernah berujar berdasarkan pengalamannya.
Berikut kata-katanya, “Mumpung belum terlalu besar, beringin ini kami pangkasin. Kalau sudah telanjur besar, susah mangkasinnya. Harus kerja keras dan butuh banyak orang dan bantuan.”
Dukungan menyusut
Bersamaan dengan rutinitas pemangkasan beringin kembar di Istana Negara, di Bali Nusa Dua Convention Center, tengah berlangsung Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar. Munaslub Partai Golkar yang dimulai sejak Jumat pekan lalu akan berakhir, Senin (16/5/2016).
Ihsanuddin/KOMPAS.com Tujuh dari delapan calon ketua umum partai Golkar menolak voting terbuka dalam pemilihan ketum di Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar, Minggu (15/5/2016)
Delapan calon ketua umum Partai Golkar akan memperebutkan suara untuk menggantikan posisi Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Delapan calon ketua umum itu adalah Ade Komarudin, Setya Novanto, Airlangga Hartarto, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Aziz Syamsuddin, Indra Bambang Utomo, dan Syahrul Yasin Limpo.
Siapa pun yang kemudian terpilih, situasi politik tidak lagi sama seperti situasi politik saat mereka bergabung ke Golkar. Sejak Soeharto tumbang, Golkar yang bersalin rupa menjadi Partai Golkar memang tidak ikut tumbang. Namun, perolehan suaranya dari pemilu ke pemilu terus terpangkas.
Mewarisi 74.51 persen suara di pemilu terakhir di era Orde Baru tahun 1997, di Pemilu 1999 Partai Golkar meraih 22,44 persen saura. Di Pemilu 2004, meskipun berhasil menjadi pemenang, suara Partai Golkar turun lagi menjadi 21,58 persen suara.
Di dua pemilu terakhir, perolehan suara Partai Golkar juga turun dibandingkan perolehan suara di dua pemilu sebelumnya. Pemilu 2009, Partai Golkar mendapat 14,45 persen suara. Di Pemilu 2014, perolehan Partai Golkar naik sedikit menjadi 14,75 persen suara.
Meskipun persentasenya naik, perolehan kursi partai warisan Orde Baru ini di DPR turun. Pada Pemilu 2009, Partai Golkar meraih 107 kursi di legislatif. Di Pemilu 2014, kursinya di legislatif menyusut menjadi 91.
Tidak hanya di lembaga legislatif kesulitan dialami Partai Golkar. Di lembaga eksekutif, upaya Partai Golkar berkuasa melalui Pemilu Presiden selalu kandas.
Saat menang di Pemilu 2004 dan mencalonkan Wiranto-Salahuddin Wahid dan kemudian berkoalisi untuk memenangkan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi melawan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Partai Golkar kalah.
Begitu juga ketika Pemilu 2009. Jusuf Kalla yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden dan Ketua Umum Partai Golkar dan mencalonkan diri berpasangan dengan Wiranto, kalah telak dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Tahun 2014, upaya Partai Golkar berkuasa di lembaga eksekutif lewat Pemilu Presiden juga kandas. Persekutuan Partai Golkar dalam Koalisi Merah Putih mendukung Prabowo-Hatta Rajasa dikalahkan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Joko Widodo–Jusuf Kalla.
Golkar dan kekuasaan
Betul bahwa meskipun tidak pernah menang dalam Pemilu Presiden, Partai Golkar tidak pernah tidak “kebagian” kekuasaan. Saat kalah di Pilpres 2004, ada Jusuf Kalla dan gerbongnya di pemerintahan. Posisi Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden lantas membuat Golkar mampu dikuasai.
Setelah kalah dalam Pilpres 2009, Partai Golkar yang kemudian dipimpin Aburizal Bakrie dengan lihai merapat kembali ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah Pilpres 2014, meskipun pasangan yang didukungnya kalah, hadirnya Jusuf Kalla dan Luhut B Panjaitan di pemerintahan adalah bentuk lain dari liatnya Partai Golkar.
Meskipun selalu kalah dalam pemilu presiden, fakta tidak pernah absennya Partai Golkar di gerbong pemerintahan tampaknya tidak cukup memuaskan. Upaya merebut kembali kekuasaan di Istana setelah lepas lantaran reformasi melalui pemilu terus digelorakan.
Pada saat bersamaan, kesadaran di antara Asep, Basuki, Yudi dan rakyat kecil lainnya yang merawat keindahan Istana makin meluas.
Agar lambang negara Garuda Pancasila memancar sinarnya dan tanaman-tanaman kecil di bawahnya tidak binasa, beringin di Istana Negara harus terus-menerus dipangkas.
Upaya Partai Golkar kembali berkuasa di Istana tidak akan mudah karena akan terus-menerus berhadapan dengan kesadaran yang diyakini rakyat kecil seperti Asep, Basuki, dan Yudi. Kesadaran mereka tumbuh berdasarkan pengalaman sehari-hari. (sumber: komas.com)