MEMBACA *CITA ‘SANG PEZIARAH’* (Thomas T Pureklolon)

0
509

Oleh: Robert Bala

Saya tahu di SMA ia mengambil jurusan A4 (Budaya). Dengan kekhususan itu ia bisa belajar lebih banyak sastra. Tetapi kemampuan bercerita begitu mengakar padanya. Setelah membaca sebuah buku, ia dalami, memahami suasana dan bisa menceritakan dengan bahasa yang hidup. Itulah Dr Thomas Tokan Pureklolon yang menjadi rekan seperjalanan untuk waktu yang tidak singkat.

Dengan latar belakang di atas, ia seharusnya pandai berpuisi. Tetapi setelah bergerak di ladang berbeda, tidak mudah memantau kalau ada puisi yang nongol. Karena itu postingan di group (SVD Nenuk) dan kemudian diterbitkan di NTTsatu puisi dengan judul: *CITA SANG PEZIARAH*, saya menjadi terkejut sekaligus terdorong untuk membaca (berulang-ulang) untuk dapat memahami maknanya.

Tetapi seperti kata *Paul Riocouer*, tentu tafsir ini bisa saja saja berbeda dengan maksud penulis. Soalnya ketika sebuah teks dipublikasikan maka ia memiliki otonomi yang bisa saja berbeda. Tetapi saya berusaha untuk tidak terlalu melenceng jauh dari maksud penulis.

*Hanya Butiran Debu*

Di alam semesta nan besar dan luas, sang peziarah hanya merasa diri bak sebutir debu. Ukuran debu itu hanya sekitar 1 – 500 mikron yang tentu saja sangat kecil. Bayangkan, di depan mata seseorang debu itu menjadi sangat kecil apalagi kalau ditempatkan di alam semesta. Ia hampir mendekat kepada ketiadaan. *(…..jauh menjangkau awan terus menembus langit, walau hanya butiran debu).*

Kekecilan dalam ada pada sisi lain juga sang peziarah merasa bahwa yang ia miliki hanyalah kata dan ilmu. Tetapi hal itu terasa sangat bernilai karena semuanya diabdikan buat Ibu Pertiwi: *(segudang ilmu, dalam kata dan lata yang dipoles cinta menjadi bernilai).*

Tetapi kata yang mau tersampaikan bagi sang peziarah tidak saja berarti berbicara. Sang peziarah melihat bahwa dalam bungkam orang masih berbicara. Kekuatan ini yang barangkali mau diangkat penulis khususnya dalam menulis. Dalam bungkam, ia masih berbagi nilai: *(Terhempas luas dalam bungkam, tampak kuat walau samar, jadi nilai penuh).*

Apa yang disebut oleh peziarah bukan sekadar sebuah ide. Ia sudah laksanakan dalam terus mengembara dan berjalan: *(sang peziarah semesta jadi pengembara tak henti).*

Kembaraan sang peziarah ini tidak hanya siang tapi malam. Sang bulan jadi saksi saat menyoroti kembara sang peziarah *(Jadi pengembara tak ada henti, ketika rembulan menyorotkan cahaya nan molek).*

Sebagai manusia sang peziarah tahu bahwa lelah dan capeh itu nyata. Tetapi seperti bunga ia mau terus mekar dan se perti peziarah ia harus kekar secara fisik. Ia biarkan diri agar mekansime jagatlah yang terus menguatkannya.

*Anak Desa*

Rasa kecil dan hanya sebutir debu yang digambarkan di awal pada akhirnya diungkapkan dengan bahasa yang jelas tentang gambaran diri sebagai anak desa. Penulis adalah seorang anak dari desa Tokojaeng Ile Ape. Tidak terbayang bahwa dari keterlemparan untuk lahir di sebuah kampung kecil, pulau kecil, di Timur, kini ia berada di sebuah kata untuk mengolah kata bebicara di depan khalayak sebagai dosen.

Tetapi sang peziarah tidak mau mengalah pada kekecilan asal. Ia ingin mengangkasa dengan lilin di tangan. Ia tidak hanya menyerah dan mengandalkan rembulan tetapi dengan kekuatan yang ada padanya ia juga mau jadi terang: *(…tangis anak desa nun jauh dari Timur, mengangkasa dengan lilin di tangan).*

Lalu apa yang ingin dilakukan selanjutnya? Baris terarkhir puisi sangat jelas: hanya ingin berbagi. Yang mau dilakukan hanya *mau berbagi dan terus berbagi.*

Penulis berbagi waktu (sebagai dosen) dan pemikiran (melalui tulisan). Ia ingin membagi apa yang ada padanya sehingga lebih banyak orang dapat mengenyam kedalaman pikiran yang ada padanya.

Ia juga tentu berbagi secara material. Apa yang diperoleh lewat dedikasi sebagai dosen dan aneka buku yang ditulisnya tentu menjadi media untuk berbagi dengan sesama. Untuk berbagi yang terakhir ini, sang peziarah tidak mau gambarkan secara jelas. Ia punya ancang dan program yang dibuat dalam diam untuk merambah orang tidak hanya dengan kata tetapi aksi nyata.

Lalu sampai kapan? Sang peziarah tidak memberi batas waktu tetapi *’hingga harinya nanti’* (ini sebuah batas waktu keabadian. Sang peziarah ingin terus mengabdi selanjutnya.

Robert Bala. Penikmat Puisi :CITA SANG PEZIARAH)

Komentar ANDA?