Membumikan Keberagaman

0
943

*) Oleh: Albertus Muda Atun

 

SUMPAH  Pemuda merupakan salah satu peristiwa penting sepanjang perjalanan sejarah kehidupan berbangsa. Para pemuda pelopor angkatan 1928 menyadari pentingnya membentuk sebuah komunitas politik nasional menuju peradaban pascasuku yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keterbatasan konektivitas teknis yang meliputi sarana transportasi dan komunikasi kala itu, tak menghalangi konektivitas nalar dan rasa kebangsaan para pemuda pelopor angkatan 1928. Mereka bersepakat menyatu dalam keanekaan tanpa menghilangkan orisinalitas suku, budaya dan agama yang telah lama dipegang teguh para pendahulu.

Komunitas-komunitas primordial yang tertutup mulai membuka diri sekaligus menerima keberagaman membangun peradaban menuju tatanan hidup yang lebih maju dalam semangat kesatuan. Pemuda pelopor angkatan 1928 terus membuka diri. Nilai-nilai budaya warisan leluhur menjadi spirit yang menjembatani keanekaan dan keberagaman.

Pertanyaannya, bagaimana kehidupan pemuda Indonesia hari ini? Kita saksikan bahwa pemuda Indonesia hari ini telah melampaui kehidupan generasi sebelumnya yang masih dililit keterbatasan teknis serta terkendala ruang dan waktu dalam komunikasi dan transportasi. Pemuda Indonesia hari ini memasuki era telekomunikasi dan transportasi modern. Hubungan antarpemuda di berbagai daerah pun semakin terkoneksi berkat hadirnya teknologi digital.

Meski demikian, di satu sisi, dikembangkannya teknologi komunikasi dan transportasi untuk merekatkan keanekaan, nalar dan rasa kebangsaan justru semakin renggang, di sisi lain. Kaum muda berlomba mengadopsi teknologi tetapi tidak diikuti oleh etika penggunaan dan sikap kritis serta tanggung jawab bermedia. Literasi media memprihatinkan. Nalar ilmiah rendah, pergaulan lintas budaya dan agama semakin mengerucut dan eksklusif.

Kondisi di atas mesti menggugah kaum muda untuk berpikir kritis dan bertanggung jawab. Dengan begitu, kaum muda termotivasi untuk mengintrospeksi diri dan mengritik dirinya. Selanjutnya, berani mengkritisi kondisi faktual hari ini dan menyelaraskan dengan kemarin sambil menawarkan solusi yang konstruktif. Jiwa eksploratif dan komunikatif mesti dihidupkan dalam diri kaum muda hari ini. Selain itu, kaum muda mesti memiliki kesangsian ilmiah dalam membaca tanda-tanda zaman yang berkembang saat ini. Jika hal ini tercapai maka bisa dipastikan generasi muda memberikan harapan baru bagi masa depan bangsa Indonesia.

Kesadaran akan sejarah, wilayah dan kemauan bersama para pemuda pelopor angkatan 1928 menjadi dasar menyatukan keanekaan. Atas dasar ini, pemuda pelopor angkatan 1928 menyatakan sumpah membangun satu bangsa yang utuh dan kokoh, menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan menjaga tanah air Indonesia tetap dalam bingkai NKRI.

Kesadaran di atas mencapai puncaknya dalam Sumpah Pemuda. Inilah puncak pemikiran generasi baru, yang menjadi penanda abad baru. Sumpah Pemuda menjadi sebuah kekuatan moral (moral force) untuk membebaskan bangsa Indonesia dari eksploitasi kaum kolonial yang mencapai titik kulminasi pada proklamasi kemerdekaan.

Tantangan Generasi Muda

Meskipun kemerdekaan telah diraih, namun sikap anarkis dan eksklusif tetap menjadi tantangan dalam kehidupan berbangsa. Sebagian generasi muda hari ini kian terjebak dalam pemaknaan persatuan secara sempit. Sikap eksklusif ini membuka ruang menjamurnya tindakan anarkis dan munculnya kelompok berhaluan radikal.

Yudi Latif (Kompas, 28/10/2017, hal. 6) secara gamblang mengatakan, secara faktual kita saksikan jutaan generasi muda hari ini hanyut dalam gelombang arus balik dari samudera kebangsaan Indonesia menuju sungai kecil primordial. Banyangan komunitas imajiner kekitaan menyempit, dipenggal-penggal kembali menurut garis perbedaan identitas agama, suku dan golongan.

Senada dengan itu, M. Subhan menegaskan, sikap intoleransi terasa menguat sehingga menimbulkan polarisasi ekstrim. Sentimen komunal seperti etnis dan agama bisa menjadi bara penyulut konflik. Inilah bedanya dengan zaman abad ke-20 ketika bangsa ini menemukan titik persamaan di atas reruntuhan perbedaan (Kompas, 28/10/2017, hal.2).

Mari Bersatu Menjaga Indonesia

Gaung intoleransi yang diembuskan berwajah hoax, isu sara dan radikalisme semakin mendapat ruang. Sikap-sikap yang memberaikan ikatan kesatuan bangsa semakin progresif. Meski demikian, kita mesti tetap optimis dan berharap pada komunitas-komunitas generasi muda lainnya yang tidak tinggal diam atau menutup mata terhadap kondisi bangsa ini.

Mengantisipasi semakin merebaknya hoax dan isu sara dan kelompok radikalisme yang menjamur sebagian komunitas generasi muda yang menamakan diri minoritas kreatif seperti seniman, sastrawan, awak media dan pegiat literasi terus membangun kesadaran moral melalui pencerahan positif dan tetap militant menjaga bangsa. Mereka komit menjunjung tinggi disiplin diri dan bertekad mengubah julukan pada generasi muda yang berlabel konsumtif pada aras generasi produktif, unggul dan berdaya saing.

Komunitas-komunitas anak muda seperti seniman, pegiat literasi yang menginisiatifi kolaborasi dalam karya sebagai wujud membangun Indonesia di era kekinian. Dengan begitu, meskipun banyak generasi muda yang tidak mendapat ruang untuk berkarya dalam bidang politik dan ekonomi, mereka tidak tinggal diam dan apatis.

Generasi milenial yang terus bergerak mencari ruang untuk berekspresi mesti diberi apresiasi. Ada yang bergerilya lewat karya-karya yang mereka hasilkan seperti sastra, seni dan perfilman. Ada yang aktif bergerak menjaga nilai keberagaman, toleransi, persatuan dan perdamaian yang belakangan ini terancam. Ada yang rutin mementaskan atraksi budaya melalui teater dan tarian dan juga menulis buku untuk menyemai nilai-nilai keindonesiaan.

Banyak anak muda yang mengambil jalan literasi untuk mendidik sesama anak muda di pelosok-pelosok tentang pentingnya berpikir kritis, analitis, komunikatif dan kolaboratif. Semua kompetensi tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban mereka kepada bangsa. Kemudahan mengakses informasi mendorong mereka membantu sesama anak muda di wilayah lain yang masih membutuhkan bantuan.

Slogan ‘kita tidak sama, tapi bekerja bersama’ hendaknya menginspirasi generasi milenial untuk mengambil peran di berbagai bidang. Keberagaman hendaknya menjadi dasar untuk memahami keunikan satu sama lain. Generasi milenial hendaknya menjadikan berbagai potensi dan kecerdasan semua anak bangsa untuk membangun Indonesia.

Sejak awal kita beragam dalam rumah Indonesia. Keanekaan merupakan sebuah keniscayaan yang patut diterima dengan hati lapang. Keberagaman adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak apalagi diingkari. Membumikan keberagaman adalah solusi yang tepat di tengah pluralitas dan kemajemukan hidup berbangsa.

Akhir-akhir ini kita saksikan sederet elite bangsa yang terindikasi kehilangan kewarasan. Keteladanan perlahan tergerus karena lebih dikuasai energi negatif. Keteladanan, kejujuran dan pengakuan atas keunikan anak bangsa sangat dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Mari menyemai kembali spirit persatuan dan semangat keindonesiaan generasi pelopor 1928 di tengah kondisi bangsa yang sedang dilanda konflik dan ancaman disintegrasi. (***)

——-

*) Penulis adalah Guru SMA Negeri 2 Nubatukan Lewoleba-Kabupaten Lembata

Komentar ANDA?