Memotret Nasdem Lembata

0
1476

Oleh : Robert Bala

Pilkada Lembata baru akan dilaksanakan 2023 atau 2024. Namun bakal calon bupati dan wakilnya sudah ramai digulirkan. Wajar saja. Sebuah proses pencarian hingga mendapatkan calon berkualitas butuh waktu.

Di antara banyak calon, saya merasa tersentuh mengananalisis peluang Partai Nasdem Lembata. Lebih khusus tentang prospek Wakil Bupatei Lembata, Dr. Thomas Ola Langoday. Alasannya, selain minimnya pengetahuan tentang peluang kader lain, tetapi tidak bisa disangkal, membuat prediksi, seyogyanya didasarkan pada peluang yang paling riil. Calon lain bisa saja lebih hebat dan potensial, tetapi ibarat bangga dengan ribuan burung yang terbang di laingit, lebih baik punya satu di tangan. Itulah yang barangkali saya tempatkan doktor ekonomi lulusan dari Universitas Brawijaya itu.

Tetapi apakah posisi Thomas Ola itu masih ‘dilirik’ Nasdem? Mustahil bertanya demikian. Melihat pencapaian Nasdem dalam pileg tahun 2019, bisa dipastikan Nasdem akan berpikir beberapa kali untuk menggantungkan harapannya.

Lihat saja hasil pileg 2019. Mungkin harapan tidak setinggi Golkar dan PDIP yang menempatkan 4 anggotanya di Peten Ina Lembata. Tetapi kalau PKB bisa mencapai hasil maksimal menyampai PDIP dan Golkar, mengapa Nasdem hanya 2 kursi? Mengapa Gerindra yang secara nasional terseok-seok dan Demokrat yang sudah kehilangan gigi di level nasional bisa mencapai 3 kursi sementara Nasdem hanya 2 kursi bersama PAN?

Hasil seperti ini tentu jadi evaluasi, apalagi melirik daerah lain seperti TTU yang saat Nasdem berkuasa, mereka menyabet mayoritas dengan 8 anggota DPRD. Semua kekuatan yang ada digerakkan dan terbukti berhasil. Di situlah bukti kelihaian seorang pemimpin seperti ditampilkan Raymundus Fernandez di TTU.

Di Lembata, Thomas bisa membela diri dengan merujuk pada kontribusi Nasdem Lembata dalam memenangkan Johny Plate (dan Julie Laiskodat) di Dapil 1 NTT dan turut mengusung Alexander Ofong ke DPRD Propinsi. Tetapi ukuran kesuksesan akan lebih ditentukan oleh pencapaian di Lembata, tempat di mana Thomas menjadi Wakil bupati.

Hasil minimal Nasdem di Lembata tentu masih bisa dijelaskan juga. Saat itu Pileg (2019) Thomas baru satu tahun di kursi wakil bupati. Tetapi yang jadi pertanyaan, apa yang bisa dibuat setelah hampir 3 tahun untuk Nasdem? Pertanyaan seperti ini kelihatan sangat diharapkan Nasdem Lembata. Bagi mereka, Thomas harus bisa ‘bermain’ dalam politik. Ia perlu lihai dan lincah merancang strategi agar terlihat hasil yang nyata yang menguntungkan Nasdem tidak saja Lembata tetapi juga secara wilayah dan nasional.

Tetapi cara seperti ini rupanya tidak klop dengan pembawaan Thomas. Sebagai akademisi, Thomas tidak terlalu tergoda untuk bermain ‘nakal’ dalam politik. Ia tidak bisa menyangkali kualitas pendidikan yang dimiliki dan etika politik yang dihayatinya. Ia justru memilih menyapa secara personal. Melalui media sosial, Thomas sangat detail dan personal. Bahkan ulang tahun pun diucapkan. Kerap Thomas juga mengomentari postingan yang dianggap penting.

Hal seperti itu memang agak jarang dilakukan oleh politisi lain. Bahkan kerap lawan politik mencibir Thomas yang lebih gesit update status ketimbang melakukan terobosan yang diam dan menguntungkan tidak saja Nasdem tetapi rakyat Lembata. Tetapi itulah pilihan politik yang dihayatinya. Baginya (mungkin saja), politik itu butuh waktu dan proses. Kita tidak bisa sekejab mengharapkan keberhasilan kalau tidak didasarkan pada proses yang kuat.

Thomas tahu, Nasdem itu baru seumur jagung: 9 tahun (berdiri 2011). Terlalu muda bagi Nasdem untuk mencapai hasil gemilang dan cemerlang. Pengalaman yang dilalui TTU terbukti. Nasdem mengalami perkembangan pesat tetapi didasarkan pada eufori, bukan pada program mendasar. Akibatnya kebencian itu terus menumpuk dan ketika rakyat bosan, mereka mengatakan yang sebaliknya. Semua kekuasaan dilucuti dari dinasti Fernandez dan kini mereka nyaris memiliki apa-apa lagi. Bahkan dikuatirkan, kursi Ketua DPW Nasdem NTT pun akan dilucuti dari Fernandez.

Membenahi yang ada
Kalau saya bisa ditanya (hal mana tidak akan ditanyakan oleh kompetensi minimal dalam berpolitik), tentang apakah menghadirkan kader baru menggantikan Thomas untuk merebut kursi nomor 1 Lembata atau membenahi yang ada dengan menampilkan Thomas apa adanya, maka saya memilih yang kedua.

Pertama, kelihatan lebih mudah menghadirkan figur baru menggantikan Thomas. Isu itu mungkin saja lebih dari cukup untuk dipercayakan. Nasdem Lembata memilih untuk mencari figure lain yang potensial, yang gesit dan terbukti memberiakn kontribusi bagi partai. Nasdem Lembata seakan sadar bahwa memilih seorang doktor lebih suka hadir sebagai ‘guru’ bagi semua dan tidak bertindak ‘nakal dan strategis’ terbukti tidak menguntungkan Nasdem (meski Nasdem juga sebenarnya tidak rugi).

Pada sisi lain, Nasdem bisa saja beralasan, Thomas tidak ‘seberani’ Victor Mado Wutun saat jadi wakil bupati. Saat itu, Victor hanya berbulan madu setahun ‘berbaikan’ dengan Yentji Sunur. 4 tahun hingga selesai, Victor nyaris diberi ‘ruang gerak’ oleh Thomas. Tetapi secara pribadi, Victor menunjukkan taringnya dan sukses mendapatkan kepercayaan jadi wakil rakyat di Propinsi.

Thomas memilih jalan ‘aman’. Ia tahu posisi wakil bupati bukan strategis. Ia hanya ada untuk menyukseskan bupati, sambil berusaha masuk pada momen yang pas untuk memberikan program baru. Ia juga tahu bahwa segala kesuksesan milik bupati, semengara kegagalan dan kekurangan akan menjadi resiko baginya. Tetapi itulah kenyataan yang diterima oleh Thomas.

Kedua, meski analisis seperti ini beralasan, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa Nasdem adalah partai baru. Ada kerinduan untuk meraup keuntungan politik secepatnya. Tetapi sejarah menunjukkan, partai tanpa ideologi yang cukup kuat dengan kadar peresapan ideologi pada anggota yang belum kuat maka bisa menjadi boomerang. Kenytaan itu terbukti di TTU dan mesti jadi pembelajaran berharga.

Dalam arti ini maka mestinya antara pilihan mendapatkan kader baru yang (bisa saja) lebih potensial atau membenahi kader lama (Thomas Ola) maka semestinya alternatif kedua yang dipilih. Selama 3 tahun (dan akah usai nanti 5 tahun), Thomas sudah mengenal medan di Lembata. Ia tidak mengenal secara sistem-struktural tetapi diperkuat dengan pengenalan personal yang cukup kuat.

Pada sisi lain, ketulusan dan sikap bijaksana sebagai guru yang bermain ‘aman’ mestinya dianggap sebagai investasi dan bukan sebagai kelemahan. Politik di era digital terlalu mudah untuk menyingkap kepalsuan. Orang akan begitu mudah mengetahui kelemahan dan juga kebohongan yang terjadi. Sebaliknya segala kebaikan personal akan sangat menyapa. Hal inilah yang merupakan kredit poin bila meneruskan Thomas Ola Langoday sebagai Bupati Lembata periode 2023/2024 – 2028/2029).

Periode selanjutnya bisa dipastikan bahwa kadar keilmuan sebagai doktor ekonomi akan turut mewarnai pembangunan di Lembata. Bahwa selama ini ia tidak menampilkan semua keuletan itu tentu tidak bisa dilepasakn dari posisinya yang ‘hanya’ sebagai wakil bupati.

Tetapi sayang bahwa pengandaian ini mungkin saja hanya miliki penulis sebagai pengamat dengan dasar pemikiran yang sangat lemah. Banyak politisi hebat Nasdem di Lembata mungkin lebih paham akan hal ini dan memilih kader baru yang lebih hebat. Untuk pilihan seperti ini tentu menjadi hak dari Nasdem tidak saja Lembata tetapi juga propinsi dan nasional.

Tetapi saya hanya mengingatkan bahwa pengalaman politik di TTU semoga menjadi pembelajaran berharga agar tidak salah kedua kalinya di Lembata.

==========

*) Penulis adalah Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

Komentar ANDA?