Oleh: Robert Bala
Kabar adanya upaya menggugat hasil Pilkada Lembata oleh salah satu Paket (Media Indonesia 6/12) adalah hal yang wajar-wajar saja. Adanya kelebihan surat suara di TPS 1, Desa Kalikur Weel merupakan sebuah pelanggaran. Diduga ada kecurangan di banyak TPS di Lembata.
Yang jadi pertanyaan, apakah gugatan di akhir seperti ini banyak memiliki impact atau pengaruh yang kuat untuk mengubah hasilnya? Apa yang mestinya menjadi kesadaran kritis kini sebagai bagian dari pembenahan ke depan?
Pertanyaan ini membutuhkan jawaban tidak saja pada ‘last minute’ saat pilkada usai. Ia mendorong pemikiran kritis untuk menilai proses dari hulu.
W.C. Fields (1880-1946) seorang pelawak, pemeran, juggler, dan penulis Amerika Serikat, pernah mengatakan hal ini: Ingat, ikan mati bisa mengapung ke hilir, tapi butuh ikan hidup untuk berenang ke hulu.
Itu berarti, persoalan (ikan mati) yang kini akan digugat bisa dipahami karena di hulu didapati fakta yang merugikan, seperti yang terjadi dalam pilkada Lembata. Banyak anomali bisa saja terjadi.
Tetapi apakah anomali itu memiliki dampak yang signifikan? Apakah persoalannya menjadi sangat mendasar sehingga memengaruhi hasil akhir? Sesungguhnya persoalan kecil itu ada tetapi bila dikritisi, hanya merupakan usaha ‘kecil-kecilan’ untuk menambah kemenangan.
Mengapa usaha kecil-kecil diperbolehkan? Karena ada masalah dari hulu (upstream) yang merupakan akar. (Terlalu) banyaknya paslon menjadi alasan yang paling utama sebagai akar persoalan. Lembata memecahkan rekor nasional menjadi daerah dengan paslon terbanyak (6 paslon). Hal itu melangkahi akal sehat.
Mengapa? Ketika opsi menjadi sedikit (2 atau 3 kandidat), maka ada upaya membangun jarigan yang lebih kuat untuk dapat saling mengawasi. Persoalannya, dengan jumlah 6 paslon maka yang ada dalam benak setiap paslon adalah mencapai hasil minimal. Bisa dibayangkan bahwa paslon dengan kemenangan min 16 ribu sudah bisa berharap jadi Bupati/Wakil Bupati Lembata andaikan semua paslon yang lain dibagi sama rata sisa suara yang ada. Dalam arti ini, paslon 01 (dengan 12.567) dan Paslon no 4 dengan 19.712) sudah bisa berangan akan terpilih.
Bahwa akhirnya paslon no 4 yang terpilih karena memiliki suara yang lebih dari paslon 01, maka itu hanya sebuah kemujuran. Itu berarti persoalan di hulu yang seharusnya dikritisi dari awal adalah mengerem keinginan jadi pemimpin dan berkonsolidasi menghadirkan minimal alternatif (maksimal 3 paslon) agar lebih mudah mematangkan argumentasi dan alasan untuk terpilih. Sementara itu, ketika napsu ingin berkuasa tidak bisa dilerai dan dikontrol (seperti pada pilkada 17/11), maka persoalan di hilir tidak saja satu tetapi lebih dari itu akan muncul. Di sana akan ditemui bahwa penemuan pelanggaran bisa saja ada tetapi ia bukan hal yang sangat kuat sehingga dapat membatalkan hasil pilkada.
Ada hal yang jauh lebih serius. Dengan persoalan riskan di hulu oleh hadirnya paslon yang begitu banyak sudah bisa dipastikan bahwa siapapun yang terpilih adalah pemimpin ‘minimalis’. Hal itu bukan saja oleh pencapaian suara yang sangat minim hanya sekitar 1/5 dari total penduduk, tetapi juga kematangan idenya juga dipertanyakan. Paslon akan lebih sibuk memperjuangkan bagaimana menang (strategi licik) ketimbang memikirkan ide besar membangun Lembata.
Menyudahi
Bila kita sepakat bahwa begitu banyaknya paslon yang berkeinginan jadi Bupati/Wakil Bupati Lembata seakan telah menjadi ‘identitas’ orang Lembata. Pada tahun 2011, bahkan ada 11 paslon yang ingin maju. Bahwa akhirnya hanya ada 6 paslon yang maju, tetapi itu tetap sangat banyak.
Pada tahun 2017 terulang kembali. Kali ini ada 5 paslon, sebuah angka yang masih tidak masuk akal. Hal itu kembali terulang di 2024 dengan 6 paslon. Itu berarti selagi begitu banyak orang Lembata jadi pemimpin maka kita hanya akan menghasilkan pemimpin minimalis. Menyadari hal ini maka mestinya kecendrungan seperti ini perlu dikontrol dan disadari sebagai hulu darinya terlahir pemimpin minimalis.
Dengan membangun kesadaran ini maka kita sebenarnya tengah merancang hal yang jauh lebih penting yakni memproses dari awal calon pemimpin yang kalau boleh sekaligus negarawan. Penulis sekaligus sejarawahn asal AS, James Freeman Clarke “Seorang politisi memikirkan pemilu berikutnya. Seorang negarawan, generasi berikutnya.”
-James Freeman Clarke (1809-1887) pernah mengatakan hal yang sangat penting. Ia ingatkan bahwa seorang politisi memikirkan pemilu berikutnya, sementara seorang negarawan memikirkan generasi berikutnya. Yang terjadi di Lembata, yang dipikirkan tiap lima tahun hanyalah melahirkan sebanyak mungkin politisi yang ingin mengaduh nasib (jadi pimpinan) dan bukannya proses melahirkan pemimpin yang diharapkan untuk menghadirkan generasi masa depan yang lebih baik.
Tentang cara mempersiapkan generasi berikut kita bisa berbeda. Tetapi penulis sangat yakin bahwa pendidikan adalah jalannya. Upaya membangun pendidikan (terutama pendidikan tinggi) akan semakin jauh karena hal itu tidak pernah terpikirkan. Penulis telah berusaha meyakinkan legislatif dan ekesekutif, tetapi semua lebih memilih jangka pendek melahirkan politisi ketimbang prihatin akan generasi berikutnya.
Tetapi kita bisa menitip harapan. Siapa tahu, Petrus Kanisius Tuaq dan terutama Muhamad Nasir yang cukup strategis dalam debat bisa membaca tulisan ini dan memikirkan secara serius pendidikan sebagai jalan terbaik.
==========
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.