‘MENDARATNYA’ IKAN TEMI, TANDA BENCANA KAH?

0
3410

Oleh: Robert Bala

Hari kelima bencana meletusnya gunung Ile Lewotolok, alam Lewoleba menampilkan hal aneh. Ribuan ikan temi ‘mendarat’. Orang pun ramai-ramai menadah tempatnya. Ikan secara ‘sukarela’ melompat ke dalamnya. Santapan berkelimpahan. Alam seakan tahu, di Lewoleba, para pengungsi menunggu uluran tangan.

Tetapi apakah itu tanda bencana alam? Apakah itu pratanda gempa bumi malah tsunami bakal terjadi sebagai susulan atas meletusnya gunung yang berada di depan Lewoleba itu? Mustahil bertanya demikian. Turunnya binatang di gunung ke lembah biasanya dianggap sebagai salah satu tanda panasnya daerah puncak sebagai tanda gunung bakal Meletus. Lalu apakah naiknya ikan ke darat juga bisa dikaitkan dengan hal yang sama?

“Upwelling”

Apa yang terjadi di Lewoleba sebenarnya bukan hal yang baru pertama terjadi. Kejadian serupa pernah terjadi di Bali (Juli 2019) dan Gorontalo (Januari 2020). Pada kejadian itu tidak terjadi bencana alam sesudahnya. Hal ini dengan mudah menempis dugaan bahwa naiknya ikan ke darat berkaitan dengan bencana.

Tentu dua kejadian itu tidak serta merta menjadikan kesimpulan ini valid. Bisa saja kejadian ketiga (misalnya saja Lewoleba) bakal diikuti bencana sesudahnya. Tetapi minimal mengurangi kecemasan bahwa dugaan tentang akan datangnya bencana tidak terlalu kuat, apalagi dua kejadian sebelumnya tidak berakhir dengan bencana.

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi? National Ocean Service menamakan kejadian itu bermula dari apa yang disebut ‘updwelling’. Upwelling is a process in which deep, cold water rises toward the surface (proses di mana air dingin yang dalam naik ke permukaan.

Sederhananya, ada angin di atas permukaan laut. Air di permukaan terdorong menjauh, lalu air dingin dari bawah yang kaya nutrisi (ikan-ikan) ikut berpindah ke atas permukaan.

Proses seperti ini biasanya terjadi tidak hanya di Samudera Raya tetapi juga di sepanjang garis pantai. Dalam arti ini pantai Lewoleba mendapatkan berkah atas fenomena seperti ini.

Sebagi tambahan pengetahuan, selain upwelling, ada juga lawannya yang disebut “downwelling,”. Hal itu terjadi ketika ketika angin menyebabkan air permukaan menumpuk di sepanjang garis pantai dan akhirnya air permukaan tenggelam ke dasar.

Penjelasan lain bisa berkaitan dengan musim dan arus laut. Musim tertentu terdapat pergerakan ikan. Juga bisa terjadi karean adanya perubahan arus laut yang tentu penjelasannya bisa sama atau mirip dengan pergerakan air laut dingin dari bawah.

Penjelasan seperti ini tentu saja bisa diterima logikanya. Kalau ada pergerakan ikan karena bakal terjadi letusan gunung maka yang bisa terjadi adalah gunung di bawah laut. Di Indonesia, Hobal, gunung parasite Ile Adowajo merupakan contoh terdekat di Lembata. Bila gunung itu Meletus, maka laut menjadi panas akibat letusan dan ikan-ikan mati. Orang akan mengambil ikan mati bukan ikan hidup seperti yang terjadi di Lewoleba.

“Beropen”

Mencari penjelasan lain tentang ‘berlimpahnya’ ikan yang segera ditafsir sebagai ‘malapetaka’ atau bahkan ada orang yang menyebarkan ketakuan karena melihat ikan itu tidak wajar. Masyarakat di Atadei khususnya memiliki kepercayaan yang disebut sebagai ‘beropen’. Beropen adalah sajian makanan atau kemujuran yang tidak biasanya. Bagi mereka ketika melihat hal itu maka tidak boleh tergoda karena itu merupakan cobaan saja.

Pada kasus lain, hampir menjadi biasa bahwa ketika orang bekerja baik sebagai petani maupun nelayan, hasil yang diperoleh biasanya ‘pas-pasan’ saja. Malah kadang kesialan lebih akrab terjadi. Pulang melaut dengan tangkapan yang kosong atau hanya sedikit sudah dianggap sebagai ‘hal wajar’. Demikian hasil kebun yang tidak berarti malah sangat sedikit dianggap ‘sudah biasa’.

Tetapi apa yang terjadi ketika orang mendapatkan sesuatu secara berkelimpahan? Apa yang terjadi ketika seorang nelayan melaut dan setiap kali ia memancing selalu dapat ikan dalam jumlah yang banyak? Masyarkat langsung mengaitkan dengan ‘beropen’ atau ‘malapetaka’ atau bencana. Terhadap hal ini sebenarnya bisa dicari penjelasannya. Kebiasaan menderita tidak berarti memberikan stigma bahwa seseorang untuk seterusnya menderita.

Pandangan fatalisme seperti ini yang langsung menjadikan pengalaman masa lalu sebagai halangan bagi sukses tidak bisa dibenarkan. Setiap orang bisa mengubah nasibnya lewat kerja yang menghasilkan sesuatu yang berbeda. Orang Jawa mengartikan sebagai ‘nrimo’ terima apa adanya dan tidak boleh mencari yang lebih. Padahal siapapun bisa mengalami pergerakan vertical, ibarat upwelling di mana oleh arus dingin, arus penuh makanan (ikan) bisa naik ke atas.

Hal ini bisa mengandung pembelajaran bahwa ‘arus dingin’ (penderitaan, kesengsaraan) bukanlah hambatan. Ia bisa menjadi jalan melaluinya seseorang bisa ‘ke atas’. Bila dikaitkan dengan bencana alam yang terjadi di Lembata, maka di sana bisa ditangkap pesan bermakna. Erupsi yang terjadi tidak menjadi hadangan untuk solidaritas. Di tengah kesengsaraan, terlihat masyarkat Lembata, dengan apa yang dimiliki (ubi, pisang, jagung) mereka sumbangkan untuk saudara-saudaranya dari Ile Ape yang tengah mengungsi.

Logikanya sangat sederhana. Bila kini pengungsian dipenuhi kelimpahan makanan oleh sumbangan saudara-saudaranya maka itu bukan ‘beropen’. Itu semua terjadi karena adanya kekayaan hati yang keluar menyapa saudaranya yang berkekurangan.

Demikian juga bila terjadi di alam tanda berkelimpahan seperti naiknya temi di pantai Lewoleba maka itu bukan ‘beropen’. Itu bukan tanda malapetaka tetapi sebuah tanda alam yang dalam hal ini bertepatan dengan kemurahan alam menyambut para pengungsi.

Tetapi apakah orang perlu berhati-hati? Tentu saja. Kelimpahan ikan kerap membuat orang terlena. Air yang begitu ‘tenang’ kerap membuat orang semakin menjauh dari pantai. Hal itu hanya terjadi karena ingin memiliki lebih dari yang seharusnya. Di sinilah bahayanya. Kecelakaan bisa saja terjadi ketika orang tidak mengontrol dirinya lagi.

Pesan ini bisa diperluas. Di tengah bencana seperti ini, sumbangan tidak saja dari dalam tetapi dari luar itu kerap begitu besar. Logikanya harus digunakan untuk kebaikan besama. Yang terjadi, orang bisa saja memanfaatkan kesempatan untuk mengisi sakunya. Di sana bahaya itu bisa sedang terjadi dan lagi digoda oleh temi di pantai Lembata.

========

Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.

Komentar ANDA?