Mengenal “Taniu Uis Neno”, Paskah Tradisional di Timor Tengah Utara

0
880
Foto: Proses pengambilan air di kali untuk ritual Taniu Uis Neno yang dilakukan oleh perwakilan dari 29 Ume Mnasi (Foto: Pos Kupang)

Selama ini banyak orang mengenal Prosesi Jumat Agung yang melegenda sejak abad ke-17 di Larantuka, Kabupaten Flores Timur di ujung timur Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ada satu lagi yang seringkali luput dari perhatian media, yaitu tradisi keagamaan yang dilakukan setiap tahun oleh umat Katolik di Kecamatan Neomuti Kabupaten Timor Tengah Utara menjelang Hari Raya Paskah, yang dikenang umat Kristiani sedunia sebagai Kebangkitan Yesus Kristus, setelah tiga hari wafat di Kayu Salib.

Prosesi tradisional Paskah yang juga masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Noemuti, TTU itu lazim dikenal dengan sebutan “Taniu Uis Neno” atau memandikan patung-patung dan salib suci serta benda kudus lainnya.

Dan tradisi “Kure” yaitu berdoa sambil mengunjungi keluarga-keluarga yang pada zaman dahulu menerima agama Katolik.

Kedua ritus atau tata cara dalam upacara keagamaan yang syarat dengan nilai religius ini dapat menjadi pilihan bagi umat Katolik untuk merayakan Tri Hari Suci sekaligus sebagai wahana memperdalam iman umat sesuai dengan tradisi dan sejarah lahirnya prosesi Paskah di daerah itu.

Tradisi “Taniu Uis Neno” atau memandikan patung-patung dan salib suci serta benda kudus lainnya menjelang perayaan Tri Hari suci sudah lama dilangsungkan itu berasal dari Portugal (bawaan penjajah Portugis) itu digelar pada pada saat Kamis Putih atau awal memasuki Tri Hari Suci menjelang Paskah untuk mengenang wafatnya Yesus Kristus,” kata salah satu tokoh adat religius di Noemuti Willy Silab kepada Antara.

Pensiunan PNS pada Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara itu mengatakan ritual tersebut juga merupakan tindakan pembersihan dan penyerahan diri umat penganut kepercayaan Katolik kepada Sang Khalik sekaligus ungkapan rasa syukur atas nikmat dan berkat yang diperoleh dalam satu tahun perjalanan hidup.

Mantan Kepala Bidang Budaya dan Promosi pada Dinas Pariwisata Kabupaten TTU itu mengatakan tradisi unik yang mungkin menjadi satu-satunya kegiatan keagamaan dan wisata rohani (memandikan patung dan salib) di NTT ini sudah berlangsung lama sejak abad ke-19 dan digelar secara turun temurun oleh warga setempat yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang kental.

Proses “Taniu Uis Neno di Ume Mnasi” atau memandikan benda-benda kudus di rumah Tuhan diawali pukul 07.00 Wita saat petugas membunyikan lonceng sebagai tanda persiapan acara dimulai.

Selanjutnya, kata dia, seluruh petugas berdiri di depan gereja, kemudian “omong” adat oleh para tokoh adat, dilanjutkan pemberkatan oleh pastor.

Para petugas pengambil air kemudian turun ke kali untuk mengambil air dan kembali ke gereja agar air itu diberkati oleh Pastor dan kembali ke Ume Mnasi untuk memandikan semua benda suci.

Air dari hasil pembersihan patung-patung religi itu digunakan untuk membasuh wajah, badan, kaki dan tangan anggota Ume Mnasi sebagai lambang pembersihan diri dan membawa kedamaian.

“Cara membersihkan benda-benda suci itu dengan memakai air dan minyak serta alat yang digunakan untuk membersihkan yakni ampas dari tebu dan kapas. Kemudian sisa air yang digunakan untuk membersihkan benda suci dipakai untuk membasuh wajah, tangan dan kaki, tiap anggota suku,” katanya.

Ia mengatakan setelah prosesi Taniu Uis Neno, dilanjutkan dengan kegiatan lainnya yakni pengumpulan persembahan hasil usaha berupa buah-buahan di Ume Mnasi oleh tiap anggota suku “Ume Mnasi” atau dalam bahasa setempat disebut “Bua Pa” dan pengumpulan buah-buahan ke Ume Mnasi lainnya yang memiliki ikatan kekerabatan (Bua Loet).

Setelah proses ritual Taniu Uis Neno selesai, semua anggota suku mempersiapkan diri untuk mengikuti misa perayaan kamis putih di gereja setempat yang berlangsung pada malam hari.

Penempatan benda kudus itu diikuti pula dengan sebuah tradisi penumbuhan iman melalui doa bergilir dari satu rumah adat ke rumah adat Ume Mnasi.

“Itulah yang disebut Kure. Sampai saat ini, tradisi Kure masih dipertahankan oleh anak cucu dari suku-suku yang ada di Kote,” katanya.

 

Makna KURE

Sebagaimana arti kata “Kure” yang di serap dari kata Perancis-Cure atau sebutan bagi orang yang bertugas untuk menangani urusan memeliharaan rohani umat beriman dalam wilayah tertentu.

Dan umat Katolik di Noemuti terus memperingati prosesi masuknya agama Katolik dengan terus memelihara tradisi kuno itu hingga kini.

Prosesi religius yang kaya akan nuansa iman ini dilakukan di Paroki Hati kudus Yesus, Kecamatan Noemuti Kabupaten Timor Tengah Utara. Para penganutnya juga terus mengenang saat pendudukan Tentara Portugal atas Belanda di Noemuti.

Kala itu Tentara Portugis (Topasis) yang datang bersama para imam Katolik Fransiskan mulai menyebarkan misi iman Katolik ke pulau Timor lewat pintu masuk Noemuti.

Misi mulia ini mendapat simpati dan terus dikenang hingga sekarang. Sebagai perwujudannya, alat-alat perang diganti dengan buah-buahan dimana tebu dijadikan sebagai senapan, jeruk dan buah-buah lainnya sebagai pelurunya sementara sagu/uk sebagai upaf / mesiu.

Usai dilakukan misa Inktulurasi buah-buahan itu dibagikan kepada umat sebagai tanda damai. Tanda syukur atas kemenangan perang diganti dengan damai.

Noemuti merupakan salah satu titik sejarah dan cikal bakal hadirnya agama Katolik di pulau Timor.

Menurut sejarah, wilayah Kote-Noemuti, sekitar 224 kilo meter arah Timur Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada masa penjajahan, menjadi wilayah kekuasaan Belanda.

Namun kemudian, wilayah ini diduduki Portugis karena ditukar dengan Maukatar, salah satu daerah di Timor Leste sekarang, yang lebih dikenal dengan Oecusee, sebagai wilayah kekuasaan portugis yang diduduki Belanda pada tanggal 1 November 1916.

Tentara Portugis (Topasis) yang saat itu datang bersama para imam Katolik Fransiskan kemudian memperkenalkan dan menyebarkan agama Katolik yang mereka anut ke penduduk Kote-Noemuti.

Salah satu peninggalan para imam Fransiskan dalam misi penyebaran iman katolik adalah dengan menempatkan patung-patung kudus dan benda-benda devosional pada rumah-rumah adat (ume mnasi) yang ada di Kote-Noemuti.

Penempatan patung-patung para kudus dan benda-benda devosional ini diikuti dengan sebuah tradisi penumbuhan iman, doa bergilir dari satu rumah adat ke rumah adat (ume usi neno) saat tri hari suci paskah.

Tradisi doa bergilir (kulture religi) memasuki Tri Hari Suci bagi umat Katolik dilaksanakan pada malam Kamis Putih dan Malam Jumad Agung sebagai rangkaian memperingati Hari Raya Paskah ini disebut tradisi Kure.

Tahapan Prosesi Prosesi yang terus diwarisi umat Katolik di Paroki Hati Kudus Yesus Noemuti ini menurut Pemangku adat Suku Noemuti , Raja Alex Yosep Antonio Costa meliputi beberapa tahapan yakni “TREBLUMAN” atau Doa Pengosongan Diri.

Pada prosesi Kure in, katanya, diawali dengan ritual pengosongan diri/boe nekaf pada hari Rabu satu hari sebelum memasuki Tri Hari Suci yakni ritual Trebluman. Semua rumpun suku “ume uis neno” berkumpul bersama-berdoa, merenung dan menyesali dosa atau “to’as, nek amle’ut polin”- untuk siap memasuki minggu sengsara.

Costa yang merupakan keturunan kelima dari salah satu penyebar pertama agama Katolik di Pulau Timor mengatakan tempat tinggal- ume uis neno sebagai tempat awal memulai segala karya dan tempat kembali membawa suka dan duka juga harus dikosongkan dari pengaruh roh jahat. Utusan ume uis neno bersama umat berdoa bersama di gereja.

“Dengan menyalakan 13 lilin berbentuk kerucut mengelilingi altar, melambangkan Yesus dan 12 rasul. Pada setiap akhir lagu dipadamkan 2 lilin secara berturut-turut sampai lilin ke-12,” katanya.

Sedangkan lilin yang ke 13 yang dibiarkan menyala disimpan di bawah altar, pada saat yang bersaaman lampu gereja dipadamkan dan lonceng gereja dibunyikan 3 kali.

Sala satu tahapan yang penting juga adalah saat pengusiran roh jahat. Bersamaan dengan dibunyikan lonceng yang ke-tiga, umat dalam gereja bertepuk tangan. Lampu-lampu semua rumah di Kote dipadamkan.

Biasanya, kata dia, pemadaman ini dilakukan oleh semua ume usi neno. Bunyi-bunyian dengan bertepuk tangan dan memukul dinding rumah sambil menyerukan “poi ri rabu” atau enyahlah roh jahat.

Tradisi ini dilakukan secara bersama oleh penghuni ume usi neno. Salah satu amnasit kemudian memanggil /menyebut nama rumpun sukunya masing-masing. Ritual ini dilakukan kurang lebih 5 menit kemudian lonceng gereja dibunyikan sekali lagi dan semua lampu dinyalakan kembali. Dengan demikian, Ritual Trebluman selesai. (antara/Katoliknews)

 

Komentar ANDA?