NTTsatu.com – Era 1997 hingga 1998 menjadi mata rantai paling rapuh dari kekuasaan rezim Orde Baru (Orba) Soeharto. Di sendi sejarah tersebut tumbuh subur dampak sosiologis dan ekonomi dari krisis moneter.
Perlahan mahasiwa mulai berani menujukkan kekuatan konsolidasinya. Momentum krisis moneter menjadi salah satu pondasi untuk menghantam rezim otoriter yang tengah berkuasa. Tuntutan awal menyoal penurunan harga-harga barang pokok dan melawan pemangkasan subsidi BBM.
“Krisis itu menjadi puncak dari politik ekonomi yang dibangun oleh Orde Baru yang selama 32 tidak berpihak pada rakyat,” kata Mantan Aktivis Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) Masinton Pasaribu saat berbincang dengan Merdeka.com, Kamis (5/5).
Meski dibayang-bayangi penangkapan dan penculikan, serta pembubaran aksi dan organisasi, mahasiswa ternyata berani menangkal resiko. Namun Soeharto tak tinggal diam. Dia mengintruksikan kekuatan militer untuk meredam gejolak yang dimunculkan mahasiswa. Namun di atsmostif akar rumput, mahasiswa justru melawan balik tingkah Soeharto. Mahasiswa makin geram saat Wiranto diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata. Mimbar bebas mengecam pemerintahan otoritarian pun akhirnya muncul di berbagai kampus bak jamur di musim penghujan.
“Sehingga ketika itu lahirlah diskusi-diskusi, para mahasiswa mulai bergerak melakukan protes terhadap rezim Orba. Mulailah digalang mimbar-mimbar bebas di kampus-kampus. Semua mahasiswa menyampaikan kritiknya terhadap situasi saat itu,” tuturnya.
Di Jakarta sendiri ada berbagai simpul gerakan mahasiswa. Beberapa di antaranya Presidium BEM Se-Trisakti, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Forum Komunitas Mahasiswa seJabotabek (Forkot), Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan sebagainya.
“Mereka menyadari bahwa tidak bisa diselesaikan hanya melalui diskusi. Tapi harus dengan melakukan aksi turun ke jalan. Kami memutuskan turun ke jalan dengan segala konsekuensinya. Walaupun pada saat itu di depan kampus sudah dihadang pasukan ABRI. Turun jalan menyuarakan aspirasi rakyat dengan menolak kenaikan harga sembako, BBM, biaya kuliah mahal, dan sebagainya,” ungkapnya.
Dalam rapat internal di berbagai simpul, dilakukan secara tertutup. Biasanya dilakukan di kampus atau di indekos salah satu rekan mahasiswa. Namun beberapa kali mereka juga mengadakan diskusi antar wadah gerakan mahasiswa. Tetap saja apapun model pertemuan untuk menyamakan persepsi tersebut dikuntit oleh intelejen besutan Soeharto.
“Kita menjaga nanti rencana aksi kita keburu bocor. Karena kan intel rezim pada saat itu ada di mana-mana untuk memata-matai pergerakan rakyat dan pergerakan mahasiswa,” ujarnya.
Anggota komisi III DPR RI tersebut mengungkapkan bahwa, kala itu tidak semua wadah pergerakan mahasiswa bersifat terbuka. Ada juga yang enggan memanifestokan diri ke permukaan. Akan tetapi antara satu dengan lainnya saling berjejaring, rutin berbagi informasi, dan bebareng membangun tradisi diskusi.
“Ketika semuanya ketakutan itu ada, keberanian akan muncul. Apa yang kita takutkan pada masa itu adalah pengintelan. Itu dipopor senjata waktu aksi, dilarang berdiskusi. Kalau popor senjata itu hal biasa. Kita yakin kesewenang-wenangan Orde Baru itu pasti tumbang, pasti akan berakhir. Kami yakin dengan hukum sejarah itu,” ungkapnya.
Aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ini juga berujar bahwa, dalam keadaan terdesak, mahasiswa kerap melawan balik tingkah otoriter militer di medan aksi. Biasanya mahasiswa membalas pukulan mundur militer dengan batu hingga bom molotov. Namun jika benar-benar terpojok, mahasiwa kala itu akan berpencar, lalu bertemu di dalam kampus yang menjadi titik akhir penyelematan diri yang sudah dirumuskan sebelumnya.
“Beredar info seperti (penculikan) itu. Biasanya kita saling mengabarkan di titik mana kita saling bersama, di titik mana kita akan berpisah dengan kawan-kawan ada yang balik ke kost dan sebagainya, biasa saling mengabarkan. Biasanya kita juga kalau ada yang kita curigai, kita bersiasat untuk mengelabui. Kita ke keramaian orang. Biasanya juga bawa pakaian, tinggal dibuka saja,” ucapnya.
Dia juga menceritakan bahwa era itu banyak juga elit kampus yang turut geram terhadap kebijakan Soeharto. Namun para birokrat kampus tersebut tak berani terang-terangan melawan pemerintah. Maka mereka lebih memilih bersikap diam-diam mendukung gerakan mahasiswa.
“Tapi ada yang melarang sama sekali. Tapi kita biasa kebebasan akademis itu juga harus ada dan tumbuh,” ujarnya.
Menurut Politikus PDIP ini, kala itu tak hanya Tim Mawar yang lalu lalang mengawasi mahasiswa dan gerakan kerayatan. Namun Kodam dan Kepolisian juga memiliki tim yang menguping di tengah masyarakat.
Dia menegaskan bahwa rezim Orde Baru itu paranoid. Dia mengistilahkannya sebagai rezim yang dibangun atas manipulasi sejarah. Pembiasan mengenai fakta-fakta masa lalu itu diterapkan untuk melanggengkan kekuasaan.
“Karena buku-buku yang dianggap kiri kan dilarang oleh rezim Orba dilarang diedarkan dan dipelajari. Kita fotokopi atau stensil, atau minjem. Ya sembunyi-sembunyi,” tuturnya.
Masinton mengakui bahwa dia sempat tahu dari 13 aktivis yang diculik dan hilang hingga saat ini. Salah satu yang sering dia lihat dalam forum diskusi maupun demonstrasi ialah Wiji Thukul. Maka dari itu dia berharap agar pemerintah mencari di mana keberadaan fisiknya ataupun tempat mereka dibunuh.
“Yang harusnya bertanggungjawab rezim Orba. Presiden pada masa itu. Rezim Orba itu kan rezim militer. Intelejen inilah yang mengontrol aktivitas masyarakat,” pungkasnya. (merdeka.com)