NTTsatu.com – MAUMERE – Masalah konsumsi ubi hutan beracun atau disebut magar terus menjadi diskursus di ruang publik. Banyak pendapat miring yang menyebut konsumsi magar merupakan hal biasa di wilayah Tana Ai. Namun tidak demikian bagi warga yang mengalami kondisi ini.
Fabiana Tensi, warga Dusun Natarmage Desa Natarmage Kecamatan Waiblama mengaku sudah mengonsumsi magar sejak Agustus 2017 lalu.
Rafael Jasmani, juga dari dusun yang sama, malah lebih dulu satu bulan sebelumnya. Mereka mengaku kondisi ekonomi yang sulit telah memaksa mereka untuk menjadikan magar sebagai makanan alternatif.
“Ini tahun Natarmage kena hama wereng. Padi yang kami tanam sudah sementara bulir, tapi semua batangnya hancur karena hama wereng. Mente juga tidak banyak yang berbuah. Kami tidak punya stok makanan. Kami lapar. Jadi kami terpaksa makan ubi hutan yang beracun,” cerita Fabiana Tensi yang ditemui di rumahnya, Sabtu (7/10).
Perempuan lajang yang hidup bersama ibunya, seorang saudara dan keponakannya, tidak mengelak bahwa konsumsi magar merupakan kebiasaan nenek moyang mereka. Namun kebiasaan itu pelan-pelan memudar seiring dengan perkembangan zaman. Bahkan terakhir dia konsumsi magar sekitar 10 tahun lalu.
“Benar bahwa nenek moyang kami dulu sudah biasa makan magar. Tapi berbeda untuk yang sekarang ini. Kali ini kami makan magar bukan karena kebiasaan, tapi karena kami benar-benar lapar,” tegasnya.
Dia mengatakan ada pesan warisan tidak tertulis, yang secara turun-temurun diturunkan dari nenek moyang mereka. Pesan lisan itu menyebutkan bahwa jika dalam keadaan lapar karena tidak ada pangan, maka magar bisa menjadi makanan alternatif.
Dia sendiri mengetahui proses membuat magar secara alamiah karena pengalaman mengikuti, melihat, dan menyaksikan nenek moyangnya mengolah magar.
Kepada media ini, Fabiana Tensi pun mempraktikkan secara singkat bagaimana proses mengelolah magar menjadi bahan makanan. Dia lalu mengambil berbagai perlengkapan untuk menggali ubi hutan beracun. Lokasi ubi hutan beracun tidak terlalu jauh dari rumah, kurang lebih sekitar 50 meter.
Setelah menggali tidak terlalu dalam, kira-kira hanya 10 centimeter, Fabiana Tensi sudah menemukan sebuah ubi hutan dengan diameter kira-kira 5 centimeter. Ubi hutan tersebut lalu dia bawa pulang ke rumah, untuk selanjutnya memrosesnya menjadi magar.
“Menurut adat dan kebiasaan, ubi hutan beracun tidak boleh masuk ke dalam rumah. Seluruh proses pembuatan sampai menjadi magar harus di luar rumah. Bahkan untuk makan saja harus di luar rumah,” jelas dia.
Jika untuk stok beberapa bulan ke depan, biasanya seluruh proses langsung terjadi di hutan, di lokasi penggalian ubi hutan beracun. Namun karena hanya untuk kepentingan menjelaskan proses kepada media, Fabiana Tensi melakukan proses tersebut di halaman rumahnya.
Ubi hutan yang baru selesai digali, langsung dikupas kulitnya. Fabiana Tensi kemudian mengiris tipis-tipis dengan sebuah perangkat yang dirancang secara tradisionil. Pada irisan-irisan ubi hutan itu terlihat banyak air, dan itu yang biasanya mengandung racun. Makin banyak irisan ubi hutan, maka makin banyak pula kandungan racun.
Irisan ubi hutan kemudian dijemur berjejer di atas tanah selama kurang lebih 3 hari. Masyarakat setempat percaya, racun pada ubi hutan akan hilang jika dijemur di atas tanah. Untuk lebih aman dan nyaman karena dikonsumi juga oleh anak-anak, biasanya dijemur lebih dari 3 hari.
Setelah 3 hari atau lebih, irisan ubi hutan itu kemudian dicuci. Usai membersihkan satu per satu irisan, prose selanjutnya adalah menjemur lagi supaya menjadi kering. Proses penjemuran yang kedua ini harus diperhatikan serius, karena irisan tersebut harus dibolak-balik setiap beberapa saat. Setelah proses jemur yang terakhir, ubi hutan itu sudah bisa dikonsumsi. (vick)