Menjadi Guru Harus Kreatif (80 Tahun Antonius Dolet)

0
1977

Oleh : Robert Bala

Untuk seumurannya, tidak banyak teman guru yang masih bisa ditemui. Anton Dolet Tolok seakan menjadi hanya seorang diri di antara teman guru seangkatan yang hampir semuanya telah wafat. Karena itu dalam ‘kesendirian’ itu ia mau bersyukur atas anugerah 80 tahun 23 Agustus 1941-2021.

Di usianya yang cukup uzur tetapi dengan kesehatan tubuh yang masih kuat, merupakan alasan untuk bersyukur. Itulah maka Kene Anton (demikian kami menyapa) menelepon menginformasikan hal itu sekaligus meminta misa atau doa di hari yang sangat khusus meski dalam ijazah ada salah tulis yang memberinya hari lahir pada 15 Maret 1942.

Apa yang menjadi rahasia hidupnya? Apa yang bisa ia titipkan sebagai pesan setelah 42 tahun jadi guru? Apa nilai yang bisa diteruskan untuk generasi kini?

Ingin Sekolah

Sejak kecil, seakan putera Mikael Bala Tolok dan Elisabet Dike Henakin sudah menyadari bahwa hanya pendidikan saja yang bisa membuat adanya perubahan hidup. Ia sadari bahwa ayahnya yang hanya seorang guru agama, berpindah dari kampung ke kampung (Lamanuna, Bauraja, dan Atalojo) dan hanya hidup dari belas kasihan orang. Mereka menggarap kebun orang karena tahu bahwa keberadaan mereka di satu tempat mungkin tidak terlalu lama.

Ia juga sadari bawha dengan 8 kakak-adik, tentu tidak semua bisa mendapatkan bekal pendidikan dari orang tua yang hanya petani. Tetapi dalam diamnya ia berjuang untuk bisa bersekolah.

Di tahun itu 1948 dengan usia 7 tahun misalnya, ia harus berjalan kaki dari Bauraja ke Waiwejak. Sebuah perjuangan yang tentu tidak mudah karena jaraknya sekitar 5 km. Tetapi waktu itu dilewati dengan baik hingga menamatkan kelas 3 (1951). Di Waiwejak itulah ia bertemu pa Piet Lidun yang merupakan teman kelas hingga di SGB.

Waiwejak ternyata masih terlalu dekat. Untuk kelas 4-6 (1952-1955) mereka harus pergi sekolah ke Lerek dengan jarak sekitar 12 km. Hanya di Lerek yang memiliki kelas 4. SD lain di paroki Lerek harus melanjutkan ke sana. Tentu sebuah perjuangan yang tambah berat karean jarak sudah 3x lebih jauh dari Waiwejak. Meski Lerek adalah kampungnya tetapi mengingat saat itu ayahnya menjadi guru agama di Bauraja, maka ia berjalan kaki dengan teman-temannya ke Lerek.

Katanya, saat ayam berkokok, mereka sudah mulai berjalan. Sampai di Watuwawer keadaan sudah mulai terang. Di sana mereka bersatu dengan anak-anak Watuwawer berjalan ke Lerek. Mereka harus tiba pagi-pagi karena guru Yohanes Baha Tolok (Gur Baha) saat itu sangat keras. Kepada mereka yang tidak disiplin langsung dipukul dengan besi yang digunakan untuk membunyikan lonceng. Hal itu sangat menakutkan anak-anak dan karena itu berusaha datang pagi-pagi.

Semua proses pendidikan

Selama menjadi siswa di Lerek (kelas 4 – 6), rupanya prestasi Anton cukup baik. Dalam beberapa ujian lokal naik kelas maupun ujian EBTA murni, ia selalu menunjukkan prestasi yang bagus. Hal itu sangat disyukuri oleh sang ayah, Mikael Bala.

Mikael mulai berpikir bagaimana harus membiayai anaknya agar bisa melanjutkan pendidikan Sekolah Guru Bawah (SGB) di Lewoleba. Biaya itu meski sedikit tetapi mengingat Dike dan Bala punya anak 6 orang (2 lagi lahir kemudian), maka menjadi sulit.

Hal itu mendorong Mikael untuk menghadap guru Yohanes Baha Tolok (gur Baha) agar bisa membiayai Anton di SGB Lewoleba (Cabang Larantuka). Permintaan itu dipenuhi. Mungkin saja karena gur Baha melihat prestasi Anton tetapi juga karena ia tahu, ia sendiri punya anak cukup banyak (10 orang, 4 anak lahir kemudian). Dengan demikian dengan membiayai Anton tentu bukan paksaan tetapi diharapkan agar kemudian setelah bekerja, Anton juga bis amembantu.

Atas pertimbagan itu maka selama 4 tahun (1956-1960), Guru Baha membiayai pendidikan hingga tamat tahun 1960. Sebuah proses yang dilewati dengan baik. Ketika tamat, apa yang menjadi ‘tawar-menawar’ meski hanya lisan tetapi tetap dipegangnya. Tetapi lebih dari itu Anton juga sadar bahwa tanpa bantuan guru Baha ia tidak bisa jadi ‘siapa’ dan tidak bisa ‘apa’. Karena itu sudah sewajarnya.

Buka Sekolah

Setamat SGB, Guru Baha langsung ‘meminta’ Anton untuk kembali ke Lerek. Di sana guru senior ini ingin membimbing Anton agar bisa menjadi rekan guru dan membantu. Itulah Anton melewati awalnya menjadi guru (1960-1964). Dengan cepat Antonpun diangkat menjadi PNS, tetapi gaji yang diterima tidak bisa dinikmati sama seperti setiap pegawai yang mendaptkan ‘besluit’ dan bisa bersenang-senang. Anton justru lebih mengutamakan ‘balas jasa’ dengan turut membantu guru Baha dalam membiayai anak-anaknya.

Meski sangat muda, tetapi Anton rupanya memiliki ‘passion’ menjadi guru. Ia juga prihatin akan kondisi sekolah-sekolah di sekitar yang saat itu masih harus pergi pulang ke Lerek untuk besekolah. Itulah maka pada tahun 1965, saat Gestapu, Anton membuka sekolah di Tobilolong. Selama setahun Anton jadi guru. Ia kemudian meminta temannya Philipus Lemak Waleng, asal Tobilolong dan kembali menjadi guru di sana melanjutkan sekolah yang sudah dimulainya.

Setelah Guru Lemak mengganti posisinya, Anton kembali ke Lerek. Tetapi itu hanya berlangsung sementara karena guru Wilem Beleta Tolok yang saat itu barusan membuka sekolah di Lamanuna memasuki masa pensiun. Karena itu, Anton diminta untuk melanjutkan sekolah yang sudah dibuka dua tahun sebelumnya. Sejak saat itu (1966-1971), Anton menjadi guru di Lamanuna.

Menjadi guru di Lamanuna (kelas kecil) tentu banyak tantangan. Terutama karena anak kelas besar (4-6) harus berangkat ke Lerek untuk sekolah. Banyak anak yang akhirnya tidak lanjut karena selalu terlambat atau takut akan ‘tangan besi’ guru Baha. Atas hal itu, anton lalu meminta HANSIP agar mengantar siswa sehingga ke Lerek.

Di kampung kecil ini, Anton membangun keluarnya dengan menikah Ana Nogo Henakin. Kedua anaknya (Yus dan Kris pun lahir di Lamanuna). Karenanya bagi Anton, Lamanuna memberikan kenangan yang sangat besar. Di kampung kecil ini ia mendaptkan anak-anak yang sangat pintar dalam hal Matematika. Tidak sedikitnya kemudian menjadi guru dan pegawai.

Ke Kota

Tahun 1972 – 1976, Anton mendapat sebuah kesempatan untuk mengajar di Lewoleba. Inilah momen yang sangat bermakna karena Lewoleba saat itu sudah menjadi Koordinator Schaap. Ke depannya, Lewoleba akan mejnadi kota yang besar, demikian Anton menerawang jauh ke depan.

Di Lewoleba, Anton sudah melihat bahwa harus merencanakan masa depan. Ia sudah bisa menabung untuk masa depannya. Darinya ia membeli sebuah kebun yang kini berada di pinggir Bandara (malah Bandara yang sekarang juga salah satu bagian dari tananya yang diberikan ke pemerintah demi membangun Bandara Wunopito waktu itu). Kebun ini ia kelola dengan menanam berbagai macam tanaman.

Dari Lewoleba, Anton dipanggil pulang ke Lerek (1976-1978). Guru Baha mengkaderkan bahwa Anton bisa menggantikannya jadi Kepala Sekolah atau bisa menjadi kepala sekolah di salah satu SD di Paroki Lerek. Hal itu baru terwujud tahun 1978 dengan penempatannya di Atawolo (1978-1979). Waktu yang sangat singkat karena setahun kemudian dipindahkan ke Watuwawer. Selama berada di Lerek Anton melihat peluang membeli tanah yang cukup luas yang kemudian ditanam berbagai tanaman.

Watuwawer menjadi tempat di mana Anton dan keluarga menetap cukup lama, hampir 14 tahun (1980 – 1994). Di kampung ini, Anton bersyukur karena memiliki team guru yang sangat bagus yang kemudian semuanya menjadi kepala sekolah di berbagai tempat di paroki Lerek: Ada guru Uran Huar, guru Daniel Kwihal, guru Piet Ata, dan masih banyak guru lagi.

Dari Watuwawer, Anton kemudian ditempatkan di Lerek. Ia merasa kesempatan yang baik karena rumahnya di Lerek kosong sehingga kembali menempatinya tentu sangat baik. Tetapi waktunya kali ini tidak terlalu lama. Tahun 1999, Anton dan keluarganya mengajukan permohonan agar kembali ke Lewoleba. Anton sudah melihat hari pensiun yang semakin dekat (3 tahun ke depannya).

Di SDK 2 Lewoleba, Yapersuktim memintanya untuk menjadi Kepala Sekolah. Tetapi Anton merasa sudah cukup dan kini menjadi guru saja untuk mengajar sambil menunggu masa pensiun pada 15 Maret 2002 sesuai dengan tanggal lahir di ijazahnya.

Guru yang kreatif di kelas

Mengajar anak SD apalagi dari kampung dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang sangat minim tentu butuh strategi. Lebih lagi karena anak kecil berpikir sangat nyata bukan abstrak. Kepada mereka harus diajarkan sesuai dengan daya tangkap mereka.

Banyak guru yang salah kaprah mengajar. Mereka mulai mengajar huruf (a, b, c, d….), suku kata (ba-pa, ma-ma, ka-kak), kemudian kata dan kalimat. “INI BUDI, INI IBU BUDI, INI KAKAK BUDI”.

Model pengajaran ini sangat tidak tepat (sayangnya kata Anton banyak guru SD yang masih mengajar dengan cara ini). Baginya, pengajaran yang paling cocok untuk anak SD adalah menulis huruf yang diselaraskan dengan nama rill dari sesuatu. Contohnya A (Api), B (bebek), C (cecak), dan seterusnya. Pertama perlu ada gambar di atasnya. Kemudian di bawahnya ditulis dengan huruf yang memberi tanda akan nama barang / hewan itu.

Asosiasi seperti inilah yang harus dilakuakn di SD dan selalu ia ingatkan kepada guru-guru asuhannya untuk mengajar seperti itu.
Tuntutan untuk kreatif makin membuat Anton terkagum-kagum ketika guru-guru di Yayasan Persekolah Umat Katolik Flores Timur (Yapersuktim) memprakarsai studi banding ke Jakarta (1984). Saat itu Anton bersama puluhan guru dari Flotim bisa menikmati dari dekat bagaimana anak-anak di ibu kota belajar dengan CBSA (Cara belajar siswa aktif).

Ia sangat kagum tetapi pada saat itu ia sadar bahwa tidak bisa menerapkan hal yang sama dengan kondisi di Lembata. Bagaimana anak bisa aktif kalau tidak ada perpustakaan? Bagaimana anak bisa bersemangat ke sekolah kalau pagi hari kadang tidak bisa makan? Inilah kenyataan yang sangat disadari. Karena itu ketika menjadi guru, anton banyak terlibat menghadirkan makanan sehat untuk anak. Itu menjadi hal yang sangat penting katanya.

Anton lalu menyadari bahwa meski tidak bisa mencapai CBSA, tetapi anak-anak bisa belajar secara kontekstual. Guru-guru di kampung tidak hanya mengajar di kelas tetapi mengajarkan anak untuk bertani. Hanya dengan demikian mereka bisa bertumbuh pada konteksnya yang menjadikan mereka kalau menjadi petani pun petani yang berpendidikan.

Guru Wirausaha

Menjadi guru di kampung tentu tidak bisa mengharapkan gaji. Apalagi seorang guru tidak hanya utnuk keluarga tetapi ia menjadi tokoh masyarakat. Guru kadang menjadi tempat bagi orang desa meminta sumbangan atau meminjam uang. Darinya guru harus berusaha berwiraujsaha.

Kesadaran ini mendorong Anton agar di tempat di mana ia ditempatkan ia selalu berusaha bertani. Awalnya meminta kebun untuk megelola tetapi kalau memungkinkan, bisa membeli kebun. Di Lerek, Anton membeli kebun yang cukup besar 3 hektar. Di kebun ini ditanam pisang yang terus memberi hasil tanpa henti.

Di Watuwewer, ada kebun besar di genek juga termasuk di Waipei. Di Waipei bahkan ditanam kopi yang hasilnya cukup lumayan. Di Lewolea ketika pensiun, anton masih terus membeli kebun yang digunakan tanah pertaniannya kini.

Bagi Anton, investasi dalam hal kebun itu bahkan lebih dari emas. Kalau orang di Jawa investasi dalam bentuk emas, maka tanah justru lebih bernilai lagi. Bagi yang investasi tanah terutama di kota, itu dampaknya sangat besar.

Tidak hanya tanah. Tahun 1980an. Anton sudah mendatangkan mesin stensil. Di Atadei hanya ada satu mesin stensil dan jadi rebutan sekolah-sekolah mencetak bahan ujian. Hal itu masih diteruskan ketika berada di Lewoleba. Banyak kantor pemerintah saat itu berebutan menggunakan mesin stensilannya.

Mesin parut kelapa, giling jagung, chain saw (senso) merupakan sebagian kecil modal kerja yang sudah disediakan guru Anton saat itu. Ia memberi inspirasi kepada orang bahwa peluang itu tetap ada. Dengan itu, Anton sangat berperan meningkatkan ekonomi tidka hanya keluarganya tetpai juga keponakan, saudara dan mengongkosi adik-adiknya.

Semuanya hanya menjadi tanda tentang perlunya seorang guru yang juga berwirausaha. Guru di kampung akan menjadi contoh. Karena itu memberi contoh tentang pola pertanian yang baik juga merupakan hal nyata yang bisa memberikan pembelajaran kepada masyarakat.

Usia Senja…
Dengan memasuki usia sepuh 80 tahun bisa disebut bahwa ia telah melewati apa yang dikatakan Kitab Suci: Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap. (Mazmur 90, 10).

Bagi Anton, berbagai peran sudah dilaksanakan. Sebuah perjalanan yang cukup jauh. Yang harus dilakukan adalah bersyukur karena itu meminta doa pada usianya yang ke 80, 23 Agustus. Tidak ada yang lain selain syukur.

Kepada anak dan cucu ia selalu berpesan agar hidup selalu penuh perhitungan. Untuk mencapai sesuatu harus direncanakan dengan baik termasuk menjaga kesehatan, demikian Anton yang merasa bahwa pengobatan urine sendiri merupakan obat yang melampaui banyak tablet kimia yang kita telan.

Singkatnya, menjadi apapun, dan kapanpun harus tetap kreatif. Kita tidak pernah memilih tempat di mana kita hidup dan ditempatkan. Tetapi kapan dan dimana saja, selagi kita kreatif, maka jalan selalu ada.

Selamat Ulang Tahun ke-80 bapak Antonius Dolet Tolok.

Komentar ANDA?