MERAWAT RUANG PUBLIK DIGITAL YANG SEHAT DAN PRODUKTIF:  Sebuah Refleksi Jelang Pemilu 2024

0
712

Oleh: Jumadal Simamora.

Pesta demokrasi di Indonesia melalui pemilu serentak 2024 yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 14 Feburari 2024 mendatang tinggal hitungan bulan. Indonesia akan memilih wakil rakyat di DPR dan pemimpin baru di bidang eksekutif, Presiden. Sebagai sebuah pesta demokrasi, Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan menegaskan agar dalam pemilu 2024 dilaksanakan dengan penuh gembira, terbebas dari ketakutan dan pertengkaran. 

Dalam Harlah ke 25 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, Minggu (23/7/2023), Presiden Jokowi kembali mengingatkan agar dalam pemilu 2024 tidak ada lagi ujaran kebencian dan hoax, terutama di ruang publik digital, media sosial.

 

Ada apa dengan Ruang Publik (Digital)?

Ruang publik digital merupakan bentuk baru dari ruang publik sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Konsep ruang publik pertama kali dikemukakan oleh filsuf Jerman generasi ke dua dari aliran Frankfurt School, Jurgen Habermas. Filsuf kelahiran tahun 1929, mengemukakan bahwa ruang publik merupakan ruang sosial dimana masyarakat dengan bebas berdiskusi dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa tekanan penguasa. Dalam Bahasa Jerman, istilah ruang public disebut Offentlichkeit yang berarti “keadaan yang dapat diakses semua orang” dan mengacu pada ciri terbuka dan inklusif ruang ini. Dalam ruang publik, terdapat debat-debat publik yang bersifat rasional dalam kondisi kesetaraan. 

Menurut Habermas ruang publik pada awalnya muncul di Eropah pada abad ke-18 saat struktur sosial masyarakat sudah berkembang. Ketika itu, ruang publik hanya bisa dinikmati oleh kelompok-kelompok borjuis, yang memiliki waktu, uang dan Pendidikan untuk terlibat dalam diskusi politik dan sosial.  Mereka bertemu, seperti klub atau salon pada saat itu. Istilah borjuis biasa juga disebut sebagai kelas menengah yang terdiri dari para pedagang dan saudagar. Dalam ruang publik, musyawarah dan pertukaran argumen rasional menjadi sangat penting, sehingga terbentuklah apa yang disebutnya sebagai opini publik. 

Pada abab 18, menurut Habermas kondisi sosial dan material pada saat itu mengakibatkan banyak keterbatasan, sehingga tidak semua orang mengakses ruang publik. Pada abab ke 20, Batasan-batasan mulai berkurang seperti kelas sosial, etnis, gender dan akses terutama dengan kehadiran media baru internet.  

Kehadiran media baru internet telah membuat transformasi ruang publik semakin meluas dari dunia nyata ke dunia maya atau yang bisa kita sebut sebagai ruang publik digital. Meskipun banyak diperdebatkan karena kesenjangan digital, namun media baru telah memperluas ruang publik bagi masyakat dengan biaya yang lebih murah. Siapa saja yang memiliki perangkat dan kuota internet, mereka dapat berdiskusi dalam ruang publik digital tanpa tekanan pihak manapun.  Bentuk-bentuk ruang publik digital bisa terjadi dalam ranah digital media sosial seperti Facebook, weblog, Whatsap, Youtube, Tiktok dan berbagai flatform lainnya bisa digunakan sebagai ruang publik. 

Jadi saat ini permasalahan akses ke ruang public bukan lagi masalah seperti yang terjadi pada abab 18. Permasalahan saat ini, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa ruang publik digital tidak digunakan untuk diskusi-diskusi yang produktif, tetapi kerap digunakan untuk hoax dan menyampaikan ujaran kebencian. Terbentuknya kelompok-kelompok politik dalam ruang publik digital yang didasarkan pada kesamaaan arah dukungan terhadap salah satu pasangan capres dan wakil presiden, kerap  memproduksi  narasi-narasi yang berbentuk dukungan kepada capres yang dipilih. Di sisi lain, kelompok-kelompok ini dapat menciptakan hoax dan ujaran kebencian untuk calon yang tidak mereka dukung. 

Berkaca pada pilpres 2019 lalu, terdapat polarisasi masyarakat yang terjadi di dunia virtual dengan sebutan cebong dan kampret.  Dalam diskusi-diskusi di ruang publik virtual, kedua kelompok ini saling  berdebat yang tidak jarang menyampaikan diksi yang tidak ber-etika dan kadang menyebarkan hoax.  Bahkan seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi, meski pemilu telah berakhir, kedua kelompok masyakat masih berselisih di media sosial. 

 

Ruang Publik Digital yang Sehat dan Produktif

Jika selama ini, banyak kalangan berasumsi bahwa dalam ruang publik digital selalu  berisi diskusi-diskusi yang cenderung negatif, tetapi dalam pengamatan penulis, dalam beberapa kasus, diskusi di ruang publik digital telah membentuk opini publik yang pada akhirnya dapat mengubah kebijakan pemerintah. Sebut saja dalam kasus penembakan Brigadir Yosua yang melibatkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo pada Juli 2022. Kasus tersebut bisa terbongkar tidak terlepas dari peran serta netizen di dunia maya.  Opini publik yang terbentuk di dunia maya membuat kasus tersebut diusut semakin terang benderang yang pada akhirnya Ferdi Sambo dihukum dengan vonis mati. 

Dalam kasus lain,  pada bulan Mei 2023 diskusi netizen di media sosial  mengenai jalanan rusak di Lampung sementara ada oknum pejabat daerah yang menunjukkan gaya hidup mewah telah mendapat perhatian dari pemerintah pusat.  Diskusi yang menjadi viral itu telah membuat Presiden Jokowi datang secara langsung untuk mengecek jalan rusak dan telah memutuskan untuk memperbaiki jalan itu melalui dana pemerintah pusat. 

Dalam konteks pemilu 2024, sejauh ini sudah ada 3 bakal calon presiden yang diajukan oleh partai untuk berkontestasi di pilpres 2024, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. Seiring dengan itu, biarlah netizen menggunakan ruang publik digital terutama melalui media sosial untuk berdiskusi  isu-isu sosial dan politik dengan rasional tanpa caci maki karena perbedaan pilihan. 

Menjaga ruang publik virtual yang sehat, beretika dan produktif  menjadi tanggung jawab dari semua netizen.  Dalam pemilu serentak 2024, seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan, sebagai sebuah pesta demokrasi, kiranya ruang publik digital menjadi ruang publik yang terhindar dari hoax, mis informasi dan ujaran kebencian. Biarlah ruang publik digital, menjadi ruang publik yang dapat menghasilkan opini publik yang dapat menjadi referensi pemerintah dalam mengambil kebijakan publik. Diharapkan ruang publik digital berisi diskusi yang ber-etika dan produktif serta bermanfaat bagi kepentingan publik.

========

Penulis adakah Dosen Media Baru, FISIP UPH dan Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Komentar ANDA?