Nasib TOL sesudah ‘SARE DAME’

0
1820

Oleh: Robert Bala

Sare Dame yang menjadi perhelatan sebulan penuh ( 7 Februari – 7 Maret) akan mencapai puncaknya. Aneka ritus adat telah dibuat. Terlepas dari pro kontra, kegiatan ini pun telah dilaksanakan.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana ‘nasib’ Thomas Ola Langoday (TOL) setelah Sare Dame?

Pertanyaan ini masuk akal. Banyak orang (yang katanya paham politik) mengatakan Sare Dame itu kental suasana ‘manipulatif’. Ia dilaksanakan di penghujung masa kekuasaan (yang hanya beberapa bulan) demi menyiapkannya merebut kursi Bupati Lembata di 2024.

Ada yang menyangkan bahwa ide yang cemerlang ini kelihatan dilaksanakan tidak melalui tahapan persiapan yang cukup. Tak heran, di kalangan akademisi sendiri ada silang pendapat. Untuk hal ini pun dipahami.

Ada pula yang coba mengangkat aneka pergantian di birokrasi terutama dengan ‘terlemparnya’ orang-orang dekat ‘EYS’. Bagi mereka, EYS-TOL satu paket. Kalau EYS telah pergi maka logikanya yang dilakukan TOL adalah melanjutkan saja toh? Masuk akal kalau mereka malah bilang TOL bak ‘kacang lupa kulit’.

Sampai di sini, análisis liar bisa saja benar sambil tidak melupakan bahwa sebenarnya setahun sebelum wafatnya EYS, hubungan EYS-TOL ‘tidak seperti yang dulu lagi’. EYS tentu lebih fokus mempersiapkan penggantinya dari Golkar. Sementara TOL antara ‘ada dan tidak ada’. Nasdem sudah terlanjur menganggapnya gagal dan kurang ‘gesit dan lincah’ berpolitik. Jadinya, TOL yang dulu pemain sepak bola profesional ‘bebas transfer’ dan diterima Demokrat.

Tetapi alam berkata lain. 9 bulan yang tak terduga datang menghampirinya. Lalu TOL pun begerak hingga mengacaukan skenario. Salah satunya, kata orang, melalui “Sare Dame” yang kemudian dibabtis dengan “Eksplorasi Budaya Sare Dame”. Disebutkan, ini merupakan perhelatan yang digagas untuk meloloskan TOL ke 2024 nanti.

Menanggapi hal itu, beberapa politisi ‘tiba-tiba’ menjadi kritis. Bayangkan, dulu saat EYS, mereka nyaris berbicara tentang pemborosan di Festival 3 G. Tetapi kini mereka justru menjadi ‘kritis’. Orang Lembata yang memantau dari jauh tentu hanya bilang: “ada eh…”, atau ‘saya tahu tetapi saya loss’.

Ada efeknya untuk TOL?

Lalu setelah SARE DAME terus ‘bengena no?’ Itulah pertanyaan sentral. Tidak kurang, pertanyaan itu akan diarahkan ke TOL sebagai ‘inisiator’. Apakah ada sesuatu yang baik datang dari ‘Sare Dame’ untuk TOL?

Hmm. Segelintir orang mengatakan bahwa tidak akan ada efek sama sekali dari SARE DAME. Kecil kontribusinya terhadap gerakan politik TOL. Ritual kali ini bisa saja cepat dilupakan. Apalagi pilkada masih 2 tahun lagi. Orang akan lupa dengan cepat.

Lebih lagi kalau rangkaian ritual Sare Dame dianggap hanya ‘ritualistik’ belaka. Bagi mereka, para pemangku adat ‘diperalat’ demi melayani napsu penguasa. Kalau seperti itu maka mereka sudah mewanti-wanti bakal ada ‘balasan’ bagi ritual seadanya sambil mengatakan: “Lembata panas no”, sambil berkata, nanti kalau ‘kami punya naik, kamu keringkah…’. Sampai ‘segitu’.

Singkatnya, ada yang berpendapat, kalau tidak ada efek electoral bagi TOL

Kedua, ada yang melihat sebaliknya bahwa justru Ekspolorasi Sare Dame punya efek positif. Cara berpikir seperti ini pun wajar-wajar saja. Artinya kalau ada yang meragukan, tetapi kita kalau ada yang mendukung mengikuti aura positif yang tengah dirasakan oleh banyak masyarakat Lembata juga sah-sah saja. Artinya, jangan mengganggap bahwa hanya aura negatif saja. Secara seimbang kita juga akui ada aura positif.

Jelasnya, bila EKSPLORASI BUDAYA SARE DAME tidak dilaksanakan ‘seadanya’ seperti yang disangka tetapi sungguh mendalam (tentu saja dengan segala keterbatasan), maka aura itu bisa juga menjadi konsekuensi yang bisa diterima oleh TOL. Lebih jelasnya, meski dengan segala keterbatasan, tetapi perayaan 7 Maret 2022 menjadi sedikit berbeda dari yang sebelumnya. Memang sekilas event ini bisa dianggap tidak bedanya dengan ‘festival’ sebelumnya. Tetapi kalau kita terbuka, perayaan pada 10 titik menjadi hal yang tidak pernah ada sebelumnya. Ia lebih desentralistik dan bisa dirasakan lebih banyak orang.

Tentang ritual yang digunakan tentu saja masih ‘debatable’. Tetapi aura memperbaiki relasi yang rusak dengan diri, alam, dengan Ama Lera Wulan Tanah Ekan, menjadi hal yang bisa dirasakan. Ada kesadaran tentang konflik baik internal maupun eksternal yang masih kuat yang seperti ditakutkan oleh beberapa politisi bahwa ia bisa membangunkan ‘singa yang lagi tidur’.

Ketakutan ini wajar-wajar saja. Bahkan teolog politik J.B Metz menyebutnay sebagai ‘memoria passionis’, kenangan akan penderitaan, Kenangan seperti ini sangat meyakitkan. Tetapi jalan ini perlu dilewati karena seperti ‘Sang Guru’, Ia melewati penderitaan sebagai jalan menuju kepada kebangkitan. Artinya, setiap orang yang merayakan ‘penderitana’ atau konflik di masa lalu tidak agar menghidupkan lagi konflik tetapi membangkitkan semangat untuk menjadi lebih baik lagi.

Itu berarti Eksplorasi Budaya Sare Dame, terlepas dari pelaksanaan yang jauh dari sempurna tetapi ia menjadi awal yang perlu diperbaiki agar ke depannya menjadi lebih baik. Kita bisa membayangkan bahwa di antara banyak yang mendukung mungkin saja ada yang berkata “Baru kali ini saja kita menyaksikan bahwa pemerintah dan masyarakat adat bersatu mengangkat ritual ini.” Tetapi itu pun tidak membuat pemerintah (khususnya TOL) untuk merasa di atas angin tetapi sebuah harapan agar kedepannya

Dari sini bisa muncul konsekuensi yang bisa menguntungkan TOL. Kalau aktivitas Sare Dame dilaksanakan dalam suasana ketulusan jauh dari manipulasi maka ia menjadi kenangan yang membekas dan menghidupkan. Ia akan terus diingat sampai kapanpun. Karena ituh ‘jedah’ 2 tahun bagi TOL bisa terlalu pendek bagi masyarakat. Mereka akan terus mengingatnya dan bisa menjadi nilai tambah yang tidak bisa dianggap remeh.

Bila asumsi ini benar maka merendahakn apalagi tidak mengharga eksplorasi ini, juga akan memiliki pengaruh positif untuk TOL. Jelasnya, bila pejabat pengganti atau politisi mana yang terlampau menentang dan malah tidak mau melanjutkan, maka hal itu juga akan menguntugkan TOL. Masyarakat akan melihat TOL sebagai ‘korban’ dan di sana bisa ada identifikasi masyarakat yang telah turut dalam ketulusan melaksanakan Eksplorasi Budaya Sare Dame.

Untuk TOL, aura positif ini tentu tidak membuatnya ‘lupa daratan’. Setiap sanjungan tetap menjadi beban apalagi kalau masyrakat ingat bahwa selama 5 tahun silam, semboyan ‘cincin ekonomi’ yang digaungkan TOL belum terlihat efek nyata. Hal itu bisa saja karena idenya dari TOL tetapi tidak mudah diwujudkan karena yang menjadi pimpinan adalah EYS.

Untuk itu, lima tahun berikut kalau kesempatan itu masih diberikan lagi pada TOL, ia perlu merancangnya agar menjadi lebih efektif dan bis diterapkan secara strategis. Itu berati dua tahun ‘masa penantian’ perlu diisi dengan upaya strategis. Sebagai akademisi, TOL perlu menggunakan kekuatan ini agar kelak cincin ekonomi itu bisa dikenakan di jari masyarakat Lembata.

Tetapi semua hal ini tentu saja akan kembali ke masyarakat Lembata, Mereka yang melihat, mengamati, merasakan sendiri. Kelak mereka tidak saja memutuskan ‘nasib’ TOL, tetapi nasib dari politisi siapa saja yang memang terbukti tulus dan ikhlas membangun Lembata.

=========

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik, Fakultad Sciencia Politica, Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

Komentar ANDA?