NATAL DAN SENGKETA PILKADA INDONESIA TIMUR

0
348

Oleh: Robert Bala

Pilkada serentak 27 November telah selesai. Tetapi persoalan tidak selesai. Sengketa pilkada justru masih mengalir ke Mahkama Konstitusi (MK) yang sebagian besar berasal dari Indonesia Timur. Dari 10 besar provinsi dengan sengketa pilkada, tujuh provinsi di antaranya merupakan wilayah Indonesia Timur.

Untuk Kabupaten/Walikota, posisi teratas ditempati Papua Tengah 20 perkara, Maluku Utara 19 perkara dan Papua sebanyak 18 perkara. Selanjutnya diikuti Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Papua Pegunungan, Papua Barat, dan Malku dengan jumlah di atas 10 permohonan.

NTT tidak terdapat dalam daftar teratas. Tapi jumlahnya tidak sedikit yakni 7 kabupaten: Manggarai Barat, Flores Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan dan Belu.

Yang menarik: mengapa sengketa justru begitu banyak dari Timur Indonesia? Bukankah Indonesia Timur dengan penduduk yang mayoritasnya merayakan Natal dengan panggilan utama mestinya menghadirkan warna kasih dan persaudaraan?

Pemahaman keliru

Mengapa praksis kasih dan perdamaian serta persaudaraan dan persatuan yang merupakan ciri khas nilai kristiani kerap terasa kontradiktif? Apakah ada pemahaman yang khilaf?

Tidak mudah menjawabnya. Tetapi pemahaman tentang kebebasan sejati bisa pijakan untuk menilai. Dalam Alkitab, kebebasan Kristen mengacu pada kebebasan yang Tuhan tawarkan kepada manusia untuk membebaskan diri dari dosa dan menjalani kehidupan yang utuh. William E. Fischer dalam bukunya La Libertad Cristiana, Cristo nos hace libres, 2009 (Kebebasan kristiani, Kristus membuat kita Merdeka) menyebuatkan bahwa kebebasan dari dosa merupakan anugerah bimbingan Roh sehingga manusia memperoleh kehidupan yang utuh.

Artinya, terdapat dua hal yang saling mengandaikan. Di satu pihak kehadiran Roh Allah bila sudah menjadi pijakan, maka akan memengaruhi hidup dan menjadikannya kehidupan yang utuh. Santu Paulus mengungkapkan secara sangat jelas: “Sekarang Tuhan adalah Roh, dan di mana Roh Allah, di situ ada kemerdekaan” (2 Kor 3: 17).

Yang jadi pertanyaan, mengapa klaim para paslon kristiani yang ditunjukkan oleh kedekatan dengan hirarki dalam kenyataannya nyaris terllihat? Klaim sebagai ‘serdadu Kristus’ begitu mudah diungkapkan saat proses pilkada tetapi saat selesai, semua saling mempersalahkan? Sengketa pilkada menjadi salah satu contohnya.

Hal ini mengingatkan aka napa yang dikatakan oleh Philip Yancey. Dalam bukunya Christians and Politics Uneasya Patners, 2012, ia ungkapkan bahwa kerap dalam kehidupan sosial, orang Kristen begitu mudah mengklaim orang lain sebagai ‘naga’ yang perlu diwaspadai. Dalam kenyataannya, ia sendiri adalah naga yang berusaha melawan naga. Klaim ini tentu tidak seluruhnya salah tetapi saling mengklaim yang paling benar dan bersih dan ‘permainan’ lihai selama pilkada membenarkan bahwa tidak ada yang bersih.

Evaluasi Diri

Adanya dominasi sengketa pilkada di Indonesia Timur menjadi momen untuk mempertanyakan sekaligus mengevaluasi diri. Hal paling kasat mata adalah menggugat sejauh mana persatuan itu benar-benar telah mengakar dalam kehidupan kristiani. Persatuan trinitaris sebagai pijakan utama mestinya menyakinkan bahwa persatuan itu adalah harga mati.

Selain itu bila pilkada atau pileg merupakan salah satu ekspresi peranana kehidupan kristinai dalam kehidupan politik maka warna ini mestinya hadir. Semua pertemuan sebelum, selama, dan sesudah pilkada mestinya diwarnai oleh persatuan. Aneka pertemuan yang dihadiri oleh semua orang kristen yang berkumpul dua atau tiga orang dalam nama Kristus, Dia pasti hadir di tengah mereka (Mat 18: 20). Nyatanya klaim itu tidak terbukti. Klaim dan sengketa itu menjadi pintu masuk untuk membenarkan bahwa politik kita belum merupakan ekspresi dari iman. Ia masih sebatas ekspreesi verbal.

Adanya kenyataan seperti ini mendorong kita untuk menyadari bahwa persatuan itu masih terlalu jauh. Kita mesti belajar dari provinsi dengan penduduk begitu banyak seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan pemilih puluhan juta tetapi mereka bisa meretas persatuan sejak proses pilkada. Di Jawa Barat, 60 % lebih kabupaten hanya menyodorkan 3 paslon dan diikuti 20% 3 paslon. Hanya 4 daerah yang memiliki 5 paslon. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur hampir 80% memiliki 2 paslon dan hanya sedikit yang 3 paslon. Ini adalah contoh persatuan yang nyata.

Natal yang terjadi di akhir tahun mestinya menjadi momen evaluatif sejauh mana persatuan itu tidak saja diklaim tetapi juga diwujudkan. Bila memang politik dijadikan sebagai medan misi, maka ia tidak sekadar klaim. Ia harus mengekspresikan persatuan yang sudah dijiwai. Persatuan juga tidak sekadar klaim yang mengelabui karena ia bisa saja hanya sekadar klaim tanpa meresapkannya.

Evaluasi juga mestinya melangkah lebih jauh untuk melihat betapa indahnya ajaran Kristus tentang cinta kasih, persaudaraan, dan persatuan. Hal itu telah memunculkan decak kagum bahkan bukan orang Kristen yang melihat betapa kayannya ajaran itu. Mahatma Gandhi menjadi salah satu pengagum Kristus yang mengungkapkan secara sangat luas: “I like your Christ; I do not like your Christians. Your Christians are so unlike your Christ.” (saya suka Kristusmu tetapi saya tidak suka orang-orang kristenmu. Orang Kristen tidak seperti Kristusmu). Ini sebuah ironi tentang kedalaman ajaran kristiani di satu pihak dan praksis yang tidak berhasil diwujudkan bahkan dalam batas minimal.

Natal yang sebentar lagi dirayakan. Sang Raja itu tidak hadir dengan aneka kampanye yang mengagungkan dipanuhi sambutan gegap gempita (sebesar yang terjadi saat kampanye akbar). Ia hadir dalam kesunyian dan ketenangan dan mengajak semua orang yang akrab dengan langit untuk membaca tanda yang dilukis alam. Para gembala yang hanya beratap langit melihatnya dan bukan mereka yang mengklaim diri paling beragama (seperti Herodes), yang hanya bermain kata ‘menyembah’ padahal lagi meranang pembunuhan.

Natal menjadi momen penting. Kalau dikaitkan dengan eufori politik pilkada maka nasihat Philip Yancey, sangat aktual: “Iman Kristiani, pada intinya adalah tentang pemberian diri—penyerahan diri oleh Allah dan penyerahan diri manusia—dan bukan tentang pemaksaan diri.” Selama ini bisa jadi kita terlampau memaksakan diri dan ketika tidak tercapai maka protes dan perpecahan itu menjadi mudah terjadi. Kalau demikian maka nyata bahwa Kristus masih menjadi ucapan di bibir bukan keluar dari hati hal mana kita perlu mengevaluasi diri.

==========

Penulis adalah:  Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facultad Ciencia Politica, Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.

Komentar ANDA?