MARIA FATIMA AGA duduk di amben bambu. Tiap hari, perempuan berusia sekitar 67 tahun itu bisa duduk dari matahari terbit hingga tenggelam. Sebuah kotak kayu berisi sirih, gulungan rajangan tembakau, kapur, dan pinang diletakkan di samping kirinya. Di sebelah wadah itu, ada stoples bekas untuk membuang ludah. “Hem pahit,” katanya menjelaskan rasa menginang kepada NttSatu.com.
Nene Tima , demikian ia biasa disapa, adalah seorang penenun ikat tradisional Kabupaten Ende . Ia tinggal di Kampung Pora, Desa Pora, Kecamatan Wolo Jita Kabupaten Ende. Meski pahit, agaknya pinang itulah teman setianya menenun “Ragi” tenun ikat untuk pria dan “Lawo” tenun ikat wanita secara manual.
“Saya menenun sejak gadis usia 15 tahun sekarang sudah 51 tahun bergelut Depa Ragi (Tenun) ,” kata Ibu Tima kelahiran Pora 67 tahun lalu.
Berbekal Kabe, demikian ia menyebut sebatang kayu sepanjang 1,5 meter yang dikaitkan di pinggang, apit–kayu penjepit deretan benang, serta Boku Seda–kayu berisi gulungan benang, Nene Tima membuat “Lawo” dan “Ragi”. Semua alat itu ditempatkan di atas amben di samping dapur rumahnya yang berlantai semen.
Salah satu yang unik dari alat produksi tenun ini adalah sisir benang. Sementara sisir penenun pada alat tenun bukan mesin biasa terbuat dari kawat, sisir tenun yang digunakan nene Tima terbuat dari rautan bilah bambu.
“Kalau rusak, di pasar ada yang jual,” katanya tentang sisir tenunnya. Adapun Kobe bagian ujung depan mesin tenunan tradisional Tima , dan Loni Kolo yang kini dipinggang, adalah peninggalan orang tuanya ketika dia masih gadis usia belasan tahun . Yang jelas, keterampilan itu didapat dari ibunya yang juga penenun tradisional.
Meski saban hari membuat tenun ikat, ia juga tak tahu pasti berapa jam kerjanya. Ia mulai bekerja ketika matahari terbit dan sinarnya mampu menerangi. Demikian juga ketika matahari tenggelam dan sinarnya mulai berkurang, ia akan menyelesaikan pekerjaannya.
Karena dibuat secara manual dan teliti dalam waktu kurang lebih 2 Minggu, tenun ikat buatannya rapi dan indah, kainnya pun ringan. “Kami teliti dalam menenun, sehingga bagus” katanya. Tidak Heran Kain Traditional Kampung Pora merupakan jenis kain yang paling Mahal di Ende karena kualitas dan keindahan motif tenunannya.
Yang biasa ditenun Nene Tima adalah “Ragi” biasa memiliki lebar 1 meter dan panjang 2 meter. Dengan motif warna hitam, biru, kuning dan merah, kain ini lazim digunakan oleh kaum pria di Ende. Jika tak sakit, Nene Tima sanggup menenun 1 tenun ikat ragi 1 Minggu. “Waktu gadis bisa 3 atau 4 hari satu kain,” katanya.
Meski penenun tradisional di Pora telah langka, produk Nene Tima tetap digemari di pasaran. Seminggu sekali, Blasius Dale seorang pedagang kain asal Pora datang ke rumahnya untuk membeli “Ragi” dan “Lawo” Kain itu lantas dijual kembali di pasar Watu Neso di desa Watu Neso Kecamatan Lio Utara sekitar 35 Km dari Pora .
Yang membuat miris adalah Nene Tima menjual lurik buatannya hanya Rp 200 ribu per lembar tidak sebanding dengan tenaga dan bahan dibelinya . “Buat beli benangnya saja sudah hampir Rp 100 ribu belum juga biaya transpor pembelianya,” kata Nene Tima.
Taruhlah separuh dari hasil penjualan itu dimanfaatkan untuk membeli bahan baku, itu artinya tenaga dan keterampilannya hanya seharga Rp 100 ribu per minggu dan jika dihitung penghasilan per hari dia hanya mendapat Rp 17 ribu.
Dengan penuh lesuh, harapanya kepada Pemda Ende adalah cara baru yang lebih modern dalam menenun supaya waktu lebih singkat dan tidak menguras tenaga. “Kita berharap ada cara baru agar waktu menenun lebih singkat, dan bisa lebih menggairahkan para penenun” tambahnya . (Hironimus Dale)
======
Keterangan Foto : Maria Fatima Aga saat Menenun “Ragi” Kain Tenun Ikat Laki-Laki