*) Oleh: Dr. Thomas Tokan Pureklolon, M.Ph., MM., M.Si
NETRALITAS dalam pilihan politik adalah sebuah kebutuhan politik yang perlu dan terus menjadi salah satu misi pewarta demokrasi yang walaupun terus diperdebatkan secara akademis oleh para ilmuwan politik dewasa ini. Namanya saja pilihan politik, yang tentu rentan terhadap paradoks politik itu sendiri; kuat tapi lemah, bebas tetapi tidak bebas, berdaulat tetapi tidak berdaulat. Yang bisa menjadi jalan keluar atau way out politik dalam dilema sebuah paradoks demokrasi seperti itu adalah etika. Etika yang bisa menjembatani semuanya.
Netralitas dalam ilmu politik menuju praktik demokrasi yang berskala nasional seperti PILPRES di tahun politik yang sedang berjalan, menjadi begitu penting dan kuat karena dikelola dalam sebuah kekuatan politik yang terjadi secara “terang-benderang”; di panggung depan dalam wilayah formal seperti apa seharusnya dan panggung belakang dalam suasana rileks seperti apa sebenarnya.
Demokrasi dalam ruang politik cenderung menjadi incaran para politisi atau khalayak publik yang selalu dihubung-hubungkan secara inheren terhadap masing-masing kandidat, dua wilayah yang sama-sama punya kekuatan politik yaitu wilayah depan ( front region ) dan wilayah belakang ( back region ). Dua wilayah kehidupan para kandidat ini terus menjadi medan politik perjuangan dalam memperebutkan sebuah kemenangan politik yang disebut kekuasan ( power ).
Dalam percaturan politik yang lagi marak sekarang, meminjam teori, Erving Goffman ( 1955 ) mengenai Dramaturgi, bahwa dalam kehidupan sosial terdapat dua wilayah sentral yakni “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa kandidat beraktivitas atau menampilkan peran formalnya yang sedang disaksikan khalayak publik. Sementara wilayah belakang, ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara ( baca kandidat ) selalu bersantai, mempersiapkan diri sebaik mungkin, atau berlatih sekian intesif untuk memainkan perannya di panggung depan secara elegan.
Dua model panggung ini memungkinkan para kandidat berperan sebagai pejuang politik ( kerja politik ) untuk tampil sebagi petarung handal yang punya satu tujuan utama adalah tujuan politik yang bakal diraihnya yakni mendulang suara sebanyak-banyaknya sampai tidak berhingga.
Sesungguhnya netralitas politik menjadi pilihan politik, juga dipahami dalam perspektif kekuatan politik. Dalam aras ini sebuah pertanyaan politik yang akan segera menyusul adalah; Entahkah pilihan politik seseorang cenderung berpihak pada sosok politik yang ditampilkan di panggung depan atau panggung belakang? Ataukah terdapat alternatif pilihan politik seseorang “yang berwarna” yang merupakan hasil sintesis antara panggung depan dan panggung belakang. Perlu dipahami bahwa sebuah sintesis politik yang merupakan hasil racikan dari panggung depan dan panggung belakang, tentu penuh dengan berbagai kepentingan politik, dalam perspetif sains, adalah tidak netral, penuh dengan intrik-intrik politik. Kehadiran sebuah sosok sintesis berasal dari wilayah ilmu sosial yakni kompromi politik bersama dalam internal kubu masing-masing, wilayah ilmu alam yakni otentisitas diri masing-masing kandidat dan wilayah akal sehat yakni realitas sosial politik dalam masyarakat publik. Kedua wilayah pertama; wilayah ilmu sosial dan wilayah ilmu alam tentu masing-masing unggul dalam bidangnya, kemundian diolah dan diaduk menjadi satu kekuatan, namanya pilihan politik ( rationl choice ).
Mungkinkah ada pilihan politik yang berwarna, yang merupakan mixed government bentukan Jean-Jacques Rouaseau ( On The Social Contract, 2003: 52-53 ), dalam teori kontrak sosial menjadi property bersama karena hal inilah hasil olah-adukan bersama yang tidak luput terhadap ketegangan-ketegangan politik secara permanen yang terganbar dalam tiga hal krusial, pertama menjabarkan keadaan asli manusia, kedua menemukan hakekat dasar manusia yang ada dalam situasi asli; dan yang ketiga menjabarkan situasi lingkungan manusia yang hidup dalam masyarakat ( Du Social Contract, 1762:245 ).
Setiap kubu politik masing-masing bisa bersikeras berupaya mempertahankan otentisitas yang terus diklaim sebagai kebenarannya. Perlu dihami oleh kedua kubu yang berseteru bahwa di satu pihak, terdapat kebenaran subyektif yang terus melekat secara inheren pada setiap pelaku politik dengan segala perjuangan politiknya, yang tidak terbukti dalam fakta politik ( delusi ) yang terus di-klaim sebagai kebenaran; di lain pihak terdapat kebenaran kolektif yang juga terus melekat pada sekelompok masyarakat tertentu dalam bentukan bersama dan dalam hal apa saja, yang terpenting adalah selalu bertalian dengan kondisi perpolitikan yang sedang berlangsung; karakter kebenaran yang diperoleh dengan cara seperti itu disebut dengan, hoax.
Kebenaran sesungguhnya, yang diperjuangkan dalam perpolitikan yang sering absen dalam praktik politik adalah kebenaran obyektif. Kebenaran obyektif ini telah menjadi instrument bersama dan menjadi acuan penilaian tindakan manusia yang disebut etika politik, yang diharapkan bisa dipraktikan dalam pilihan politik.
Etika politik dalam berpolitik di dalamnya telah terdistingsi tiga wilayah utama yang masing-masing di lihat secara mandiri dan otonom secara etis dan pada saat yang sama bisa bergeser secara inherent makna dan nilainya, yang sangat tergantung pada pilihan politik dalam berpolitik. Ketiga wilayah riskan tersebut adalah wilayah keluarga, yang bisa saya sebut sebagai panggung belakang, wilayah sosial yang bisa saya sebut sebagai panggung depan yang bagi siapa pun bisa menentukan pilihan secara bebas yang termasuk di dalamnya adalah kepentingan negara.
Dalam percaturan politik, perlu dipahami bahwa di zaman Yunani kuno terdapat sebuah pilihan politik yang diwarnai oleh “koinonia politik” Yunani kuno yang muncul sebagai wawasan dunia politik bersama, ketika itu. Dalam perkembangan selanjudnya di dalam dunia sosial modern, koinonia politik ( politik yang bermartabat ), terus terseret ke seluruh kepentingan massa ala Athena pada waktu itu. Banyak konflik sosial terus bermunculan dan kehidupan sosial menjadi sangat kacau dan tidak rama. Upaya sosial untuk membendung langkah yang telah terseret jauh ini adalah dengan memunculkan term “netralitas politik dalam pilihan politik”.
Yang netral dalam pilihan politik ketika itu, sebetulnya telah berkorelasi politik secara langsung; di satu sisi dengan masyarakat yang disebut infra-struktur politik, dan di sisi lain berkorelasi secara langsung dengan pemerintah yang disebut sebagai supra-struktur politik yang menempatkan negara sebagai faktor utama ( state factor ). Kedua struktur politik tersebut telah te-rendap lama dalam struktur politik masyarakat, yang kapan saja dapat dikomunikasikan secara sistematis lewat bahasa atau kondisi budaya lainnya dalam masyarakat.
Masyarakat sebetulnya telah mempunyai pilihan politik ysng telah tersimpan rapih pada benaknya; dan pilihan itu mulai muncul secara berwarna dalam setiap dialog politik ( political action ) sebelum pemilu yang akan menyata pada saat pemilu. Netralitas pilihan politik menjadi sangat menarik dan sangat kuat serta bersosok, ketika pemilih berada sendirian di dalam bilik suara pada saat memilih. Selamat memilih.Thanks.
*) Penulis adalah dosen pada Faculty of Liberal Arts, Universitas Pelita Harapan – Jakarta ).