OJK Awasi Kredit Bermasalah di Bank NTT

0
1088

NTTsatu.com — KUPANG – NPL (Non Performing Loan) alias Ratio Kredit Bermasalah Bank NTT pada April 2020 mencapai 4,30 persen. Namun ratio untuk menghitung kredit bermasalah yang berkaitan langsung dengan tingkat kesehatan Bank NTT tersebut turun pada Mei 2020 menjadi 4,19 persen.

Meski mengalami penurunan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTT terus melalukan pantauan dan pengawasan terhadap Bank NTT ini. Demikian dikatakan Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTT, Robert Sianipar kepada wartawan usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPRD NTT, Kamis (4/6/20) kemarin siang.

“Kita melakukan pengawasan terhadap Bank NTT. Teman-teman lihat di report-nya (laporan keuangannya, red), NPL-nya masih dibawah 5 persen.  Dan minggu kemarin kami monitor sudah turun, April kemarin di 4,30 persen dan Mei kemarin sudah 2,19 persen,” ungkapnya.

Menurut Ketua OJK NTT itu, masyarakat dan nasabah Bank NTT tidak perlu kuatir. “NPL itu naik dalam bisnis wajar. Karena situasinya seperti ini. Yang penting kan ada upaya-upaya untuk penyelesaian-penyelesaian. Jadi jauhlah dari colaps, modalnya masih di 21 persen. Masih jauh colaps.  Jadi tak perlu kuatir terlalu berlebihan,” kata Sianipar.

Namun OJK NTT, tutur Sianipar, tetap mendorong upaya penyelesaian kredit macet. “Penyelesaiannya tetap perlu kita dorong, kita monitor. Tadi saya sampaikan (kepada Komisi III DPRD NTT, red) kredit bermasalah sebelum PLT. Dirut yang baru itu harus diintensifkan penyelesaiannya. Termasuk melalui penyelesaian agunan-agunan yang ada,” ujarnya.

Yang diperhatikan OJK NTT saat ini, lanjut Sianipar, adalah ketahanan Bank NTT terhadap dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. “Bagaimana ketahanan likuiditasnya? Termasuk bagaimana relaksasi kepada masyarakat dan dampak NPL-nya,” ujarnya.

Menurut Sianipar, saat ini pihaknya sedang melakukan pengawasan dan pembenahan terhadap Bank NTT. “Kita sekarang melakukan pembenahan. Pengawasannya sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang berlaku di OJK.” jelasnya.

Sianipar memaparkan, dilihat dari sektor industri perbankan, Bank NTT masih tergolong baik.  “Pada prinsipnya kondisi bank itu masih baik, permodalannya cukup, likuiditasnya ada, NPL-nya naik tapi masih terkendali. Permodalannya masih di kisaran 21 persen. NPL-nya memang naik, tapi kita melakukan pemetaan termasuk meminta kepada manajemen upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan NPL. Ini kan prosesnya berlanjut,” katanya.

Dijelaskan, saat ini OJK NTT terus melakukan komunikatif secara intens dengan PLT. Dirut dan Direktur Kredit Bank NTT terkait upaya-upaya menurunkan NPL. “Ada beberapa konsep seperti bagaimana melakukan lelang sederhana terhadap agunan-agunan yang didapat dari debitur-debitur bermasalah. Kemudian peningkatan penagihan. Ini yang terus kita evaluasi,” katanya.

OJK, kata Sianipar, merekomendasikan kepada PLT. Direktur Kredit Bank NTT yang baru untuk memperbaiki proses pemberian kredit kepada debitur.  “Kami minta kepada PLT. Direktur Kredit yang baru ini agar proses kredit dibenahi secara komprehensif.  Banyak item yang harus dibenahi dalam proses bisnis kredit. SDM-nya harus dibenahi. Analisis kreditnya dibenahi dan dilakukan pendidikan secara berkala agar kompetensinya meningkat.  Tools-nya (alatnya, red) dan sistemnya diperbaiki,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Sianipar, perlu diperbaiki Standar Operasi dan Prosedur pemberian kredit di Bank NTT. “Kemudian SOP-nya diperbaiki. Bagaimana syarat-syarat pengajuan kredit?  Lalu pengambilan keputusan pemberian kredit. Kredit yang sudah NPL didorong penagihannya. Namun ke depan harus didorong agar tidak tumbuh kredit-kredit bermasalah yang baru. Itu rekomendasi yang kita sampaikan,” paparnya.

Sianipar berharap, di waktu mendatang tak ada lagi kredit yang bermasalah di Bank NTT. “Caranya bagaimana? Ini proses bisnis kreditnya harus diperbaiki. Mulai dari permohonannya. Harus cek usahanya ada atau tidak? Kondisi keuangannya bagus atau tidak? Jadi yang baru tidak bertumbuh, yang lama secara bertahap akan diselesaikan,” jelasnya.

Ketika dimintai tanggapannya tentang adanya agunan bodong dari debitur kredit macet di Bank NTT sekitar Rp 206,5 Milyar sesuai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan NTT, Sianipar mengatakan, yang paling penting dari kredit adalah adanya usaha yang dibiayai mampu menghasilkan pendapatan untuk pembayaran cicilan kredit.

“Prinsip utamanya, kredit itu harus ada usaha yang dibiayai. Usaha yang dibiayai layak dihitung hasilnya bisa mengembalikan kredit. Agunan itu second way out (solusi kedua, red). Kalau usahanya turun (colaps/bankrut, red) baru agunannya diproses. Jadi agunan itu solusi keduanya. Bank itu bukan gadai. Bukan beli agunan. Jadi prinsip utamanya harus ada usaha,” tandasnya. (*/tim)

Komentar ANDA?