Oleh: Robert Bala
Saya mendengar ‘𝒑𝒂𝒌𝒆𝒕 𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒑’ (𝒄𝒐𝒎𝒑𝒍𝒆𝒕𝒆 𝒑𝒂𝒄𝒌𝒂𝒈𝒆) ini cukup sering. Di tempat makan, pelayanan perawatan, dan pelayanan misalnya urusan penyelenggaraan pesta pernikahan. Disebut paket lengkap karena mencakup semua hal wajib dengan harga khusus. Ada harga di bawahnya yang diberi nama khusus untuk mengelabui kualitas terbawah.
Di tik-tok, sebuah paket disebut lengkap kalau mencakup: 𝒍𝒊𝒌𝒆, 𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆, 𝒂𝒏𝒅 𝒄𝒐𝒎𝒎𝒆𝒏𝒕𝒔. Orang tidak saja 𝒍𝒊𝒌𝒆,, tetapi bisa membagikan (𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆,) dan juga memberi komentar (𝒄𝒐𝒎𝒎𝒆𝒏𝒕𝒔). Kalau hanya salah satu, maka diberi julukan tidak lengkap.
Pertanyaannya, 𝑎𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑝𝑖𝑙𝑘𝑎𝑑𝑎 𝐿𝑒𝑚𝑏𝑎𝑡𝑎, 𝑘𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 ‘𝑝𝑎𝑘𝑒𝑡 𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝’ 𝑎𝑙𝑖𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑛𝑑𝑖𝑑𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙𝑖 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑙𝑖𝑛𝑖, 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑒𝑘𝑠𝑒𝑘𝑢𝑡𝑜𝑟, 𝑙𝑖𝑛𝑐𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑜𝑚𝑢𝑛𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖, 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑡 𝑚𝑖𝑠𝑘𝑜𝑚𝑢𝑛𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑘𝑖𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑟𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙𝑎𝑛 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ?
Tentu saja semua orang dari berbagai kelompok dan partai punya jagoan. Orang Partai yang sudah punya ‘jatah kursi’ tentu bebas mengatur tawar-mengawar. Saya lebih fokus pada orang bukan partai, yang sejauh evaluasi saya (yang nota bene bisa ditentang kalau ada yang tidak setuju) menjdi calon yang perlu diperhitungkan. Sekali lagi, opini yang dibangun seperti ini bisa saja berbeda dengan pendapat pembaca. Setuju dan tidak setuju itu soal hak. Karena itu berpendapat berbeda dengan argumentasi yang mumpuni tentu diharapkan untuk bisa ‘menangkis’ pendapat ini.
Sekat Wilayah
Sadar atau tidak, menjelang pilkada, isu ‘kewilayahan’ diembuskan. Ini sebenarnya bukan hal yang salah. Malah baik. Masing-masing wilayah tentu tahu dan kenal siapa yang terbaik. Kalau diorbitkan itu sah. Malah kita harapkan agar orang ‘Edang’, Ile Ape, Lebatukan, Nubatukan, dan wilayah ‘Selatan’ (yang disebut juga wilayah yang seakan tertinggalkan) punya kandidat.
Dalam konteks ini, kita tidak seakdar menyisir orang menurut asalnya. Lebih dari kit akita mencari orang yang hampir punya pengalaman lengkap di tiap wilayah. Ia punya hubungan batin karena telah lahir, ada, dan bertumbuh di berbagai wilayah akan menjadi sebuah nilai tambah. Itu artinya, jauh sebelum ada isu politik ketika ia belum siapa-siapa, ia telah melewati proses pembentukan.
Untuk hal ini, dari penilaian saya yang barnagkali tidak lengkap (karena tidak tahu), saya justru menemukan contoh ini dalam diri 𝑺𝒊𝒏𝒖𝒏 𝑷𝒆𝒕𝒓𝒖𝒔 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒌 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑷𝒊𝒕𝒆𝒓 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒌. Ia berasal dari Ile Ape, tetapi hanya karena sejak kecil ‘saking petualangnya’, maka ayahnya ‘membiarkan’ puteranya itu bersekolah SD kelas 3 – 6 di Lerek – Atadei. Di kampung yang dingin itu, Piter yang kecil sudah lincah berceloteh. Dengan kemampuan bahasa Ile Ape (Lamaholot), terkadang saat naik pohon tuak (kelapa), ia mendendangkan oreng dengan kata-kata yang hanya ia sendiri paham sambil ia menikmati pujian dari orang kampung yang juga tidak paham maknanya.
Namanya petulang. Hanya 2 bulan sebelum ujian akhir SD, ia balik ke kampung halamannya di Bunga Muda. Tetapi di kampung itu ia hanya ‘numpang lewat’. Untuk melanjutkan di SMP Muda Karya, ia harus ‘hijrah ke Kedang’. Di sinilah ia menamatkan SMPnya dan satu teman kelasnya adalah Eliaser Yentji Sunur.
Dari Kedang, ia ke Nubatukan (saat itu masih Lebatukan) melanjutkan pendidikan SPG Kemasyarakatan Lewoleba. Pengalaman seperti ini ternyata menjadi benih kemudian tidak salah orang mengklaim Piter sebagai orang Atadei, Kedang, Nubatukan/Lebatukan, dan tentu saja Ile Ape. Sebuah paket sangat lengkap.
Tidak hanya itu. Bila Lembata teridentik dengan dua bupati terpilih dengan masing-masingnya 2 periode. Maka Piter bersinggungan langsung dnegan keduanya. Ande Duli Manuk (sebagai saudara di mana Piter melewati masa SMP bersamanya). Di situ ia bertemu dnegan alm Yentji Sunur, sebagai teman kelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa Piter bisa belajar dari mereka. Keduanya punya kelemahan yang jadi buah bibir orang Lembata. Tetapi harus diakui, keduanya juga punya bekas tangan yang tidak bisa dianggap ‘remeh-temeh’ di Lembata. Kepada mereka, Piter tentu tidak diajarkan lagi untuk harus berguru karena ia telah lakukan jauh sebelumnya.
Bercahaya sebagai Pribadi
Tracing atau pelacakan sejarah dan wilayah, bagi segelintir orang bukan menjadi alasan substansial mengorbitkan seseorang jadi pemimpin Lembata. Penilaian ini ada benarnya juga. Ia hanyalah bagian dari sejarah yang bisa disebut ‘bagian luar’ dan tidak bisa dijadikan takaran. Tetapi pengalaman perjalanan hidup dan karir akan menjadi pembukti paling tepat.
Untuk Piter, hal paling dasar, adalah pendidikan 𝑩𝒊𝒎𝒃𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝑲𝒐𝒏𝒔𝒆𝒍𝒊𝒏𝒈 (BK)yang diambil sebagai ‘faknya’. Sebagai mahasiswa BK ia justru bersaing hingga jadi Ketua Senat Mahasiswa FKIP Undana (1985-1987). Selain itu, sebagai guru BK kemudian, ia semestinya hanya ‘mentok’ di situ. Kalau di sekolah, jabatan itu tidak jauh dari pegawai perpustakaan (kalau memang mau dapatkan penyegaran setelah jenuh menangani siswa bermasalah).
Hal itu bebeda dengan Piter. Hanya setelah 6 tahun (1994) jadi guru, ia diangkat jadi Wakasek. 10 tahun kemudian (2004), ia merasa pasti untuk memulai petulangan di jabatan struktural dan setelah masuk, ia tidak bisa dibendung lagi. Jabatan berbeda di bawah gubernur yang berbeda: sekretaris Dinas Sosial, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, dan tidak lupa sebagai Penjabat Bupati Lembata, menjadi bukti kinerja yang tentu masih sedikit dicarikan contoh pada kandiat lainnya.
Tidak hanya itu. Setelah semua jabatan ‘dilucuti’ karena pensiun, ia terus dipercayakan sebagai Ketua Kwarda Gerakan Pramuka NTT, Ketua Komite Sekolah, dan menjadi Ketua Pelaksana (sebelumnya pernah menjadi Ketua Tim Pesparani NTT di Ambon, 2018), Pesparani Nasional tahun 2022. Justru di sinlah ukurannya. Ia bukan saja bercahaya waktu diberi kekuasaan tetapi ia tetap pribadi bercahaya tanpa kuasa dan menjadi pembuktian bahwa ia memenuhi kriteria paket lengkap.
Lalu apakah pribadi seperti ini, layak jadi paket komplit untuk 𝒅𝒊𝒔𝒖𝒌𝒂𝒊 (𝒍𝒊𝒌𝒆), 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒈𝒊𝒌𝒂𝒏 (𝒔𝒉𝒂𝒓𝒆) 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒃𝒆𝒓𝒊 𝒌𝒐𝒎𝒆𝒏𝒕𝒂𝒓 (𝒄𝒐𝒎𝒎𝒆𝒏𝒕𝒔)? Semua masyarakat Lembata dan terutama parpol yang punya kuasa dan kewenangan mendayung perahu lebih kompeten punya hak menjawab pertanyaan ini. Kita yang lain hanya menulis dengan konsekuensi dimusuhi karena menulis tentang orang baik ini.
Tetapi sebagai orang Lembata, kalau kita mencari figur yang tepat, maka 𝑺𝒊𝒏𝒖𝒏 𝑷𝒆𝒕𝒓𝒖𝒔 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒌 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝑷𝒊𝒕𝒆𝒓 𝑴𝒂𝒏𝒖𝒌 menjadi alternatif untuk bisa dipertimbangkan. Selain paket lengkap, ia merupakan eksekutor lapangan setelah mendapatkan perhitungan yang matang dan terbukti dari CV yang nyaris bisa diperdepatkan.
Tetapi apakah ini mudah? Kita bisa sebut sulit ketika politik kita di Lembata masih terbiasa dalam sekat yang kaku. Kita akan kehilangan figur karena masih ada pertimbangan ‘moen pira’ (engkau berapa) untuk bisa diusung partai yang katanya tidak bermahar itu. Kalau seperti ini, saya yakin Piter tidak akan lolos dan Lembata dan kita akan menyesal karena orang baik seperti ini tidak kita akomodir tepat pada waktunya.
=======
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.