Paradoks Utopia Persamaan Hak dan Rasisme Terhadap Orang Asia di Amerika Serikat

0
3165

Oleh Rini Wahyuningsih

Sejak legenda Christopher Columbus “menemukan” benua Amerika di tahun 1492, kaum Puritan dari Eropa berbondong-bondong hijrah ke “Dunia ke-2” ini dengan mendirikan koloni-koloni hingga terbentuklah negara Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776. Amerika Serikat lahir sebagai “the Dream Land” (tanah impian) selama ratusan tahun bagi para imigran yang ingin sukses meraih mimpi yang tidak dapat dicapai jika masih tinggal di negaranya. Imigrasi menurut Hoofsommer (1965) adalah masuknya seseorang ke suatu negara asing dengan maksud untuk menetap. Bagaimana tidak, Amerika menawarkan “equal right” (persamaan hak) yang tercantum di Deklarasi Kemerdekaan bahwa setiap warganegara akan mendapatkan persamaan hak dan kewarganegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku. Peltason (1986) menegaskan bahwa setiap orang yang lahir di Amerika Serikat dengan sendirinya menjadi warganegara Amerika Serikat tanpa melihat kebangsaan orangtuanya. Dengan demikian tidak ada seorang pun yang berhak melarang setiap warganegara Amerika Serikat untuk memperoleh hak dan perlindungan yang sama. Konstitsi Amerika Serikat yang ditandatangani di Philadelphia tanggal 17 September 1787 menjamin kesejahteraan dan kebebasan bagi setiap individu.

Faktor-faktor politik, ekonomi, dan agama yang awal mulanya menjadi penyebab imigrasi ke Amerika Serikat, lambat laun hanya alasan faktor ekonomi (Hoffsommer, 1965). Sistem ekonomi kapitalisme Amerika Serikat dimana organisasi ekonomi berdasarkan milik pribadi yang pemanfaatanya untuk memperoleh keuntungan (Winardi, 1990) dianggap sebagai kesempatan luas untuk memperbaiki taraf hidup. Jika saat para pendatang sampai di Ellis Island dan menjejakkan kakinya di tanah baru sebagai imigran, seperti yang dialami tiga belas koloni pertama di benua baru tersebut, tidak semuanya mulus tanpa rintangan. Tantangan baru karena medan yang keras harus dihadapi dan adaptasi diantara kaum imigran tidaklah mudah, hingga terjadinya Civil War antara uatara dan selatan di tahun 1861-1865 yang mempertentangkan perbudakan. Abraham Lincoln akhirnya menerbitkan “Emancipation Proclamation” tahun 1863 dan baru terlaksana dua tahun kemudian. Bahkan setelah perbudakan itu dihapus, kaum Kulit Hitam masih mengalami segregasi, prasangka, diskriminasi, dan rasisme. Persamaan hak seperti yang tercantum di Deklarasi Kemerdekaan masih kelam dan jauh dari realita. Martin Luther King, Jr. penggiat hak-hak sipil, menggaungkan “I Have A Dream” sebagai sebuah pidato fenomenal di tahun 1963 yang menyatakan bahwa seratus tahun setelah penghapusan perbudakan pun orang kulit hitam masih belum merdeka. King menyampaikan optimismenya dan impiannya bahwa suatu saat akan terjadi kebebasan dan persamaan hak bagi setiap orang seperti tercantum di Deklarasi Kemerdekaan. Inilah paradoks utopia persamaan hak dan perlindungan yang tercantum di Deklarasi Kemerdekaan yang belum juga dirasakan oleh warganegara yang mayoritas kaum imigran ini.

Salah satu peristiwa besar adalah saat warga negara Amerika Serikat keturunan Jepang, yang berdasarkan perintah Presiden Franklin Delano Roosevelt No. 9066 di tahun 1942, dipaksa tinggal di Internment Camps di California tahun 1942-1945, merupakan bukti penyimpangan Konstitusi. Imigrasi Orang Jepang ke Hawaii dimulai tahun 1868 pada saat Restorasi Meiji ketika Hawaii membutuhkan buruh kontrak untuk dipekerjakan di perkebunan tebu. Namun setelah masa kontrak selesai, mereka berpindah ke California, New York, dan negara-negara bagian lainnya. Imigran Jepang yang berada di California sejak tahun 1886 semula sebagian besar adalah buruh tani (Clatchy, 1979) tetapi lambat laun memiliki tanah pertanian luas dan usaha perdagangan. Diskriminasi, atau tepatnya tindakan rasisme dipicu oleh pengeboman terhadap Pearl Harbor oleh Jepang di akhir tahun 1941 yang berdampak pada pengeboman terhadap Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 hingga menebarkan kebencian terhadap Asia, terutama Jepang. Hal ini ditambah lagi dengan kecemburuan sosial pada etnis Jepang yang tekun, diam, bekerja keras dan dianggap sebagai ancaman terhadap supremasi orang kulit putih. Mereka disebut the Yellow Peril (Daniels, 1977), memberi stigma warna kulit dan kebencian terhadap warganegara Amerika keturunan Jepang.

Rasisme di Amerika Serikat telah melewati sejarah panjang diawali dengan kaum Indian dan perbudakan dari Afrika. Montagu (1972) menyataan bahwa rasisme merupakan pembenaran kepercayaan dan tindakan antisosial dalam relasi antar kelompok berdasarkan kondisi fisik. Anggapan salah mengenai ras menurut Daniels (1977) adalah bahwa Orang kulit putih, terutama kelompok WASP (White Anglo Saxon Protestant) dan berasal dari Eropa, menganggap bahwa imigran Jepang merupakan ras yang lebih rendah, dengan ciri-ciri fisik maupun bahasa, agama, serta kebudayaan yang sangat berlainan dengan Orang kulit putih.  Saat James Madison menjadi Ketua Kongres, ia mengajukan sepuluh Amandemen Konstitusi 15 Desember 1791, dan ketigabelas negara bagian Amerika Serikat meratifikasinya sebagai the Bill of Rights (Piagam Hak-hak). Di Amandemen XIV disebutkan bahwa setiap warganegara berhak atas perlindungan dan proses hukum berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat. Namun yang terjadi pada warganegara Amerika keturunan Jepang di Perang Dunia Kedua adalah penyimpangan terhadap Amandemen tersebut. Prasangka dan diskriminasi terjadi pada Nisei and Sansei, keturunan Jepang, saat ditempatkan di internment camps. Selama Perang Dunia II, kesetiaan Oarng Amerika Keturunan Jepang terbukti saat generasi Nisei ikut di medan perang sehingga akhirnya Presiden Delano Roosevelet dalam pidatonya tanggal 21 November 1944 (Takaki, 1989) mengakui kesetiaan warganegaranya yang keturunan Jepang dan mengembalikan hak-hak mereka sebagai warganegara karena tidak terbukti bahwa mereka melakukan tindakan melawan negara.

Pandemi Covid-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China Desember 2019 dan menyebar luas ke seantero dunia, mengakibatkan tindakan rasisme terhadap Orang Asia di Amerika Serikat. Tindakan rasisme tersebut merupakan efek dari peristiwa, yang kejadiannya terus berulang kepada etnis tertentu di negara tersebut. Dipicu oleh pernyataan Presiden Donald Trump bahwa virus corona 2019 adalah dari China atau “the Chinese virus”, stigma terhadap China dan orang China mulai berdampak tidak hanya berupa penghinaan, perundungan, diskriminasi, pelecehan, tetapi juga serangan verbal dan fisik terjadi ditujukan kepada minoritas Asia. Garcia (2021) mengungkapkan telah terjadi 3800 serangan rasisme terutama terhadap perempuan China di Amerika Serikat yang dianggap sebagai target yang mudah dan kaum lemah.

Feder (2020) mengajak untuk berperilaku anti rasisme dan menyuarakannya di publik mengenai perilaku rasisme yang salah dan merugikan sesama warganegara. Ia menyitir ungkapan Steven O Roberts, psikolog dari Stanford University, bahwa “American racism is alive and well” antara lain karena hirarki, kekuasaan, media dan pasivitas. Jika WASP ada di pucuk hirarki, berarti ada posisi-posisi yang lebih rendah yang menjadi objek tindakan rasisme. Kekuasaan juga menjadi faktor suburnya rasisme, dapat dilihat pada insiden George Floyd di Minneapolis tanggal 5 Mei 2020 dimana polisi berkulit putih yang berlutut menekan leher dan punggungnya selama sembilan menit 28 detik yang menyebabkan kematiannya setelah mengaduh “tidak bisa bernafas.” Faktor media juga mendukung supremasi kulit putih dan menekan kulit berwarna hingga tindakan rasisme dianggap wajar.  Pasifnya masyarakat terhadap pembiaran rentetan tindakan menyebabkan pembenaran atau kewajaran tindakan rasisme jika berulang kali terjadi.

Masyarakat Amerika Serikat yang terdiri dari berbagai ras dan kelompok etnik dari seluruh dunia membentuk suatu kemajemukan budaya. Hoffsommer (1965) mengartikan sebagai bentuk keanekaragaman budaya dengan perbedaan ras, kelompok etnik, status desa dan kota, pekerjaan, penghasilan maupun tingkat hidup. Keanekaragaman yang dimaksud adalah bahwa kebudayaan Amerika bukan merupakan kebudayaan tunggal atau homogen, melainkan plural atau heterogen (Degler, 1979). Keanekaragaman itu diperlihatkan dengan adanya bermacam-macam bahasa, makanan, agama, perayaan, surat kabar, restoran, buku, corak pakaian, tarian, dan bentuk karya sastra serta teater. Sedangkan Fawcett (1987) dalam teorinya kemajemukan budaya menggambarkan keanekaragaman dalam kebudayaan Amerika timbul dari hasil penyesuaian diri para pendatang baru dan penduduk lama. Di sini pendatang baru yang kemudian menetap sama sekali tidak kehilangan kebudayaan asalnya akibat proses akulturasi, tetapi masih terdapat cirri-ciri khas mereka yang berbeda-beda yang membuat kebudayaan Amerika beragam. Dengan demikian yang terjadi bukan “melting pot” melainkan “salad bowl” yang masih teridentifikasi elemen-elemen di setiap kebudayaannya.

Untuk menyudahi perilaku rasisme ini Feder (2020) menyarankan agar masyarakat proaktif terhadap isu rasisme dan memperjuangkan anti rasisme. Kampanye terhadap anti rasisme perlu dilakukan dan tidak bisa ditawar lagi antara lain melalui sikap pemerintah, penegakan hukum tentang persamaan hak dan hukuman bagi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pendidikan di sekolah.  Amerika Serikat sebagai negara multikultural dan negara imigran harus terus memperjuangkan persamaan hak dan perlindungan kepada setiap warganegaranya. Semoga negara-negara lain yang multikultural, termasuk Indonesia, belajar dari isu-isu sensitif yang terjadi yang dapat memicu tindakan rasisme dan melakukan tindakan antisipatif dan preventif sekaligus pengajaran dan penyadaran kepada warganegaranya bahwa setiap kelompok etnis berhak untuk mempertahankan ciri khasnya sambil menggaungkan persatuan bangsa dan negara yang dikenal sebagai “E Pluribus Unum”di Amerika Serikat atau Bhineka Tunggal Ika di Indonesia.

==========

Penulis:  Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta

Komentar ANDA?