KUPANG. NTTsatu.com – Pengacara senior asal Boto, Lembata, NTT, Petrus Bala Pattyona menilai, penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Goris Krova sangat tidak tepat dan mengada-ada.
“Penangkapan dan penetapan Goris Krova sebagai tersangka pelaku tindak pidana Perikanan sebagaima dimaksud dlm pasal 88 Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan tidak tepat dan mengada-ada. Sebab unsur utama dari pasal tersebut dan sebagai barang bukti adalah ikan bukan insang ikan,” tulis Petrus melalui emailnya kepada redaksi NTTsatu.com yang diterima Jumat, 25 November 2016.
Dia menjelaskan, pasal 88 itu pada intinya menyatakan setiap orang yang dengan sengaja memasukan, mengeluarkan, mengadakan, dan atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan atau lingkungan sumber daya ikan, ke dalam atau keluar wilayah pengelolahan perikanan RI dipidana 6 tahun dan denda 1,5miliyard.
Menurutnya, unsur utama dan terpenting dari pasal tersebut adalah ikan, sehingga harus dipertanyakan adalah adakah barang bukti ikan yang dlindungi dalam undang-undang dan sudah ditetapkan oleh Menteri Kelautan, Perikanan. Bila unsur, atau objek dan sebagai barang bukti ikan itu sendiri tidak ada maka sudah dapat dipastikan tidak ada tindak pidana perikanan.
Lebih lanjut Petrus mengatakan, unsur lain dari pasal 88 adalah setiap orang dalam undang undang perikanan adalah Nelayan yang dikategorikan ada 2, yaitu nelayan yang dimaksud dlm pasal 1 butir 10 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, dan juga ada istilah nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau unsur ikannya sudah terpenuhi barulah dilihat apakah Goris Krova termasuk semua nelayan Lamalera dalam menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dijual dengan cara barter atau pneta alep.
“Terlalu berlebihan untuk menetapkan nelayan dan nelayan kecil termasuk semua orang Lamalera melanggar undang-undang Perikanan, karena dalam undang-undang tersebut juga mengatur kearifan lokal dan tradisi masyarakat setempat sesuai adat dan budaya. Unsur lain dari pasal tersebut adalah merugikan masyarakat. Pertanyaannya masyarakat mana yang dirugikakan oleh perbuatan Goris atau seluruh nelayan Lamalera?,” tegasnya.
Dunia sudah mengenal Lamalera dengan budaya, tradisi penangkapan ikan paus yang diturunkan turun temurun dan disepakati hanya jenis tertentu yang bisa ditangkap, dilakukan dengan seremoni dan kepercayaan masyarakat bahwa juru tikam dan semua nelayan yang buruan kehidupan sosial dalam hal apa saja harus baik dan tak bercela karena diyakini bila adalah masalah sosial yang belum diselesaikan makan akan musibah.
Demikian pun hasil tangkapan sudah diatur cara pembagian dan bagian2 mana yang diterima pihak2 tertentu, termasuk para janda dan yatim piatu. Bila cara pembagian melanggar tradisi sudah pasti ada musibah dan harus dilakukan seremoni untuk memulihkan keadaan ini.
Dikatakannya, bahwa unsur-unsur delik sudah pasti tidak terbukti apalagi Goris dan seluruh nelayan Lamalera masuk kategori nelayan kecil dalam undang-Undang Perikanan maka tidak ada pilihan lain untuk melepaskan dan tidak boleh menangkap nelayan nelayan Lamalera dengan dalih melanggar hukum.
Untuk diketahui, Goris Krova (61) ditangkap di depan Hotel Palm Indah beberapa saat setelah tiba dari Lamalera. Beberapa jam sebelumnya, Gorys ditelpon Akang Bandung yang meminta Goris membawa cukup banyak. Karena tidak memiliki insang pari dalam jumlah yang banyak, Goris lalu mengumpulkan dari beberapa nelayan lain yang juga keluarganya.
Di hari naas itu, Goris diminta datang sendiri ke hotel Palm Indah dengan bawaan sekitar 25 Kg ikan pari yang disimpannya dalam 6 karung. Tak menaruh curiga, Gorys menuju hotel dengan bus yang ditumpanginya dari Lamalera. Namun, saat bertemu dan Akang Bandung sedang menghitung harga yang harus dibayarkan itulah, polisi menangkapnya. Dua orang lain, Akang Bandung dan temannya yang menemui Goris langsung menghilang dan tidak pernah dilihatnya lagi.
Polisi ketika itu bersama seorang perempuan bernama Irma dari Wildlife Unit Crime yang mengaku konseren dengan perlindungan hewan langka seperti Pari Manta Oseanik, Hiu Paus dan hewan lainnya yang dilindungi oleh hukum internasional maupun nasional. Pihaknya bekerja sama dengan kepolisian setelah mendapat laporan dari warga. Operasi tersebut merupakan tindak lanjut dari MOU bersama dengan 4 Polda termasuk Polda NTT. (bp/*)