Foto: Pater Bernadus Bode, pastor pertama yang melayani penyebaran agama Katolik di Lembata

Sosbud

Pelor dan Sina, Dua Kuda Yang Berjasa Bagi Lembata

By Bonne Pukan

August 27, 2017

(Kisah Nostalgia ini ditulis oleh Thomas Ataladjar, seorang penulis/jurnalis asal Lembata yang   berdomisili di Jakarta. Kisah ini tentang kiprah para misionaris asing di Lembata yang dulu disebut Lomblen) dengan menunggang kuda untuk melayani umat Katolik di pulau tersebut)

 

SEKARANG, pastor disapa dengan sebutan ”Romo” atau “Pater”. Dulu semua pastor di Lomblen, disapa ”tuan”. Di Lerek ada tuan Conradus Beeker, tuan Johanes Knoor dan tuan Nico Strawn. Ada tuan Petrus Geurts di Aliuroba, tuan Gulielmus van de Leur di Hadakewa, tuan Lorens Hambach di Waipukang, tuan Bern de Brabander dan tuan Eugene Schmitz di Lewoleba, tuan Bernhard Bode dan tuan Arnoldus Dupont di Lamalera, tuan Kurt Trummer di Mingar, tuan Yoseph Scheidler di Kalikasa dan lain-lain.

Waktu masih kecil di Sekolah Rakyat, kami sangat senang kalau tuan-tuan ini datang ke kampung saya, Waiwejak atau ke paroki Lerek. Semua anak berlarian menjemput sambil teriak : ”Tuan oling…..tuan oling!” Semua tuan ini naik kuda tunggang yang tegap, lengkap dengan pelana kulit (sela) yang bagus dan empuk. Tidak seperti kuda di rumah yang ditunggang tanpa sela (pelana). Atau paling banter punggung kuda dikasih alas dengan selembar karung goni, langsung nangkring di atasnya. Saat itu jalan oto belum ada. Kalau mau lihat oto unimoc atau oto roda tiga, harus jalan kaki ke misi Lewoleba.

Sebagai anak kampung, kalau “tuan” datang ke kampung, pasti langsung lari ke pastoran. Nonton orang putih bermata biru itu. Syukur-syukur dibagi gula-gula atau permen. Ia punya “kelekat”, pelayan yang setia melayaninya. Makanannya enak-enak. Selalu nasi putih dengan daging ayam, dadar telor dan roti. Hampir tidak pernah saya lihat tuan-tuan ini makan nasi jagung, ipei dan makajawa (kacang hutan), ubi kayu dan nome atau togobehe (labu). Kalau kelekatnya potong ayam buat tuannya, ceker, sayap, usus, leher dan kepala ayam pasti selalu dibuang. Sebagai anak kecil kita hanya bisa nonton sambil telan luda lihat tuan bule ini nikmati santapannya yang enak-enak.

Suatu saat sepulangnya saya dari nonton tuan makan di pastoran, mama saya bertanya. Ama, kalau nanti besar mau jadi apa? Saya langsung jawab mau jadi “tuan”. Kenapa mau jadi tuan, Ama? tanya mama. “Karena tuan itu kemana-mana selalu naik kuda, punya kelekat, makanannya enak-enak, selalu makan daging ayam dan punya banyak gula-gula (permen). Gara-gara pingin jadi “tuan” yang selalu makan enak dan naik kuda ke mana-mana itulah maka setamat Sekolah Rakyat, saya akhirnya masuk seminari, walau akhirnya juga tak kesampean jadi ”tuan”.

Cerita tentang kuda, saya mencatat dua ekor kuda yang punya jasa besar buat tanah Lomblen. Kuda pertama namanya “Sina”.

 

Kuda Sina

Kuda yang diberi nama Sina ini merupakan kuda milik Tuan Bode pastor paroki pertama Lamalera sekaligus untuk seluruh Lomblen. Kuda ini terkenal kuat tapi sangat garang. Kuda Sina ini menjadi sahabat setia yang sangat berjasa membawa Tuan Bode sebagai gembala umat, berpatroli mengunjungi dan melayani umat di seluruh pelosok tanah Lomblen. Dari Lamalera hingga Kalikur dan Buriwutung di ujung Kedang, dari Ile Ape hingga ke kawasan Painara di Tanjung Atadei; dari Ujung Mingar hingga Leragere, semuanya dijelajahi.

Kuda Sina berperan besar memperlancar karya pastoral Tuan Bode sebagai lokomotif yang menarik seluruh gerbong karya misinya, baik penyebaran iman katolik, pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan cultural dan membawa peradaban baru di Tanah Lomblen. Sejak tahun 1920 kuda Sina setia menemani Tuan Bode hingga tahun 1951 saat “Rasul Tanah Lomblen ini kembali ke negerinya, Belanda, karena sakit.

 

Kisah Kuda Pelor

Kuda kedua yang juga keliling bumi Lomblen bersama pemiliknya, namanya “Pelor”. Dari namanya Pelor, kuda ini dipastikan berlari kencang melesat bagai peluru. Dan kuda Pelor ini muncul seola menggantikan peran kuda ”Sina” milik Tuan Bode mengitari Lomblen, dengan penunggang dan misi perjuangan yang berbeda.

Kuda Pelor ini tampil mengiringi awal perjuangan Rakyat Lomblen/Lembata, beberapa tahun sebelum dicetuskannya “Statement 7 Maret 1954”.

Saat itu, sekitar tahun 1950, walaupun Indonesia telah merdeka dengan semboyan sekali merdeka tetap merdeka, namun bagi Lomblen semboyan ini dirasakan, tidak berlaku. Karena walaupun Indonesia sudah merdeka tapi Lomblen merasa masih terjajah. Lomblen merasa terkungkung dalam sistem pemerintahan serta lilitan kekuasaan yang tidak menguntungkan bagi Lomblen. Masyarakat Lomblen terpecah dua menjadi wilayah Paji dan Demong, di bawah kekuasaan dua swapraja yang berbeda, Larantuka dan Adonara( Sagu).

Hal ini membuka mata pejuang-pejuang Lomblen, baik yang berada di Lomblen maupun yang di luar Lomblen yang semakin mengerti dan memahami secara baik tujuan perjuangan RI dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Rakyat Lomblen ingin turut serta mengisi kemerdekaan RI, untuk mencapai masyarakat Lomblen yang aman, tenteram, sejahtera, damai dan adil makmur sesuai cita-cita proklamasi RI 1945.

Para tokoh Lomblen waktu itu juga sadar bahwa usaha dan perjuangan untuk membebaskan diri dari kungkungan Paji-Demong yang jadi momok rakyat Lomblen ini, harus dilakukan secara cerdas. Cita-cita rakyat Lomblen harus diperjuangkan melalui saluran perjuangan berupa partai politik. Mereka tidak menghendaki perjuangan ini dilakukan lewat cara kekerasan yang justru hanya akan menuai kekerasan juga. Maka perjuangan politik pun mulai bergulir Tanah Lomblen.

Atas dasar keprihatinan mendalam akan situasi yang terjadi di tanah Lomblen tersebut, pada tahun 1951 tampilah sosok guru muda Sekolah Rakyat berusia 25 tahun, yang saat itu jadi guru bantu di desa Lamatuka (1951-1953). Guru bantu yang juga jadi ketua Ranting Partai Katolik Lomblen Utara ini terusik hatinya ingin berbuat sesuatu bagi perbaikan nasib masyarakat nusa Lomblen. Sejak tahun 1951 ia mulai keliling Lomblen, mengunjungi desa-desa di Lomblen.

Dengan kudanya bernama “Pelor”nya, Petrus Gute Betekeneng, guru muda bujangan ini mulai berkeliling ke 6 Hamente yaitu Kedang, Lewotolok, Lewoleba, Kawela, Lamalera, dan Lebala. Hati nuraninya kian terusik bagaimana bersama masyarakat Lomblen lainnya bisa melepaskan diri dari kekuasaan Paji-Demong yang dipaksakan buat Rakyat Lomblen ini.

Tujuan safarinya ini untuk sebuah sosialisasi sekaligus meyakinkan para Kapitan, Kakang, para kepala desa/kepala kampung, para kepala Sekolah Rakyat dan guru bantunya, para Pastor Paroki dan imam Mesjid, para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, agar bersatu membebaskan diri dari sistem Paji Demon yang melilit Lomblen selama itu, dan bebas dari kedua Swapraja Larantuka dan Andonara (Sagu) yang memecah belah wilayah Lomblen. Ia ingin menggalang kekuatan dan membangun semangat persatuan rakyat Lomblen untuk menghilangkan sistem Demon dan Paji yang jelas-jelas merugikan rakyat Lomblen. Bersama seluruh rakyat Lomblen ia ingin seluruh rakyat Lomblen bisa berjuang bersama, agar Lomblen mempunyai pemerintahan sendiri sebagai langkah mewujudkan cita-cita Proklamasi Negara RI 17 Agustus 1945.

Ketika pindah jadi guru bantu di Kalikasa (1953-1955) guru muda lulusan Standar School di Larantuka 1942 dan Opleiding Volks Onderwyzer (OVO) 1944 ini, tetap tak kendor semangatnya terus bersafari keliling Lomblen. Akhirnya pada 7 Maret 1954, para pejuang Lomblen ini mencetuskan “Statement 7 Maret 1954” di Hadakewa.

Tentang kuda Pelor ini, Bapak Petrus Gute Betekeneng dalam sebuah wawancara tahun 1994 bercerita. “Pelor merupakan kuda kesayangan saya. Kuda ini sangat kuat dan larinya kencang. Namun kalau membawanya ke mana-mana, saya juga harus tahu di desa mana kuda Pelor ini bisa minum. Soalnya tidak semua desa, mata airnya berada dekat kampung. Kalau saya dari Hadakewa mau pergi ke hamente Labala, saya sudah pastikan bahwa Pelor akan minum di Karangora. Dan saat mendaki di kawasan Habhipet antara Karangora menuju Atalojo, saya harus turun jalan kaki sambil menuntun Pelor. Dari Atalodjo dan Bauraja, saya harus mampir ke Waiwejak dulu. Selain untuk ketemu kepala desa, temukung dan kepala-kepala suku serta kepala Sekolah Rakyat dan guru-guru bantunya di sana, juga kesempatan istirahat buat Pelor. Kuda ini dibawa ke Waikerata untuk dikasih minum dan dimandikan, sebelum melanjutkan perjalanan jauh ke Lewokoba, Watuwawer, Lerek, Atawolo dan kemudian turun ke Labala. Demikian juga saat ke desa-desa lain di Lomblen,” tuturnya.

Kisah kuda Pelor ini, juga dituturkan oleh seorang adiknya Drs. Stefanus Sengaji Betekeneng tahun 1999 di kantor Perwakilan NTT, Tebet, Jakarta Selatan, saat bersama Delegasi Rakyat Lembata memperjuangkan Lembata untuk meraih otonominya. Mantan Pembantu Bupati Lembata ini menuturkan dua kisah khusus, tentang kuda pelor ini.

“Pertama, dulu di tahun 1950-an. Kalau kuda Pelor ini ikatannya terlepas dan Pelor menghilang, kami semua repot dan dibuat sibuk. Kalau pelor lari ke padang atau masuk hutan, kami tidak begitu kuatir.Tapi kalau masuk kebun orang dan makan singkong atau tanaman orang, kami kuatir bisa dipanah atau ditangkap pemilik kebun, maka kami harus siap membayar denda ganti rugi. Kakak saya sangat keras dan galak. Sebagai adik saya diperintahkan kakak untuk segera pergi mencarinya sampai dapat. Kadang-kadang sepanjang malam jelajahi hutan dan padang dan tidak boleh pulang ke rumah kalau belum ketemu. Ya….resiko jadi adik, siap untuk disuruh-suruh”. tuturnya.

Kisah kedua, saat Drs.Stefanus Sengaji Betekeneng memimpin Delegasi Rakyat Lembata ke Jakarta tanggal 25 Maret 1999 dengan KM.Sirimau dari Larantuka ke Tanjung Priok bersama Bapak Alex Murin, Rasyidin Rasan, Agus Baro Wuran dan Vian Burin.

Pak Stef bercerita: “Sebelum berangkat, pada 22 Maret 1999, saya dipanggil kakak (Petrus Gute Betekeneng). Kakak menyerahkan kepada saya sebuah nota. Nota ini berisi tiga pesan penting bernada ultimatum sebagai berikut :

  1. Dengan semangat dan tanggung jawab mencari kuda “Pelor” sampai dapat, kalau tidak, tidak boleh pulang ke rumah, sehingga semalam suntuk harus bermalam di hutan dan paginya kembali bersama kuda Pelor.
  2. Sebagai Ketua Delegasi yang adik pimpin, kakak harap semangat dan tanggungjawab semangat tim Delegasi yakni : ”Tidak boleh kembali ke Lembata, kalau tidak membawa hasil Otonomi Lembata”. Walaupun dana yang disumbangkan Rakyat Lembata sangat minim untuk biaya di Jakarta, tetapi Tuhan dan Lewotanah menyertai Delegasi.
  3. Usahakan kerjasama Anggota Tim Delegasi dan bergabung dengan dengan Saudara-Saudara kita orang Lembata di Jakarta antara lain Sdr.Drs.Anton Enga Tifaona Cs, untuk bentuk Tim Gabungan Rakyat Lembata dan Anggota DPR kita Sdr. Drs. Piter Boliona Keraf.

Hanya ini saran kakak dan harap adik bersama Tim Delegasi tolong diperhatikan. Terima kasih dan Selamat Berjuang.

Singkat kisah, akhirnya tahun 1999 Otonomi Lembata berhasil di raih.

Demikian kisah dua ekor kuda, Kuda Sina dan Kuda Pelor yang masing-masing punya andil dan jasa bagi Lembata. Kuda Sina punya peran dan jasa membantu Tuan Bode dalam karya Penyebaran Iman, Pendidikan dan Peradaban baru di Lomblen. Thomas da Costan Kuda Pelor yang punya andil membantu kelancaran tugas Tokoh Pejuang Lembata, Petrus Gute Betekeneng yang bersama Rakyat Lembata tiada henti memperjuangkan Lembata Otonomi.

Saat mengakhiri tulisan ringan tentang kuda pelor ini saya kembali teringat sebuah pertanyaan, saat wawancara dengan bapak Petrus Gute Betekeneng tahun 1994 yang kembali saya tanyakan pada 9 Maret 2011.

Sejak tahun 1944 Bapak jadi guru SRK Lamalera hingga terakhir guru SDK Lewoleba I tahun 1987. Tercatat 13 kali Bapak selalu pindah-pindah tempat. Dari Lamalera, ke Lokea lalu Lewolaga lantas nyeberang ke Hinga di Adonara dan kembali ke sejumlah desa di Lomblen. Status Bapak sebagai guru, kebanyakan guru bantu. Jabatan juga jarang naik. Jelas ini mempengaruhi kebutuhan ekonomi keluarga. Selain sangat sering pindah, keluarga juga sering ditinggal saat Bapak terjun dalam perjuangan Lomblen ini. Walau Ibu Elisabeth Letek Purelolon dan anak-anak pasti punya andil besar dalam mengikuti gerak perjuangan ini, namun ini jelas menuntut pengorbanan teramat besar dan berat tersendiri bagi keluarga. Dalam kondisi serba sulit seperti itu, ternyata kesembilan anak Bapak semuanya berhasil mandiri.

Apa sebenarnya kiat dan motto hidup Bapak sekeluarga?

Putera sulung Bapak Joseph Pati Keluli Sengaji Betekeneng dan ibu Maria Tadahali Betekeneng kelahiran Atawatung Lamagute 1 April 1924 ini memandang saya dalam-dalam lalu hanya menjawab singkat :” TUHAN MENYERTAI KAMI, DAN ITU SUDAH CUKUP***

Komentar ANDA?