Oleh: Dr. Thomas T. Pureklolon. M.Ph., MM., M.Si
WAKTU terus berlalu dan dunia keseharian pun bisa terus berubah. Manusia entah secara individual atau kolektif berada dalam proses mencari penyempurnaan dirinya. Perjuangan menuju penyempurnaan diri adalah suatu tugas yang tidak pernah selesai, dan terjadi dalam tata ruang dan dinamika waktu.
Penyempurnaan diri adalah kerinduan asal setiap insan, di segala tempat dan pada segala zaman. Tanpa kerinduan akan kesempurnaan diri, maka dapat dibayangkan, eksistensi manusia sebagai manusia akan mati, punah, menjadi hampa, dan absurd. Atas nama penyempurnaan diri ini, maka mulailah manusia masuk dalam suatu usaha menenun sajarah hidup dan kehidupannya, di mana pun dia berada dalam mengungkapkan eksistensinya.
Pergulatan dan pergumulan itu melahirkan peradaban. Peradaban itu membutuhkan forma, bentuk pengungkapan atau ekspresi tertentu. Forma dan bentuk ekspresi itu sedemikian pentingnya agar manusia mempunyai landasan pijak serta titik berangkat yang kokoh, kuat dan mempunyai orientasi ke suatu horizon tertentu secara memadai.
Menyadari manusia sebagia makhluk multi dimensi, maka tak dapat disangkal bahwa ekspresi kehidupan meliputi semua dimensi itu. Untuk menyebut beberapa contoh, kita lihat beberapa aspek ini:
– Untuk membentuk, dan membangun manusia yang cerdas, terampil dan berbudi pekerti luhur, maka lahirlah lembaga pendidikan (baik lembaga formal maupun non formal).
– Untuk menata, relasi antara manusia dengan Sang Pencipta maka lahirlah lembaga-lembaga agama atau aliran kepercayaan.
– Untuk menata, membangun dan mengatur suatu kehidupan bersama, agar manusia tidak garang satu sama lain, dan juga manusia tidak menjadi mangsa bagi sesama yang lain seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, homo homini lupus; (Manusia menjadi serigala bagi yang lain ), maka lahirlah model kehidupan bersama yang disebut negara; yang mungkin pada akhirnya perang semua melawan semua ( bellum omnium contra omnes ) atas seluruh claim hak dan kewajiban.
Memang, nyatalah bahwa setiap dimensi kehidupan manusia perlu ditata dan diberi bentuk, diberi forma yang jelas, sehingga manusia bisa mewujudkan eksistensi dirinya sebagai manusia, yang memiliki cipta, rasa dan karsa yang luhur; demikian kata kunci dari Kuncoroninggrat dalam percakapannya tentang budaya manusia. Sementara waktu terus berlalu. Manusia hidup dalam rentang waktu dan tata ruang tertentu. Evolusi kesadaran manusia (warga negara) baik secara individual maupun secara kolektif terus berkembang, menyebabkan pola pikir cara memandang dunia terus berubah.
Pembaharuan dan Harapan
Harapan selalu ada pada manusia dan harapan itu, sosoknya adalah terwujudnya keadilan dan perdamaian sejati bagi seluruh warga negara. Harapan pada hakikatnya mendorong, manusia untuk pergi ke masa depan, untuk merealisasikan hal-hal yang mutunya lebih baik dari apa yang telah terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Dengan munculnya gerakan reformasi misalnya, dalam bidang sosial politik, manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga negara mulai membangun suatu harapan baru dalam berbagai aspek kehidupannya. Harapan baru ini mulai berkembang ke aspek yang lain seperti sosial ekonomi, sosial budaya, sosial religius maupun bidang-bidang lain yang tidak sempat dideretkan di sini.
Adalah benar bahwa di mana ada kehidupan di sana ada harapan. Benar pula bahwa harapan adalah awal dari setiap rencana, permulaan setiap cita-cita, awal dari setiap tindakan dan seterusnya. Di atas harapanlah kita dapat membangun dan memulai apa saja yang dianggap luhur, baik, mulia dan patut terus dikejar. Tanpa harapan kita tak pernah membangun suatu apa pun, kecuali kalau kita sudah gila. Tanpa rencana konkret, harapan tidaklah lebih dari sekedar ilusi utopis sang pemimpi, yang sedang mengabaikan sebuah investasi besar dalam setiap derap langkahnya.
Dalam pemahaman seperti terganbar di atas, maka harapan perlu diterjemahkan dalam rencana dan rencana harus menjelma dalam tindakan konkret. Sebab, harapan tanpa rencana adalah ilusi, rencana tanpa harapan adalah membangun sebuah rumah tanpa dasar, rencana tanpa aktus nyata adalah sebuah mimpi. Kalau ini yang terjadi, maka segala sesuatu tidak akan pernah mempunyai nilai, selain kesia-siaan atas kesia-siaan. Malam sudah lewat! Hari hampir siang, fajar Pembaharuan mulai menyingsing, mari kita bangun dari mimpi-mimpi buruk!
Pembaharuan dan Keadilan
Keadilan disini saya pahami sebagai suatu kualitas, suatu nilai, suatu keutamaan yang universal. Ia merupakan sesuatu yang inheren dan esensial pada eksistensi manusia. Sebagaimana manusia adalah makhluk multi dimensi, maka keadilan sudah seharusnya menjadi dasar dari setiap ikhtiar, dan tindakan manusia dalam berbagai dimensi kehidupan.
Keadilan tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri. Tidak pernah ada keadilan demi keadilan itu sendiri. Keadilan adalah ‘sebuah jembatan’ bagi suatu yang lebih luhur dan mulia dalam hidup manusia yaitu: Perdamaian dan kebaikan (pax et bonum). Keadilan mendorong manusia untuk merencanakan, mengejar, dan mengusahakan apa yang baik bagi dirinya sendiri dan bagi sesamanya. Di mana kebaikan berada, di situ lahirlah perdamaian.
Sadar atau tidak, perdamaian inilah kerinduan terdalam dari setiap pergulatan dan pergumulan hidup manusia, tua-mudah, besar-kecil, anak-anak dan orang dewasa, dalam upaya mencari penyempurnaan dirinya sebagai manusia, yang berharkat dan bermartabat dihadapan Sang Pencipta. Manusia yang berharkat dan bermartabat sebenarnya adalah eksistensi manusia itu sendiri dalam kesempurnaannya.
Contoh konkret dalam pemahaman di atas: The founding fathers negara kita sungguh menyadari kerinduan eksistensial ini. Karena itu dalam dasar Negara Pancasila, dua sila yang secara langsung dan tegas berbicara tentang keadilan Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-2 dan sila ke-5).
Dalam perjalanan sejarah bangsa, ternyata untuk mengaktualisasikan rasa keadilan itu tidak mudah. Bahkan keadilan itu sudah didistorsi dengan penafsiran yang sempit demi pamrih tersembunyi yang nota bene tertuju kepada kepentingan yang egois. Ketika distorsi keadilan muncul, serentak pula ketidakadilan muncul. Di mana ketidakadilan mulai, di situ keserakahan mulai meraja. Di mana keserakahan mulai meraja, di situ penderitaan dan kemalangan mulai menggerogot.
Dalam penderitaan dan kemalangan ini, orang bisa di hadapkan dengan dua kemungkinan ini: Pertama, orang diam (pasif), bukan karena setuju tetapi justru karena ia tidak memiliki kewibawaan atau tidak mempunyai kuasa dan kekuatan yang cukup untuk “melawan” demi membela diri. Orang akan ditindas dan dibelenggu dalam segala kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki. Kemungkinan kedua, orang bisa saja mengambil sikap aktif dengan bangkit melawan ketidakadilan itu. Kalau para penentu kekuasaan menganggap ini sebagai sesuatu yang merongrong, mengganggu stabilitas dan lain-lain, maka akan terjadi benturan yang menyebabkan disintegrasi atau sebuah kekuatan yang muncul sosoknya, tetapi dalam keadaan diam.
Namun, itu semua, semacam positive desintegration, yaitu suatu kehancuran demi sesuatu yang lebih baik, lebih sempurna dari yang terdahulu.
Keadilan, mempunyai rumusan yang supel, tidak berbelit-belit namun sarat makna, yakni: Memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya (meminjam definisi Filsuf Plato dalam karyanya yang terkenal:Politeia). Orang baru sampai pada sikap ini kalau ia memiliki hati nurani yang jujur, bersih, lurus dan bening. Manusia yang berkeadilan melihat orang lain sebagai sesamanya, bukan lawan yang harus disingkirkan, apalagi musuh yang harus dihabisi, dilenyapkan dari pandangan matanya.
Pembaharuan, yang tidak lain adalah upaya menata kembali kehidupan manusia (negara) dalam segala kompleksitas dimensinya mengundang setiap warga negara untuk memberi jawaban yang pas, selaras dengan berbagai tuntutan dan kebutuhan zaman. Satu tuntutan dasariah yang tak pernah boleh kita lupa adalah menumbuhkan kembali semangat dan rasa keadilan, sebagaimana tercantum dalam dasar negara kita. Kita harus kembali ke semangat asali para bapa bangsa, sambil terbuka pada tuntutan kebutuhan zaman yang terus berubah.
Pembaharuan adalah sebuah tugas mulia, yang melahirkan kewajiban etis setiap warga negara, suatu kewajiban untuk senantiasa pandai membaca dan menelaah tanda-tanda zaman, serta berani pula memberi jawaban kreatif atas segala tantangan dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. Pembaharuan itu suatu keharusan bagi zaman kita.
Pembaharuan dan Tindakan Manusiawi
Percakapan mengenai kebenaran dan keadilan harus ditempatkan dalam cakrawala tindakan manusiawi. Cakrawala manusiawi membuka kemungkinan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam bentuk yang plural dengan mempertimbangkan nilai-nilai “lain” yang tidak boleh diabaikan. Seorang yang telah diadili secara tidak manusiawi misalnya, kendatipun “momen pengadilan itu” tidak akan diulangi lagi secara sadar dan persis, sudah selayaknya ia menuntut terbukanya kebenaran dan terlaksananya keadilan.
Keadilan dan belas kasih bukanlah pembalasan dendam, bukanlah “mata ganti mata dan gigi ganti gigi”; melainkan keadilan sekaligus kepedulian menuju persaudaraan semua orang secara sama sebagai manusia. Sebuah pertanyaan kecil; Bagaimanakah caranya memahami keadilan? Jawabannya sederhana tetapi tetap menjadi bahan permenungan adalah melawan ketidakadilan.
Pembaharuan dan Tanda Zaman
Pembaharuan selalu ada pada setiap zaman. Setiap zaman mempunyai tanda dan tantangannya sendiri dan sebagai anak-anak zaman kita dipanggil untuk membaca, menafsir, menelaah dan pada akhirnya memberi jawaban secara kreatif. Cara kita membaca dan menafsir setiap tanda dan tantangan zaman akan sangat mempengaruhi jawaban yang akan kita berikan. Dan jawaban yang akan kita berikan akan sangat menentukan eksistensi kita sebagai bangsa yang adil dan beradab. Pada gilirannya, jawaban yang kita berikan sekarang ini akan membawa kita jauh ke masa depan.
Pembaharuan adalah sebuah pilihan dan sebuah keputusan, bukan sekali untuk selamanya tetapi sebaliknya, ia merupakan sebuah perjuangan terus menerus. Ingatlah, pembaharuan itu bukanlah sebuah tujuan, ia merupakan sebuah titian tempat setiap kita (warga negara) menyeberang dengan membawa serta harapan dan kerinduan sejati kita menuju suatu masyarakat Indonesia yang baru, tempat manusia menjadi manusia bagi sesamanya (homo homoni homo); Di sanalah keadilan dan perdamaiai menjadi satu.
Pemahaman kita mengenai keadilan perlu juga dihubungkan dengan cita-cita untuk mewujudkan perdamaian. Dahulu perdamaian dipahami sebagai tidak ada perang. Namun sekarang ini perdamaian harus dimengerti secara lebih luas, bukan hanya tidak ada perang melainkan juga tidak ada ketidakadilan. Dengan kata lain keadilan menjadi syarat utama tercapainya perdamaian.
Pembaharuan manusia di tengah masyarakat kontemporer, terdapat kecenderungan untuk membenci sesama yang sering terlihat dalam wujud ketidakpedulian atau sikap mengasingkan terhadap sesama dalam pemikiran dan dalam pembicaraan. Ketidakpedulian terhadap sesama merupakan fenomena yang lazim dalam percakapan yang berkembang, di mana banyak orang hampir tidak mengenal “tetangga” mereka, dan yang lebih buruk bahkan tidak merasa perlu untuk mengenal mereka. Pengasingan dalam bentuk yang paling ekstrem terekam dengan baik di dalam sebuah pernyataan, Jean-Paul Sartre yang terkenal, “Neraka adalah orang lain”. Tingkat terburuk dan sikap ini terlihat di dalam diri “para penjilat” yang benar-benar membenci sesamanya sehingga ia akan melakukan apa saja dengan nyaman, dalam pikiran dan dalam pernyataannya, serta tetap saja merasa aman-aman saja.
*)Penulis adalah:Dosen Pemikiran Politik, pada Program Pascasarjana UI dan Komunikasi Politik di Pascasarjana Univesitas Pelita Harapan.