Oleh: Hipolitus Kristoforus Kewuel
Menarik sekali menyimak perkembangan di Kabupaten Lembata belakangan ini. Kuat sekali tarikan untuk menjadikan budaya sebagai pondasi pembangunan. Entah kenapa? Apakah karena pengaruh Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Permajuan Kebudayaan? Saya kira bukan karena gerakan paling dasar dari UU ini saja belum dilakukan, yakni penyusunan PPKD (Pokok-pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) sebagai peta kerja pengembangan kebudayaan daerah.
Rupanya lebih pas untuk dikatakan bahwa ini sebuah proses alami yang sedang terjadi setelah Lembata dihantam berbagai macam pesoalan. Mengutip ungkapan Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday pada kesempatan eksplorasi budaya sare dame Lembata beberapa waktu lalu, rupanya ini ada peran invisible hand. Ada tangan-tangan tak kelihatan yang sedang menggerakan ini semua. Tentu saja ada tangan Tuhan, tetapi juga ada tangan leluhur dan kekuatan alam yang sedang bekerja menjaga keseimbangan hidup masyarakat Lembata.
Pemerintah Kabupaten Lembata telah mencanangkan pembangunan berbasis budaya yang kemudian telah diterjemahkan dalam dua program konkret antara lain; pendidikan berbasis budaya dan pariwisata berbasis budaya.
Pertanyaannya adalah akan dimulai dari manakah pembangunan berbasis budaya di dalam kedua program tersebut? Pertanyaan ini penting dijawab untuk mengambil langkah yang tepat supaya tidak terjadi persoalan-persoalan yang lebih rumit lagi di masa depan.
Pendidikan Berbasis Budaya
Sebelum berbicara tentang pendidikan berbasis budaya, perlu jelas dulu apa yang dimaksud dengan pendidikan pada maknanya yang paling asasi. Kenapa dimulai dari sini? Karena pendidikan sekarang menjadi aktivitas yang sudah terlempar jauh dari substansinya.
Mendengar kata pendidikan, yang terbayang adalah biaya mahal, buku, penerbit, seragam, kompetensi guru, guru penggerak, kementerian pendidikan, dinas pendidikan, komite sekolah, pembelajaran daring atau luring, jaringan internet, kurikulum, gedung sekolah, akses rumah-sekolah, dan masih banyak lagi.
Semua itu baik dan diperlukan, tetapi perlu didudukkan di atas rel makna pendidikan yang benar dan tepat. Jika tidak, para guru dan anak-anak kita boleh capek sekali dalam aktivitas pendidikan (belajar-mengajar), tetapi sesungguhnya mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Buktinya sudah banyak. Banyak siswa gagal menjadi anak-anak yang dibanggakan orangtua dan masyarakat; Mereka suka tawuran di jalan, malas belajar, tidak mau membantu orangtua di rumah, membandel dengan guru di kelas, tugas dari guru tidak dikerjakan, dan lebih mengejutkan lagi, dalam semua situasi itu, mereka tampil tanpa beban bersalah.
Menurut Habermas, pendidikan adalah aktivitas setiap manusia untuk semakin membuat dirinya menjadi manusia. Maka, seyogyanya pendidikan adalah tanggungjawab pribadi masing-masing manusia melalui proses pembelajaran dalam seluruh aktivitas hidupnya. Itulah makna ungkapan life long education yang sering kita dengar.
Tatkala pendidikan diartikan sebagai proses tindakan sadar memanusiakan manusia, di sana tersirat peran ‘pihak lain’ dalam proses pemanusiaan manusia itu. Itulah konteks di mana Ki Hajar Dewantara melahirkan istilah-istilah; Pamong, Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang mau menunjukkan bahwa para siswa di sekolah itu punya sesuatu sebagai pijakan bagi guru untuk memberikan bantuannya.
Ini berarti tugas pertama guru adalah memastikan apa yang telah dimiliki oleh para siswa. Selama ini ada intervensi ilmu psikologi untuk menampilkan peta potensi itu melalui alat-alat psikotes. Sayangnya, banyak sekolah hanya memanfaatkan data tersebut sebagai kekayaan administratif tanpa mengolahnya lebih dalam sebagai panduan pemberdayaan.
Pendidikan berbasis budaya membutuhkan lebih banyak strategi karena diksi ini menyiratkan minimal empat hal yang harus dikerjakan. Pertama, penggalian potensi budaya sebagai data asli. Kedua, proses dokumentasi sebagai sumber belajar. Ketiga, proses translasi ke dalam bangunan kurikulum, dan keempat, proses transfer ilmu yang terjadi di dalam kelas atas dasar kurikulum itu.
Keempat proses ini perlu dilihat sebagai satu kesatuan dalam upaya menyusun kurikulum muatan lokal. Kerja ini membutuhkan waktu yang panjang, tenaga yang ekstra, dan dana yang besar. Tidak bisa serta merta orang berkoordinasi untuk menyusun kurikulum muatan lokal. Perlu ada proses pemetaan yang seksama sebagai fondasi yang kuat bagi sebuah kurikulum muatan lokal.
Pariwisata Berbasis Budaya
Dewasa ini kebutuhan orang untuk berwisata semakin meningkat. Ada banyak faktor penyebab; mudahnya akses transportasi, terbukanya akses promosi, dan semakin tingginya tuntutan kerja hingga mendorong orang untuk sejenak keluar dari rutinitas hidup.
Burkat memaknai aktivitas wisata sebagai aktivitas perpindahan orang untuk sementara waktu ke tempat-tempat tujuan tertentu untuk sekedar keluar dari tempat di mana mereka biasa hidup dan bekerja. Pitana menambahkan bahwa aktivitas wisata itu tidak hanya menyangkut kebutuhan mereka yang bepergian, tetapi juga kebutuhan bagi yang wilayah atau daerahnya didatangi oleh wisatawan.
Dalam arti yang disodorkan Pitana tersebut, pemerintah atau sektor swasta berkewajiban memikirkan apa yang terbaik yang bisa disuguhkan kepada para wisatawan. Di sini, kita bicara soal potensi apa yang bisa dikembangkan untuk menentukan model wisata. Bisa wisata alam, bisa wisata buatan, dan bisa juga wisata budaya.
Wisata alam di Lembata sebetulnya sangat menarik untuk dikembangkan. Ada pantai, ada laut, ada gunung, ada bukit, ada sungai, dan ada hutan yang memiliki potensi wisata yang besar. Persoalannya, itu butuh investasi yang besar. Apalagi berbicara soal wisata buatan, itu butuh dana lebih besar lagi. Tentu kita tetap jalan, meskipun pelan.
Sangat masuk akal tatkala pemerintah Kabupaten Lembata memutuskan untuk mengembangkan pariwisata berbasis budaya. Bukan berarti tidak berbiaya, tetapi relatif lebih bisa dijangkau karena material dasarnya sudah ada dan hidup di masyarakat. Pemerintah atau swasta tinggal saja menata alur pengembangannya dalam kerjasama dengan komunitas-komunitas adat dan budaya.
Sampai di sini, lagi-lagi kita berhadapan dengan persoalan; akan dimulai dari manakah pembangunan pariwisata berbasis budaya tersebut? Kita harus mulai dari komunitas budaya untuk kemudian kembali kepada komunitas budaya tersebut.
Alurnya bisa diatur begini. Perlu ada pemetaan potensi dulu. Ada budaya apa yang kuat di masing-masing komunitas adat? Itu perlu dipegang dulu. Saya kira, eksplorasi budaya sare dame beberapa waktu lalu bisa menjadi gambaran. Atau yang paling profesional, baiklah dinas pariwisata segera bekerjasama dengan bidang kebudayaan di dinas pemuda, olahraga dan kebudayaan untuk segera membuat peta besar pengembangan kebudayaan Lembata melalui penggarapan PPKD.
Setelah peta itu ada lengkap dengan pemahaman mendalam tentang budaya-budaya tersebut, perlu ada upaya literasi sebagai materi promosi yang harus segera dibangun setelahnya. Perlu juga disiapkan berbagai macam kebutuhan penunjang termasuk kebutuhan akses ke tempat di mana budaya tersebut ada dan hidup.
Satu hal lagi yang perlu dibuat dan ini lebih penting adalah menyiapkan masyarakat penghidup budaya tersebut; bagaimana membangun mindset mereka bahwa budaya mereka memiliki nilai-nilai hidup yang penting bukan saja untuk mereka, tetapi juga untuk orang lain. Nilai-nilai hidup yang penting itu bukan tidak mungkin suatu saat bisa didatangi orang lain dalam konteks wisata itu.
Dengan ini, kita juga menanamkan nilai pada masyarakat bahwa nilai-nilai budaya yang mereka lestarikan sekaligus akan menjadi obyek wisata bernilai tinggi. Para wisatawan yang datang ke wisata budaya kita, tidak sekedar menghilangkan penat setelah jenuh bekerja, tetapi di tempat kita, di dalam budaya kita, mereka berwisata sambil belajar bagaimana hidup yang baik dan bermutu.
Kalau sudah sampai di titik ini, pariwisata berbasis budaya bukan sekedar pariwisata biasa, tetapi pariwisata yang memberi nilai lebih bagi para wisatawannya. Dengan begitu, proses promosi berkelanjutan terjadi terus menerus dalam diri para wisatawan.
Tugas kita kemudian adalah menata perjalanan wisata sebagai paket yang sekaligus dapat menghidupkan masyarakat penghidup budaya di Lembata. Pada saat itu, barulah kita angkat bicara bahwa masyarakat Lembata adalah masyarakat yang hidup dari pariwisata budayanya. Sekarang ini, perjalanan kita masih panjang. Untuk sampai ke sana, kita butuh agen-agen pariwisata swasta dan pemerintah yang berpikir bijak untuk kebaikan masyarakat. Kalau mereka hanya berpikir untuk keuntungan diri sendiri, maka pariwisata berbasis budaya hanya akan menjadi selogan manis yang hanya akan kita ucapkan dari generasi ke generasi.
===========
Penulis adalah: Dosen pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya, Malang