NTTsatu.com – Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri saat ini tengah merampungkan draf Rancangan Undang-undang tentang Pemilu. RUU ini merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Legislastif, UU tentang Pilpres dan UU tentang Penyelenggaraan Pemilu.
Salah satu hal krusial yang menjadi perhatian pemerintah adalah soal sistem pemilu yang nanti akan digunakan. Tim pakar pemerintah dalam penyusunan RUU Pemilu, Dhany Syarifudin Nawawi, mengatakan kemungkinan Pemilu 2019 tak akan menggunakan sistem proporsional terbuka murni.
Alasannya sistem proporsional terbuka murni seperti yang diterapkan pada Pemilu 2014 berakibat negatif pada partai politik. Sering terjadi perang di internal parpol. Akibatnya parpol pun ringkih alias tak solid dan gampang diadu domba.
“Sistem proporsional terbuka seperti tahun 2014 sering berakibat pecahnya kader internal partai, akibatnya terjadi keringkihan di partai politik,” kata Dhany saat berbincang dengan detikcom, Minggu (21/8/2016) malam.
Ada dua kemungkinan sistem yang digunakan, yakni sistem proporsional terbuka terbatas dan proporsional tertutup terbatas. Nantinya, kata Dhany, partai politik diberikan hak otoritas untuk menentukan kader terbaiknya untuk diajukan sebagai calon anggota legislatif.
Partai politik mengumumkan daftar caleg yang mereka usung kepada masyarakat. Caleg terpilih akan ditentukan berdasarkan nomor urut.
Di Pemilu 2019 nanti untuk pertama kalinya pemilihan anggota legislatif akan bersamaan waktunya dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga kemungkinan nantinya kepada pemilih akan disodori lima kertas suara, yakni untuk memilih anggota DPR RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/kota, DPD dan capres-cawapres.
Menurut Dhany, sistem Pemilu 2019 nantinya akan ditentukan bersama dalam pembahasan bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. (detik.com)