KUPANG. NTTsatu.com – Proses pendaftaran calon tenaga kerja asal NTT, baik yang dikirim ke luar negeri maupun bekerja di dalam negeri harus melibatkan ketua Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) di setiap desa dan kelurahan.
Anggota Komisi V dari Fraksi PDIP, Kristofora Bantang menyampaikan hal itu dalam rapat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelayanan dan Pengawasan TKI asal NTT di ruang rapat komisi itu, Kamis (9/6).
Feni, demikian Kristofora Bantang biasa disapa mengatakan, dalam draf rancangan Perda ini, pada paragraf dua tentang pendaftaran, pasal 16 ayat tiga menyebutkan, penyelenggaraan pendaftaran calon TKI oleh dinas kabupaten/kota dan/atau PPTKIS, melibatkan pemerintah desa atau pemerintah kelurahan.
“Sebaiknya proses pendaftaran calon TKI melibatkan juga RT/RW di setiap desa/kelurahan, karena mereka yang paling dekat dan mengenal secara detail setiap warga masyarakatnya,” kata Feni.
Wakil rakyat asal daerah pemilihan Manggarai Raya ini menyampaikan, keanggotaan Kantor Pelayanan TKI Satu Atap sebaiknya ditambahkan dengan kepolisian. Ini berkaitan dengan masalah hukum yang akan terjadi dalam proses perekrutan calon TKI hingga penempatan atau pemulangan ke darah asal. Karena persoalan pemalsuan identitas calon TKI masih saja terjadi hingga saat ini.
Anggota Komisi V dari Fraksi Partai NasDem, Kristien Samiyati Pati mengungkapkan sejumlah catatan kristis yang perlu diperhatikan dalam penyempurnaan rancangan Perda yang dibahas ini. Harus diatur secara tegas tentang lamanya waktu pelatihan calon TKI dan sebelum dikirim harus dites kemampuannya terlebih dahulu. Bahkan bila perlu pelatihan calon tenaga kerja merujuk pada tempat pelatihan di St. Aloysius Ruteng.
“Untuk tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri, sebelum ditempatkan dan ketika pulang, sebaiknya diketahui konsulat di negara tempat tujua tenaga kerja dikirim. Sehingga negara bisa melakukan pengawasan terhadap tenaga kerja bersangkutan,” saran Kristien.
Wakil Ketua Komisi V dari Fraksi PDIP, Yunus Takandewa menyatakan, kehadiran rancangan Perda ini tidak boleh dimaknai sebagai saling melempar tanggung jawab, tapi saling bersinergi sehingga bisa meminimalisasi praktek percaloan dalam perekrutan tenaga kerja. Pasalnya, praktek percaloan perekrutan calon tenaga kerja sudah mendarah daging di NTT dan berkeliaran bebas di mana- mana.
“Kehadiran rancangan Perda ini bukannya saling mencaplok tapi mempertegas kewenangan masing- masing pihak sehingga proses percaloan tidak lagi terjadi di NTT,” ungkap Yunus.
Anggota Tim Pakar Rancangan Perda Pelayanan dan Pengawasan TKI asal NTT, Jhon Dekrasano mengatakan, pengawasan tidak hanya dilakukan terkait proses perekrutan, tapi juga pelayanan yang diberikan instansi pemerintah. Nilai sanksi yang diberikan bagi mereka yang melakukan pelanggaran sebesar Rp50 juta, merujuk pada UU yang berlaku. Sehingga nilai sanksi tidak bisa dinaikkan dari jumlah yang telah dicantumkan dalam draf rancangan perda ini.
Ketua Tim Pakar Rancangan Perda ini, Jhon Kottan menjelaskan, rancangan perda ini tidak mencamtumkan pelibatan RT/RW dalam proses pendaftaran calon tenaga kerja, struktur pemerintahan hanya sampai di tingkat desa/kelurahan. Sedangkan RT/RW melakukan pelayanan sosial dalam struktur pemerintahan dimaksud.
Berkaitan dengan tingkat pendidikan calon tenaga kerja, Dosen Undana ini berargumen, sangat tergantung pada daerah atau negara penerima. Yang paling penting adalah setiap tenaga kerja dibekali dengan keterampilan yang cukup. “Pemerintah provinsi harus memberi nomor khusus untuk setiap calon tenaga kerja yang hendak dikirim, agar memudahkan sistim kontrol,” kata Jhon. (bp)