Bagi orang Manggarai, nama P. Frans Pora Ujdan, SVD barangkali tidak asing. Begitu lamanya (50 tahun) mengabdi di bumi Congka Sae hingga mungkin banyak yang menyangkanya orang Manggarai. Saya pun awalnya menyangkanya demikian karea bater bertemunya pertama kali di pertengahan delapan puluhan. Padahal saat itu ia sudah jadi provincial SVD Ruteng.
Apa yang menjadi titik kuat dari imam perdana asal stasi Kalikasa yang ditahbiskan 9 Juli 1970 dan mengahbiskan hampir Sebagian besar hidupnya di APK dan kemudian STKIP St. Paulus Ruteng? Bagaimana ‘insting’ pendidikan yang dimiliki lulusan Universitas Salesiana Roma (1973-1976) ini? Bagaimana ia melewati periode hidup dari enam generasi yang menjadikan pribadinya patut menjadi inspirasi tidak saja bagi pendidik tetapi bagi agen pastoral pada umumnya?
Enam Generasi
Dalam rangka merayakan 50 tahun imamatnya (Juli 2020), muncul inisiatif menerbitkan buku. Marsel Ruben Payong dan Bernardus Tube Beding menjadi editor menggagas penerbitannya. Dalam proses akhir penerbitan, muncul covid hal mana turut memengaruhi penerbitan buku setebal 336 halaman ini. Buku yang terdiri dari tiga bagian penting: besar yaitu: yaitu Pastoral di Era Disrupsi, Pendidirkan di era disrupsi, dan Narasi, Kesaksian, dan Refleksi dengan tulisan sangat berbobot ini hanya diterbitkan 100 ex. Sang yubilaris pun hanya mendapatkan 10 ex yang dengan sekejab jadi rebutan orang terdekatnya. Tidak ada yang sisah.
Tulisan ini lebih fokus pada bagian kedua: Pendidikan di Era Disrupsi. Alasannya karena bagian ini yang menjadi inti pengabdian yubilaris. Tetapi juga tidak bisa disangkali, penulis mengangkat bidang ini yang sekaligus menjadi kompetensi penulis. Diharapkan komemkompetenis penulis untuk lebih dalam memberikan komentar.
Berpijak pada pengertian disrupsi yang dijelaskan Marsel Ruben Payong dengan mengangkat fenomena perubahan taksi Blue Bird yang jaya pada periodenya tetapi harus menyerahkan hegemoninya pda taksi online, terdapat pesan yang jelas. Terjadi ‘disruption’ atau gangguan. Ia bisa disebut juga turbulensi karena sesuatu yang lama yang jaya pada periodenya harus berhadapan dengan perubahan baru. Hegenomi itupun beralih ke pihak lain. Yang lama bila ingin tetap ‘eksis’ maka ia perlu menyesuaikan diri dengan perubahan terbaru.
Hal yang sama terjadi dengan pendidikan. Perubahan itu oleh Marsel Ruben Payong dilihat sebagai hal yang nyata dalam pendidikan umumnya dan pendirikan tinggi pada khususnya. Semua kejadian bersifat alamiah dan otentik. Karenanya tawaran dari pendidikan bukan sekadar sebuah angan di dunia imajinasi tetapi berdasarkan pada keadaan otentik.
Lalu bagaimana mengukur apakah sesuatu yang otentik itu bermakna atau tidak? Bernardus Tube Beding mengajak pembaca untuk mengukur semuanya dari sejauh mana pendidiakn itu menyapa manusia secara pribadi. Menutup filsuf Jerman, Wilhelm Dithley, Tube menekankan bahwa yang akan menjadi ukuran keberhasilan dalam pendidiakn bukan pada menjelaskan (erklaren) tetapi pada memahami (verstehen’).
Dua pikiran pokok ini menjadi basis bagi Robert Bala dalam menelisik kehiduapn P. Pora dalam enam generasi. Berpijak pada Generation Theory dari Graeme Condrington dan Sue Grant Marshal, penulis menguraiakn hal menarik dalam diri pribadi Pastor yang pernah menjadi Direktur APK Ruteng 1982-1988) dan kemudian dilanjutkan dengan ((1996-2000), saat APK berubah menjadi STKIP.
Jelasnya, Pastor Frans lahir di akhir generasi tradisional-konservatif (1941). Ia melewati masa generasi baby boomers dalam pendidikan. Sebuah periode yang cukup tenang berbeda dengan gejolak perang pada periode sebelumnya. Selanjutnhya ketika hadirnya generasi X (1965-1980), Frans berada pada periode pematangan diri baik melalui tahbisan imamat maupun proses pendidikan lanjut di Roma.
Yang menarik, rangkaian proses pengabdian pada pendidikan yang pada awalnya tidak terpikir sama sekali oleh Pater Frans, mengalir begitu saja bagai air. Ia malah punya rencana lain yang jauh dari pendidikan. Tetapi pimipinannya melihat hal yang jauh melampaui apa yang dipikirkan oleh Frans yang pernah merangkap jabatan sebagai provincial sekaligus Direktur APK Ruteng. Hal itu kemudian diteirmanya dan dijalani secara sungguh-sungguh seakan menjadi pendidik adalah tujuan dirinya.
Kesungguhan mengabdi pada pendidikan itu berbuah manis. Pada saat lahirnya generasi Y, “Y” (1980 – 2000), pengakuan itu hadir. Dengan kata lain, apa yang dimintakan untuk mengabdi dalam pendidikan ternyata benar adanya. Pengakuan akan kualitas diri dan keterpilihan menjadi Direktur APK, Terplilih jadi Provinsial, dan kembali diminta lagi menjadi Ketua STKIP selain banyak tugas rangkap lainnya.
Bahwa akhirnya ia meminta untuk mundur di era genrasi Z, itu bukan sebuah kebetulan. Sebagai pendidik ia tahu kesuksesan seseorang diukur dari keberhasilan menyiapkan penggantinya. Karena itu kalau ia tidak ‘menepi’, dan terus meneriam kepercayaan maka justru hal itu merupakan sebuah kelemahan. Di sini arti ‘beristirahat’ sambil memandang periode yang dilewati. Rangkaian disrupsi terus terjadi tetapi pribadi yang sama sanggup menyesuaikan diri dan berubah sehingga diterima di semua era termasuk generasi alpha saat ini.
Kesediaan Berubah
Buku setebal 336 halaman yang diterbitkan Perennial Institute sangat menarik untuk dimiliki siapapun. Para katekis yang mengenal keramahan dan kebijasanaan Pastor Frans akan merasakan bahwa era disrupsi yang terjadi kini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ia telah terjadi dan terjawantahkan dalam diri pastor Frans.
Secara umum bisa digambarkan bahwa pastoral tidak bisa lepas dari perubahan generasi yang terjadi. Memang dalam pendidikan agama, selalu ada godaan untuk lebih mementingkan tradisi dan kebiasaan masa lalu (in illo tempore). Kecendrungan aliran yang fundamentalistik menjadi hal yang sangat nyata.
Godaan serupa juga terjadi dalam bidang pendidikan. Banyak generasi tua yang selalu membanggakan masanya. Metode pendidikan ‘gaya lama’ kerap difungsikan. Hanya dengan demikian peserta didikd apat menjadi ‘taat’. Nyatanya, beda generasi tersebut telah menjadi jurang yang dalam sehingga pesan yang ingin dicapai akhirnya kandas.
Frans Pora, sebagai orang yang mendalami ilmu pedagogi merupakan pribadi yang fleksibel. Ia berasal dari genrasi yang jauh sebelumnya tetapi selalu menempatkan diri dalam setiap periode secara tepat. Ia sadar pendidikan yang peroleh zamannya hanya bisa diaplikasikan 20% pada periode sesudahnya. 80% adalah inovasi yang disesuaikan dengan tuntutan baru. Di sinilah nilai mengagumkan yang ditorehkan pastor yang menjadi Rektor perdama Novisiat SVD Kuwu.
Kedua, bagian perdana pada buku tentang pastoral di era disrupsi menyadarkan bahwa bagi Frans Pora, para guru dan katekis dari Lembaga pendidikan kateketik paling bergengsi di Gereja Nusa Tenggara ini tidak bisa diajarkan ‘sebatas altar’. Para guru agama tidak hanya mengajarkan tentang Tuhan tetapi harus bergulat dengan perjuangan hidup. Kalau pun berbicara tentang Tuhan, maka bukan menyampaikan apa yang dikehendaki doktrin Gereja tetapi apa yang menjadi pergulatan umat mencari Tuhan.
Dalam arti ini maka tema-tema yang ‘duniawi’ mesti menjadi basis induktif dalam pergumulan teologis. Ia berasal dari pertanyaan nyata yang dialami umat bukan pertanyaan yang disusun dari atas oleh para teolog. Dalam arti ni maka bidang profan mesti didalami karena menjadi titik berangakt refleksi teologis. Di sana kebun, kaum muda, petani, kopdit, hal mana dibahas pada buku ini juga menjadi medan pastoral. Melalui bidang-bidang ‘profan’ seperti ini dapat diadakan pastoral yang mengena dan menyapa. Di sana nilai-nilai kemanusiaan terwujudkan secara sangat riil.
Dari pemahaman ini maka kesuksesan para pendidik di era disrupis dalamnya termasuk para guru dan katekis adalah kesediaan untuk berubah. Seperti P. Frans yang begitu fleksibel menyesuaikan diri sambil menghadirkan contoh hidup menggugah, demikian para pendidik di era disrupsi tidak saja harus bersiap menghadapi aneka gangguan tetpia terutama bagaimana menghadirkan contoh menggugah.
===========
Robert Bala. Pemerhati Pendidikan. Penulis buku Pembelajaran Jarak Jauh (Terbit di Grasindo, Desember 2020). Kontributor buku: Menjadi Gembala dan Pendidik di Era Disupsi, Kenangan 50 Tahun Imamat P. Frans Pora Udjan, SVD).