NTTsatu.com – Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) telah mengeluarkan sebuah seruan kepada umat Muslim di Indonesia untuk menghentikan sebutan kata kafir kepada non-Muslim.
Seruan itu muncul diakhir Munas alim ulama NU, yang diadakan selama tiga hari di Banjar, Jawa Barat, pada 27 Februari hingga 1 Maret.
Penggunaan istilah ‘kafir’ adalah sebuah diskriminasi terhadap umat agama lain, dan tidak sesuai dengan Konstitusi Indonesia yang menyatakan setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang setara, tulis rekomendasi tersebut.
Sebutan kafir “menyakiti para non-Muslim dan dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata KH Abdul Moqsith Ghazali dalam sebuah forum selama pertemuan itu, yang diposting di website nu.or.id.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj mengatakan istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekkah untuk menyebut orang-orang yang menyembah berhala dan belum memiliki kitab suci.
Siradj mendesak umat Muslim menyebut non-Muslim dengan muwathinun atau warga negara untuk menunjukkan mereka memiliki status yang setara dengan warga negara lain di Indonesia.
Pendeta Henriette Tabita Lebang, ketua umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengatakan seruan itu akan meningkatkan hubungan ataragama di tanah air.
“Seruan ini merupakan sesuatu yang positip dan penting. Penggunaan terminologi tersebut dapat menjauhkan hubungan dengan agama-agama lain,” katanya seperti dirilis ucanews.com.
Saat ini fenomena kafir-mengkafirkan, katanya, sangat memprihatinkan dan ini merupakan stigma dan merendahkan agama-agama lain.
Ia berharap pemerintah juga melarang penggunaan terminologi tersebut karena Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk.
Pastor Antonius Benny Susetyo, anggota Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP), mengatakan seruan itu sebuah tanggapan mengenai deklarasi bersama oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed Al-Tayeb, selama kunjungan Sri Paus ke Uni Emirat Arab (UAE).
Dalam deklarasi itu, para pemimpin agama berjanji untuk bekerja bersama untuk menolak kekerasan dan ekstremisme.
“Nahdlatul Ulama ingin menegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk, rumah bagi semua orang,” kata Pastor Susetyo.
Ia berharap bahwa umat Katolik membangun persaudaraan sejati dengan umat beragama lain.
Suhadi Sendjaja, ketua Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi) juga menyambut baik seruan itu.
“Saya berharap seruan itu akan membantu kehidupan bangsa ini ke depan untuk meningkatkan persatuan dan persaudaraan,” katanya.
Sementara itu Front Pembela Islam (FPI) mengkritik seruan Munas NU tersebut bahwa kata dan konsep kafir itu bukan ujaran kebencian ataupun diskriminasi.
“Istilah itu diberikan Allah kepada manusia yang menutup diri dari kebenaran Islam yang dibawa melalui baginda Rasulullah SAW,” kata Munarman seperti dirilis Tempo.co.
Anwar Abbas, sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), secara pribadi mengatakan, dalam teologi Islam, istilah non-Muslim dan kafir adalah sama dan setara. Maka tergantung orang yang memilihnya. Orang yang bukan Muslim atau tidak bisa menerima kebenaran ajaran Islam disebut kafir.
“Kafir itu karena mereka menolak kebenaran yang disampaikan oleh ajaran Islam dan mereka tetap memilih agama mereka sendiri,” katanya. (*/bp)