Perdamaian Kasus Prima Jadi Teladan Hukum di Indonesia

0
413
Foto: Brigade Meo akhirnya memaafkan sekaligus menarik laporannya terhadap Prima

NTTsatu.com – MAUMERE – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Wilayah NTT, Meridian Dewanta Dado menilai, perdamaian yang terjadi pada kasus Prima Gaida Jurnalita Bahren telah menjadi teladan hukum di Indonesia yang patut dihormati dan diteladani.

“Kita semua patut memberikan apresiasi yang setingi-tingginya atas terjadinya perdamaian dalam kasus ujaran kebencian (hate speech) via Media Sosial Facebook dengan pelaku atas nama Prima Guida Jurnalita Bahrain, dimana sebelumnya
perempuan pemilik Akun Facebook Prima Guida Jurnalita yang diketahui beragama muslim di Kupang – Nusa Tenggara Timur (NTT) itu pada tanggal 11 Mei 2017 telah dilaporkan di Polda NTT oleh Ketua Ormas Brigade Meo, Pendeta Ady Wiliam Frith Ndiy dan puluhan warga lainnya lantaran memposting ujaran kebencian dan penghinaan yang tidak mengakui teloransi antar umat beragama yang telah terjalin selama ini,” kata Dado.

Postingan Prima Guida Jurnalita di Akun Facebooknya yang membawanya harus berurusan dengan polisi yakni berupa kritiknya yang diiringi dengan hujatan penghinaan dan kebencian terhadap para pihak yang mendukung toleransi dan menentang radikalisme di Indonesia.

Dalam Akun Facebooknya pada tanggal 10 Mei 2017 tertera kata-kata tulisannya antara lain :
“ANJING!!! NGOMONG SOAL BHINEKA, soal toleransi, tapi waktu umat Islam Papua sedang sholad Ied dan diserang dua tahun lalu kalian diam. MASIH MAU BILANG KALIAN TOLERAN!! FUCK TOLERAN. Kasih naik status sok toleransi, sok BENCI RADIKALISME!! Su ke anjing naek dia pung mai..!!,”
Kemudian, postingan lainnya, “mau bicara toleransi?? NTT Toleransi?? su HILANG LAMA…meja makan kalo masih ada masakan Babi di atas meja, itu bukan tolereansi.. masakan yang masak bukan muslim dan dihidangkan untuk muslim itu juga bukan toleransi..habis makan babi anjing trus selamat dan cium bta, itu juga bukan toleransi.. #fucktoleransi #toleransihilang,”

Atas perbuatannya tersebut kemudian pihak Penyidik Ditreskrimsus Polda NTT telah menetapkan dan menahan Prima Guida Jurnalita sebagai tersangka karena melanggar UU No 19 thn 2016 tentang perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni Pasal 28 ayat 2 yang menyebutkan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan”.

Namun demikian pada tanggal 5 Juni 2017, pihak pelapor kasus itu yaitu Ketua Ormas Brigade Meo, Pendeta Ady Wiliam Frith Ndiy dan elemen warga NTT lainnya akhirnya memaafkan perbuatan Prima Guida Jurnalita dan sekaligus menarik laporannya di Polda NTT, dengan didasari pertimbangan kesalahan yang dilakukan oleh Prima Guida Jurnalita bisa juga dilakukan oleh siapapun. Dan saat melakukan kesalahan dia sedang dalam keadaan tidak terkontrol.

Dalam pertemuan sebelumnya dengan Prima Guida Jurnalita maka yang bersangkutan telah mengungkapkan penyesalan atas apa yang telah dilakukanya. Ia mengakui bahwa ternyata ungkapannya melalui facebook berdampak luas.

Alasan lain dari pemberian maaf itu adalah untuk memberikan pesan kepada orang di luar NTT bahwa NTT berbeda dimana pengampunan dilakukan tidak setengah-setengah. Perbedaan itu ada tapi orang NTT menghargai perbedaan dan wilayah lain dapat belajar di NTT.

“Kami menilai bahwa adanya perdamaian yang diiringi dengan permintaan maaf dan penyesalan dalam kasus Prima tersebut merupakan suatu nilai hukum yang tertinggi di dunia ini dan fakta kasus tersebut harus menjadi berkah dan teladan bagi kita masyarakat NTT pada khususnya dan untuk bangsa Indonesia pada umumnya guna menghadapi panasnya gejolak bangsa kita yang memanas akhir-akhir ini,” tulisnya dalam rilis yang diterima redaksi NTTsatu.com, Selasa, 07 Juni 2017.

Menurutnya, tidak akan pernah bisa selesai dengan pertengkaran, permusuhan, kebencian, dendam dan seterusnya kalau saling memamerkan kebenaran masing-masing pihak.

“Daripada kita menyombongkan kebenaran, lebih baik kita berkolaborasi mencari kemungkinan untuk menciptakan keseimbangan bangsa. Kita harus berhenti mencari, menuding, membenci, dan berhasrat memusnahkan siapa yang salah sebab yang salah bisa pada kita, bisa juga pada mereka. Yang benar juga bisa pada kita, bisa juga pada mereka. Kalau kita mempertetangkan siapa salah siapa benar, maka tidak akan pernah ada perdamaian di negeri ini,” urainya. (bp)

 

Komentar ANDA?