PERIHAL POLITIK: KEPENTINGAN DAN KEBAIKAN BERSAMA.

0
2406

Oleh : Thomas Tokan Pureklolong

PERTARUNGAN ideologi antara demokrasi melawan fasisme dan komunisme yang telah berlangsung selama satu abad itu; Demokrasi ternyata dapat mengalahkan lawannya dengan mewujudkan diri dalam bentuk “strong states” yang bisa muncul dalam apa yang disebut dengan totaliter.

Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul The End Of History an the last Man ( 1992 ), mengemukakan tentang kekalahan “strong states” tersebut, yang terutama disebabkan karena kelemahan-kelemahan internalnya. Fasisme menjadi sangat menderita dan tidak berdaya dan akhirnya bisa runtuh karena terjadi kontradiksi-kontradiksi internalnya. Fasisme juga selalu mengagung-agungkan keberhasilan yang selalu menititipberatkan kepada militerisme dan perang yang tak terhindarkan, yang akan menuntun ke arah konflik melawan sisten internasional yang tetap saja berakibat menghancurkan dirinya sendiri. Lebih dari itu fasisme memperlihatkan kesalahan dalam pandangannya, bahwa kemajuan dan keberhasilannya tergantung kepada kekuatan fisik, yang terus dilipatgandakan melalui ilmu pengetahuan dan juga teknologi.

Sebaliknya, kalau dilihat tentang eksistensi demokrasi secara inherent mengajarkan bahwa kemampuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi dipergunakan untuk memperbaiki nasip hidup manusia. Secara kritis juga kekuatan sebuah demokrasi sangat tergantung kepada kemajuan moral manusia, kesadaran, dan solidaritas kemanusiaan serta martabat manusia itu sendiri.

Kemajuan moral menjadi sangat penting di dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena jika tidak demikian maka ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa saja digunakan untuk tujuan-tujuan yang menghancurkan ( baca: jahat ) dan bisa berakibat lebih lanjud bahwa hidup manusia bisa menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

Francis Fukuyama, mengargumentasi kepada publik, bahwa dalam perspektif ideologi, fasisme bukanlah saingan yang serius dan ketat terhadap demokrasi.

Dalam pertarungan ideologi seperti yang dikemukakan di atas, saya mengajak pembaca untuk sedikit melirik perpolitikan kita yang tengah terjadi di negara Idonesia, tentang efektifnya sebuah demokrasi setelah hembusan angin reformasi masuk dalam segala dimensi kehidupan manusia, setelah tumbangnya regim yang berkuasa Orde Baru ( baca: Tatanan Baru, untuk diperhadapkan dengan Orde Lama: Tatanan Lama).

Bahwa demokrasi yang dipraktikan sekarang adalah demorasi yang tersebar secara otonom dalam tiga lembaga politik yang dalam pemahaman Ilmu Politik disebut supra struktur politik. Tiga kekuatan supra struktur politik itu adalah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pola penyebaran demokrasi untuk ketiga lembaga tersebut, dalam konteks Indonesia sekarang muncul begitu saja secara sporadis yang rawan terjadi ketegangan hubungan di antara ketiga lembaga politik tersebut. Lembaga politik yang satu bisa medominasi lembaga politik lainnya secara bergantian dan masing-masing tampil mau menang sendiri. Terlihat di publik seolah-olah semuanya tampil sebagai sang juara dan sang pemenang pertarungan berdemokrasi sesuai regulasi modern yakni hidup berdampingan secara politis. Padahal, praktik demokrasi yang diperankan secara terang benderang terlihat absen terhadap substansi demokrasi modern tersebut.

Yang paling penting dan urgen bagi masing-masing lembaga politik adalah KEPENTINGAN dan kepetingan disorak-sorai menjadi panglima yang patuh dan patut dihormati dan disembah.

Kebaikan Bersama ( Bonum Commune )

Perpolitikan Indonesia dalam konteks kekinian yang lagi berjalan sekarang terlihat pada kerja kerasnya partai politik.

Kerja keras partai politik di satu pihak memang merupakan suatu konsekuensi partai yang mendapat label partai rakyat, namun mestinya pada pihak yang lain bisa disertai dengan integritas dan harus punya komitmen bersama untuk rakyat. Tingkat probabilitas atau mungkin seperti itulah yang lebih tepat sebagai upaya menaikan tingkat elektabilitas partai dalam menghadapi Pemilukada serentak yang akan datang.

Kembali ke Indonesia saat sekarang. Menyimak kondisi perpolitikan yang tengah berjalan di negeri kita Indonesia pada akhir-akhir ini, siapa saja ( termasuk legislatif, eksekutif, yudikatif ) bisa bereaksi dan reaksi ini dilihat sebagai reaksi politik yang masih berdaya ledak kecil yakni tujuan jangka pendek yang langsung menohok pada hasil yang mau dicapai dan sering dibahasakan secara gemerlap dan gegap-gempita.

Memang betul bahwa salah satu pemahaman politik dari ilmuwan politik, Harold D. Laswell dalam bukunya, Politics: Who Gets What, When, How ( 1936 ) di mana esensi dari politik adalah kekuasaan khususnya kekuasaan untuk menentukan kebijakan publik.

Pertanyaannya adalah: Se-simpel itukah berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan?

Politik itu ada beraneka ragam konteksnya; Ada pemikiran politik, ada pembangunan politik, ada komunikasi politik, ada perilaku politik, ada nasionalisme, ada juga ideologi politik, ada pilihan politik, ada pemilu, ada negara, ada kekuasaan, ada legitimasi, ada kekuatan politik, ada demokrasi dan demokrasi, ada HAM, dan lain-lain lagi. Lebih dari semua konsep yang tersebut di atas, dalam perilaku politik mestinya mengarah kepada kebaikan bersama dalam pemahaman Thomas Aquinas yang disebut bonum commune ( kebaikan bersama).

Secara lebih berkualitas dalam melihat tujuan negara yang lebih mulia yakni perjuangan untuk meraih summum bonum politik adalah kesejahteraan atau negara kesejahteraan ( the welfare state ).

Prinsip tertinggi dalam politik ( baca: summum bonumnya politik ), mestinya dirumuskan dengan kalimat aktif yang bisa membuat segenap netizen secara aktif pula menanggapi atau meresponnya secara langsung dalam perilaku politiknya. Sebagai seorang warga negara dalam sebuah negara yang terus melesat maju dalam
keseluruhan kegiatan politinya, semestinya pun tau apa makna sesungguhnya dari kegiatan politiknya menuju negara kesejahteraan ( Thomas T. Pureklolon, Obor, Perilaku Politik, 2020: 38 ).

Tanggapan seperti ini atau dalam bentuk apa pun dari netizen, mestinya harus dilihat secara serius oleh partai politik dalam menanggapi atau merespon kondisi politik yang sedang terjadi di negeri ini, dan bisa menjadi awasan politik bagi setiap partai politik dalam menghadapi Pemilukada di bulan Desember 2020 mendatang ini.

Di sinilah, politik menampilkan wajah khasnya, yang langsung terserap secara baik dalam naluri politik yang lama terpendam, atau pun fakta politik yang tercuat secara pragmatis terbaca dalam pikiran publik yakni KEBAIKAN BERSAMA ( bonum commune ) adalah panglima utama dalam berpolitik menuju negara kesejahteraan.
Begitu…Praise the Lord.

======
Penulis adalah Dosen Universitas Pelita Harapan, dan penulis buku referensi Ilmu Politik.

Komentar ANDA?