NTTsatu.com – Hendrianto, 45, berada di barisan mahasiswa yang terlibat dalam gerakan prodemokrasi di Indonesia pada 1998, menuntut berakhirnya rezim otoriter Soeharto yang telah terlangsung selama 32 tahun.
Ia, yang kala itu masih sebagai mahasiswa hukum di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta datang ke Jakarta untuk terlibat dalam aksi unjuk rasa.
Rangkaian aksi itu, diwarnai peristiwa berdarah di mana beberapa mahasiswa ditembak mati, sebagian lagi diculik dan hilang hingga kini, sebelum akhirnya pada 22 Mei, 1988, Soeharto menyatakan mundur dari kursi kekuasaan.
Hendrianto yang kala itu dikenal dengan nama Hendri Kuok, menjadi salah satu pemimpin Partai Rakyat Demokratik, yang dibentuk 1996 dan menjadi salah satu oposisi utama rezim Orde Baru.
Tidak lama setelah Soeharto jatuh dan Indonesia memasuki era reformasi, di mana demokrasi muncul, ia memilih menyepi dari urusan aktivisme dan melanjutkan kuliah hukum di luar negeri. Pilihan demikian yang mengantarnya pada jalan hidup yang sama sekali lain kemudian: menjadi imam.
Ia pun ditahbiskan sebagai imam Jesuit pada Juni 2019 lalu di Portland, Oregon. Pastor Hendri tercatat sebagai anggota Jesuit Provinsi USA West, yang meliputi negara-negara pantai Pasifik, ditambah Alaska dan Hawaii. Ia pun menggambarkan perubahan jalan hidupnya sebagai sebuah misteri.
“Ketika saya masih kecil dan tinggal di Indonesia, tidak terbersit sama sekali niat saya untuk menjadi seorang imam,” katanya.
Perjalanan Panggilan
Hendrianto memilih mengambil studi Magister Hukum di Universitas Utrecht, Belanda ketika rekan-rekannya memilih jalur politik dan sebagian lagi di jalur aktivisme.
Setelah tamat dari Belanda, ia sempat kembali ke Indonesia dan bekerja di bidang legal kantor Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) di Jakarta.
Setelah itu, ia kembali keluar negeri dan mengambil program PhD di Fakultas Hukum Universitas Washington di Seattle.
Di Seattle inilah, kata Pastor Hendri, perjalanan hidupnya berubah, terutama pasca interaksi dengan orang muda Katolik dari berbagai universitas di kota itu.
“Mereka banyak membantu perjalanan iman saya dan pada akhirnya berujung pada panggilan imamat,” katanya.
Pastor Hendri menuturkan, benih panggilan itu makin berkembang saat ia aktif di Newman Center, yang dikelola para Dominikan.
“Kegiatan di Newman Center banyak membantu menumbuhkan bibit panggilan, baik (melalui) kegiatan diskusi ataupun kegiatan kerohanian,” katanya.
Jadi Jesuit
Meski mengakui benih panggilan itu muncul dalam interaksi dengan Dominikan, namun, ia akhirnya tidak memilih bergabung dengan Ordo Pengkhotbah itu, tetapi Serikat Yesus, yang didirikan St Ignasius Loyola.
Hal itu terjadi setelah suatu hari para Dominikan mengundang Pastor Robert Spitzer SJ, yang ketika itu menjabat sebagai President Gonzaga University untuk memberikan kuliah umum tentang imam katolik dan filsafat politik.
Pastor Hendri mengaku begitu terkesan dengan kuliah itu, yang ia sebut “sangat memukau.”
“Ketika itu saya sempat berpikir, kalau saya mau menjadi seorang imam, saya ingin menjadi seorang imam seperti Pastor Spitzer,” katanya.
Namun, Pastor Hendri mengakui, itu bukan pertama kali ia mengenal Jesuit.
Kembali ke pengalamannya saat di Indonesia, ia mengatakan selalu menghabiskan waktu di paroki yang dilayani para Yesuit.
Ketika masih kuliah di Universitas Gajah Mada, ia kerap ikut misa hari Minggu di Kapel Sanatha Dharma yang dilayani para Jesuit.
“Setelah pindah ke Jakarta, saya juga sering ikut misa di Paroki Katedral Jakarta yang juga dilayani Jesuit,” katanya.
Meneladani St Ignatius
Melihat kembali apa yang dilakukannya dahulu sebagai mahasiswa, Pastor Hendri mengatakan, itu adalah bagian dari prosesnya sebagai anak muda, “yang idealis sekaligus naif.”
“Sebagai layaknya anak muda dan mahasiswa, saya merasa mampu untuk mengubah dunia dan mencoba untuk mengubah dunia dengan bergabung dalam gerakan politik mahasiswa,” katanya.
Namun, katanya, pengalamannya kala itu membuat jiwanya kering.
“Isi hati saya penuh dengan dendam, amarah dan kepahitan. Semua hal tersebut membuat kehidupan saya menjadi hampa,” katanya.
“Jiwa saya ibarat berada di padang kering yang tandus dan tak berair,” lanjutnya.
Kini, tampaknya spiritualitas Ignatian menjawab apa yang telah dia cari dalam hidup.
Meskipun dia menjadi Jesuit di usia matang, dibandingkan dengan yang lain yang umumnya di usia muda, dia mengataka, “tidak ada kata telat dalam panggilan.”
Ia bahkan melihat apa yang terjadi pada dirinya mirip dengan yang dahulu dialami Santo Ignasius.
“Beliau juga telat memutuskan untuk menjadi seorang imam dan kemudian mendirikan Serikat Yesus,” kayanya.
Ia menyebut, Santo Ignasius juga harus kembali ke bangku sekolah dan belajar Bahasa Latin bersama para anak kecil.
“Saya juga kurang lebih sama, ketika harus belajar filsafat bersama dengan anak-anak S1,” katanya.
“Saya bangga karena itu berarti saya meneladani St Ignasius,” pungkas Pastor Hendri. (*/bp)