Petani NTT Tolak Menggunakan Pupuk Kimia

0
558
Foto: Pastor Andreas Wilibrodus Bisa, OFM, (kiri), direktur eco-pastoral Fransiskan, memandu warga desa Timbang, Kab. Manggarai, dalam upaya melindungi mata air (ist)

NTTsatu.com – KUPANG – Para petani di Provinsi Nusa Tenggara Timur mendeklarasikan penolakan terhadap penggunaan pupuk kimia untuk mendukung pola pertanian organik yang disponsori gereja.

Seperti dilansir ucanindonesia,  Deklarasi itu disampaikan oleh 30 organisasi pemberdayaan petani usai menggelar rapat bersama di Maumere, Kabupaten Sikka pada 3-9 Maret 2017 lalu.

Organisasi-organisasi itu merupakan mitra kerja sama dari Misereor – lembaga donor Konferensi Para Uskup di Jerman serta Massipag, lembaga riset pertanian yang berbasis di Filipina.

Sekitar 70 persen dari lima juta penduduk Nusa Tenggara Timur adalah petani.

Herry Naif, manager program Wahana Tani Mandiri (WTM), organisasi yang memfasilitasi pertemuan itu menyatakan, para petani berkomitmen mengembangkan pertanian berkelanjutan dan mendukung upaya konservasi sumber daya alam.

“Yang akan dilakukan adalah memanfaatkan pupuk organik dan meninggalkan pupuk kimia. Para petani juga berkomitmen menolak bantuan pemerintah berbahan kimia,” katanya.

Untuk mendukung, hal itu, jelasnya, sosialisasi dan pelatihan pembuatan pupuk organik, akan terus digalakkan, “yang memanfaatkan daun-daunan, kotoran hewan, jerami dan jenis sampah yang mudah lapuk.”

Selain itu, jelas Naif, mereka juga berkomitmen mengembangan pangan lokal, yang selama ini terpinggirkan, akibat ketergantungan pada tanaman pangan padi.

“Ada beragam jenis pangan yang ada di sini yang diwariskan dari nenek moyang. Namun, sudah sekian lama ditinggalkan,” katanya.

Naif menjelaskan, organisasi-organisasi pemberdayaan petani menyadari bahwa pupuk kimia memiliki dampak negatif, terutama terhadap kondisi tanah.

“Para petani mengeluh soal tanah yang kesuburannya menurun, hasil pertanian mereka juga kian menurun. Kami meyakini, pertanian organik bisa menjadi solusi,” jelasnya.

Pastor Wilibrodus Andreas Bisa OFM, direktur ekopastoral Fransiskan yang berbasis di Flores barat menyebut komitmen para petani itu sebagai bentuk peningkatan kesadaran akan bahaya kerusakan lingkungan.

“Itu tentu berdasarkan pengalaman konkret mereka,” katanya.

Ekopastoral sudah mulai melakukan kampanye pertanian organik sejak tahun 2000-an dan mampu mengatasi persoalan para petani yang mengalami penurunan produktivitas.

Pastor Andre menjelaskan, program itu sudah mendapat respon dari pemerintah.

“Di kabupaten Manggarai, dinas pendidikan telah mewajibkan semua sekolah mengajarkan mata pelajaran pertanian organik di sekolah,” katanya.

Selain pengembangan pertanian organik, jelasnya, program mereka juga terarah pada upaya konservasi hutan dan mata air.

“Upaya penghijauan kini sudah makin gencar. Kami mengajak para petani untuk mewariskan kepada anak cucu mata air, bukan air mata,” katanya.

Sementara itu, Kris Bheda Somperpes dari Sunspirit for Justice and Peace, LSM yang berbasis di Labuan Bajo, Manggarai Barat menyatakan, ketergantungan para petani terhadap bahan-bahan kimia sudah sangat tinggi.

Di Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, kata dia, di mana terdapat 7.000 hektar lahan sawa yang awalnya dikenal sebagai lumbung padi, kini mengalami masalah serius.

“Petani percaya bahwa mereka harus menggunakan setidaknya lima jenis bahan kimia setiap kali musim tanam. Mereka berpikir jika tidak menggunakan itu, maka mereka tidak akan mendapatkan hasil,” katanya. (*bp)

Komentar ANDA?