Petrus Bala Pattyona: Aneh Penegakan Hukum di Lembata

0
577

KUPANG. NTTsatu.com – Penasehat Hukum di Jakarta asal Lembata, Petrus Bala Pattyona mengaku, sangat merasa aneh dengan praktek penegakkan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum di Lembata terutama penyidik Polres Lembata.

Pengkauan itu disampaikannya melalui sambungan telepon dari Jakarta ke Kupang terkait berbagai hal yang sedang terjadi di Lewoleba Lembata terutama penanganan kasus pembunuhan almarhum Lorens Wadu hingga teror dan ancaman yang diberikan kepada Pater Vande Raring, SVD.

Menurut pengacara kelahiran Boto, Nagawutun, Lembata ini, apa yang sedang dipertontonkan penyidik Polres Lembata terhadap kasus itu sungguh menjadi sebuah lelucon yang tidak lucu tetapi menjijikkan.

“Bagaimana mugkin ini bisa terjadi seorang penegak hukum bisa sewenang-wenang dan sesukanya melanggar hukum dengan mengintimidasi saksi yang mau memberikan keterangan? Bagaimana bisa seorang Kapolres berpangkat AKBP menggunakan cara-cara penegakan hukum dengan cara tidak beradab dan melanggar hukum. Ini yang membuat saya tidak habis pikir, apakah hukum di Lembata berbeda dengan hukum di tempat lain di NKRI ini:?,” kata Petrus dengan nada tanya..

Dia mengatakan, sesuai informasi yang diperolehnya dari Lembata, Kapolres Lembata menelepon seseorang agar menghadirkan Polisi Lazarus dan Doni Sesa untuk membentak dan mengintimidasi Surva Uran yang sedang memberikan keterangan. Selain itu polisi itu bersikap kasar terhadap Pastor Vande Raring, SVD.

“Bukankah tugas pokok setiap anggota Polri sudah jelas ? Misalnya yang bagian Serse akan menyelidik dan mengungkap suatu persistiwa hukum agar menjadi terang benderang?,” tanyanya.

Lebih Lanjut Petrus mengatakan, bila seorang Polisi di bagian Serse yang tidak ikut menangani suatu perkara di unit tertentu, sudah pasti tidak akan mengintervensi tim yang sedang menangani kasus itu.

Misalnya yang di unit Narkoba tidak mungkin ikut-ikutan manakala bukan dalam hal satu tim berdasarkan sprindik. Atau seorang polisi di bagian lalulintas tentu tidak mungkin mengobrak-abrik pekerjaan rekannya di bagian Serse.

“Bagaimana bisa dua anggota polisi sudah tidak lagi bertugas di Polres Lembata ikut-ikutan membentak dan menyidik. Aneh sekali,” tandasnya.

Da juga mengatakan, dari kejadian ini maka munculkan pertanyaan: “Kepentingan besar apakah yang perlu dilindungi ? ataukah apakah ada kejahatan besar yang takut diungkap?. Penegak hukum tentunya mempunyai batas kewenangan agar seorang tidak sesuka hati hanya karena badannya besar tetapi tidak mengerti wewenangnya. Zaman sekarang tidak perlu intimidasi atau adu otot apalagi mengandalkan badan besar,” tegasnya.

Menurut Petrus , yang diperlukan saat ini adalah kecerdasan otak, memahami hukum dan peraturan-peraturan sehingga bisa diterapkan dengan baik. Selain itu polisi harus bersikap humanis agar dalam penegakkan hukum dapat dilakukan dengan baik dan benar bukan atas dasar kebencian tetapi atas nama hukum karena hukum di atas segala-galanya.

“Saya analogikan dengan seorang PNS yang tadinya bertugas di kabupaten. Pada suatu saat terungkap kejahatannya, padahal PNS tersebut sudah mendapatkan SK sebagai camat di sebuah kecamatan. Apakah yang bersangkutan bisa keluar- masuk kantor Bupati, begitu kejahatannya sudah tercium untuk membungkam saksi-saksi. Ataukah apakah bisa seorang anggota polisi yang sudah pensiun atau pindah tempat tugas dan tidak punya kuasa atau wewenang lagi bisa datang ke kantor Polres untuk membentak saksi-saksi yang akan mengungkap sebuah kejahatan kemanusiaan yang akan ditutup rapat, padahal yang bersangkutan sudah pensiun atau pindah tugas ke Polres atau Polsek lain. Ataukah bisakah seorang jaksa atau hakim yang sudah mutasi bisa kembali ke kantor sebelumnya untuk membentak-bentak orang yang akan membuka kejahatannya. Inilah salah satu hal yang membedakan penegakan hukum di Lembata dan wilayah NKRI lainnya. Saya sangat prihatin dengan kerusakan yang ditimbulkan di Lembata,: pungkasnya. (bop)

Komentar ANDA?