Oleh: Thomas Tokan Pureklolon.
Pemahaman tentang politik dalam menghadapi pemilu, berkisar tentang segenap kebijakan yang dihasilkan selalu melewati berbagai kepentingan, dan kepentingan yang paling diperhitungkan adalah soal selera kesenangan kaum milenial, dewasa ini.
Menghadapi pemilu 2024 yang tinggal hitungan ratusan hari lagi, eksistensi pemilih pemula menjadi incaran politik yang mempesona bagi para politisi yang akan berlaga di medan pemilu. Pemilih pemula yang note benenya adalah kaum muda dengan sebutan kerennya adalah kaum milenial, kini berada dalam dua tegangan antara masa lampau, yang penuh dengan aneka tuntutan normatif dan banyak keterbatasan yang perlu dibenahi. Di samping itu, terkuak berbagai tren masa depan yang ditawarkan melalui teknologi canggih secara hingar-bingar dan gegap gempita, yang sekaligus melahirkan berbagai spekulasi dalam menelaah berbagai informasi dan menelisik beragam berita di media massa.
Spekulasi yang saya maksudkan adalah spekulasi politik yang merupakan suatu pemikiran terhadap suatu tindakan politik yang masih bersifat dugaan dan belum disertai dengan data, bukti, atau pengetahuan yang pasti, terhadap fenomena politik yang terjadi. Salah satu contoh spekulasi politik yang pernah terlihat di publik adalah spekulasi tentang pertemuan antara pak Prabowo dan Ibu Megawati.
Seperti diketahui sebelumnya, kedua tokoh politik ini, berada pada posisi politik berbeda yang memperjuangkan kursi pemerintahan di Indonesia. Karena hal demikian, hadirnya spekulasi politik dapat saja terjadi bahwa pertemuan kedua tokoh politik ini adalah hal yang biasa dalam perilaku politik (political behaviour) sebagai tanda dimulainya awal kerja sama antar partai PDIP dan Gerindra untuk masa pemerintahan di tahun 2024. Dalam konteks ini, spekulasi politik pun, dapat didefinisikan sebagai suatu pemikiram ‘bisnis’ yang mengandalkan asumsi dan harapan tinggi terhadap suatu pasaran dengan hanya memiliki segelintir informasi yang cenderung mengabaikan hal fundamental yang berlaku. Lazimnya, sebuah spekulasi, suatu pasaran yang dapat naik dalam kurun waktu tertentu dan cenderung berorientasi dalam jangka pendek (Thomas T. Pureklolon, Politik Modern menuju Negara Kesejahteraan, 2021:128-129). Persiapan pemilu 2024, taruhan politik yang tak bisa dielakan adalah adanya ketegangan politik antara massa sebagai pengagum masa lampau (yang masih berjalan sekarang), dan idealisme perubahan politik dari massa sebagai pengagum masa depan.
Tentang Ketegangan Politik
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, perilaku politik tetap bergerak maju dengan berbagai tawaran kepentingan menggoda yang mengundang banyak konflik (conflick) dan bisa melahirkan beragam sengketa (dispute), yang tak pernah ada habisnya. Politik dalam perilakunya lewat para politisi dan pemangku kepentingan lainnya, terjadi begitu saja dalam sistem yang tetap saja berjalan. Ketegangan politik pun terus saja berjalan antara pemangku kepentingan politik masa lampau, dengan idealismenya politik kaum milenial.
Pemilik masa lampau berargumentasi bahwa, antara konflik politik dan sengketa politik yang terjadi dalam pemilu, tentu ada jalan keluarnya walau penuh berliku dan banyak jurang yang terjal. Utamanya, siapa pun yang menghadapinya masih survive hidup sampai saat kini. Di samping itu, para pengagum masa depan yang penuh dengan idealisme politik berargumentasi bahwa mereka mau membuat perubahan dengan premis dasarnya adalah siap saji (get ready for use) untuk memberikan bukti kinerja pembangunan politik kepada siapa pun dan terjadi kapan saja, asal bisa berjalan ibarat roda politik yang terus (on going) berputar setiap lima tahun-an.
Roda politik kian kencang berputar sesuai status owner atau pemilik masa lampau atau pun pengagum masa depan, masing-masingnya bertindak sebagai pengendali utama, yang dalam pandangan publik terlihat banyak menabrak aturan mainnya (anomi) terhadap lingkungan politik yang ada di sekitarnya. Berbarengan dengan itu, sebuah pertanyaan politik segera hadir dan membutuhkan jawaban singkat adalah langkah politik strategis apa yang mau dibangun, agar pemilu yang tinggal ratusan hari ini, bisa berjalan baik dan selalu berpihak pada seluruh rakyat, termasuk di dalamnya kaum milenial. Jawabannya adalah kembali ke semangat nasionalisme Indonesia ( National interest ) dan berpegang teguh pada regulasi utama yakni konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dapat dibayangkan selanjutnya bahwa deraan politik bisa beranjak akhir menjadi terbebas, dan pemilu 2024 pun bisa berjalan demokratis, transparan dan akuntabel, jika segenap problem politik negara dilihat dengan bijaksana dan tetap bersandar pada regulasi Nasionalisme Indonesia dan Konstitusi NKRI, sebagai afirmasinya. Semoga demikian.
========
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP, Universitas Pelita Harapan