Oleh: Dr Wihelmus Ola Rongan, M.Sc
Explorasi Budaya Sare Dame Lembata tengah di ambang pintu. Dibayangkan bahwa Februari ini menjadi bulan persiapan menuju puncak acara pada tanggal 7 Maret.
Namun di tengah persiapan itu, ada banyak suara, tidak sedikitnya mempertanyakan. Hal itu wajar saja. Sebuah perhelatan dengan dana tidak sedikit, Rp 2,5 miliar perlu dikritisi. Di sinilah tugas kaum intelektual, ‘ata lembata’ untuk beropini termasuk melihat ‘ritual adat’ secara lebih luas dan bukan sekadar ritual ‘in se’.
Harus diakui, isu ini cukup ‘seksi’ untuk dikomentari. Tetapi sebagai intelektual, tidak ada salahnya kalau kita berpikir lebih jauh dan dalam menangkap apa yang ada di baliknya. Diharapkan dari sana kita bisa menemukan makna yang tentu tidak bisa kita ukur sekarang dan dari sisi dana. Nilai futuristik yang kita tanamkan sekarang diharapkan bisa kita petik berkat komitmen kita bersama terhadap apa yang sudah dimulai.
Pada tempat pertama, sebagai intelektual dan akademisi punya posisi jelas. Eksplorasi Sare Dame itu perlu ditempatkan sebagai sebuah gerakan sosial budaya. Itu adalah gerakan cinta Lembata. Lembata yang satu dan Damai. Lembata seperti ini adalah modal dasar yang dibutuhkan pembangunan Lembata. Saat ini kita lebih butuhkan modal ini, dari pada modal ekonomi.
Sebagai gerakan maka ia mengandung pesan bahwa apa yang dimulai sekarang merupakan ‘investasi’ untuk masa yang akan datang. Dengan demikian ia tidak sekadar masalah ritualistik seperti yang diduga segelintir orang. Aneka ritus yang dimiliki merupakan kekayaan yang menjadi bagian dari pembangunan. Ia sudah menjadi akar dan dasar hidup kita. Karena itu ketika diangkat dalam konteks gerakan, maka hal itu menyadarkan bahwa kita tidak terpisahkan darinya.
Cara pandang inilah yang perlu disepakati dari awal. Kita tidak hanya bicara tentang masalah pembangunan ekonomi tanpa mengaitkannya dengan budaya yang melingkupi. Malah budaya perlu menjadi induk karena dari sana bisa lahir aneka inisiatif cemerlang memajukan ekonomi.
Tetapi apa yang terjadi di Lembata selama ini? Tidak bisa kita pungkiri adanya aneka kemajuan. Tetapi kalau kita kritis, selama 20-an tahun menjadi otonomi, kita terlihat masih tertinggal.
Salah satu alasan pokok ialah karena Lembata terlalu ribut dan kacau. Akar kekacauan itu ada dimana? Ya, di sekitar perebutan dan bagi-bagi kekuasaan antara para elit (pejabat dan pengusaha).
Kalau mau jujur, semua kekacauan yang terjadi di Lembata saat ini karena strategi politik yang diterapkan di Lembata sejak awal otonomi sampai sekarang adalah politik oligarki, politik primordial suku/daerah, politik uang, politik monopoli. Bukan politik demokrasi yang benar, bukan politik berbasis kinerja. Bukan juga politik yang diletakan di atas amanah kebudayaan orang Lembata.
Hasil dari politik ini ialah kepentingan rakyat pada umumnya ditelantarkan. Lalu kepentingan golongan, suku, etnik, pendukung yang diperjuangkan. Semuanya ini menimbulkan kegaduhan yang tidak pernah berhenti berhenti di Lembata sampai saat ini. Kegaduhan ini adalah kontraproduktif terhadap pembangunan di Lembata.
Politik buruk yang dipraktekkan di Lembata ini bukan politik orang Lembata, melainkan politik warisan penjajah dan raja-raja dulu yang Kong kali Kong dengan penjajah untuk memeras rakyat Indonesia.Politik kotor ini bertentangan dengan nilai-nilai luhur orang Lembata: Sare, Dame, taman tou, tubun upal, tawun mawu.
Nilai-nilai luhur masyarakat Lembata ini ada di dalam berbagai budaya leluhur kita, dan salah satunya itu ada dalam ritus Sare Dame itu.
Tugas Intelektual
Lalu di manakah peran intelektual di tengah ‘kekacauan’ yang terjadi? Terhadap pertanyaan ini, ada politisi yang mengatakan ‘kita aman-aman saja’. Sebuah penilaian yang kita sayangkan. Mereka melihat pertikaian atau ‘keamanan’, ‘kedamaian’ hanya dalam arti tidak adanya pertikaian. Padahal di dasarnya sikug-menyikut begitu kerap terjadi. Di sini bisa muncul kesan seakan kita sudah ‘biasa’ dan ‘kebal’ dengan hal seperti itu.
Ada politisi, pejabat, birokrat dan lain-lain sedang membangun narasi dan opini melawan gerakan sosial budaya Sare Dame ini dengan mengatakan bahwa Lembata tidak ada masalah, desakralisasi ritus Sare Dame, hambur uang miliaran, dll.
Soal uang 2.5 m itu ribut luar biasa. Saya kira Sare Dame sebagai suatu gerakan kolektif sosial budaya yang melibatkan seluruh masyarakat Lembata memang butuh uang. Uang ini juga sumbernya dari APBD artinya uang milik masyarakat Lembata kan? Uang rakya tini bisa dipakai untuk kemajuan kebudayaan daerah sesuai amanat UUD 1945 Pasal 32 ayat 1 tentang tanggungjawab dalam mengembangkan kebudayaan nasional dan UU No 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Kalau demikian, maka uang 2.5 m kalau dipakai untuk beli ikan asin memang terlalu mahal, tapi kalau dipakai untuk gerakan kontientisasi sosial budaya yang melibatkan seluruh masyarakat Lembata apakah itu mahal? Jadi, yang terpenting duit itu dipakai secara transparan, dengan tujuan dan sasaran yang jelas serta terbuka untuk diaudit kemudian
Berhadapan dengan hal seperti ini, kaum intelektual tentu diharapkan untuk berpikir lebih jauh dalebih dalam. Kita sebagai intelektual coba bekerja sama dengan masyarakat dan pemerintah untuk menggali nilai-nilai luhur ini dan mempromosikannya sebagai dasar untuk kebijakan pembangunan sosial, politik, ekonomi dan budaya di Lembata.
Nilai-nilai luhur ini diharapkan bisa menetralisir politik oligarki, politik primordialisme, politik uang, politik monopoli di Lembata saat ini. Nilai-nilai luhur ini adalah modal kita dalam pembangunan. Di sinilah kita harapkan kehadiran kaum intelektual. Sebagaimana asal kata intelektual dari kata intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan, maka di saat seperti ini kehadiran kita untuk memberikan pemahaman, menghadirkan pengertian yang benar dan mencerdaskan masyarakat sangat dinantikan.
Pada sisi lain kita pun perlu berpikir bahwa keterlibatan akademisi dalam gerakan ini (kalau ada) hanya dilatarbelakangi oleh ajaran katolik tentang Publico Bono atau Bonum Commune dan juga merupakan bagian dalam gerakan nasional untuk pemajuan kebudayaan daerah dan nasional.
=========
Dr Wihelmus Ola Rongan, M.Sc (Sosiolog Pedesaan dan Pembangunan, University of the Philippines).