Oleh: Hanna Suteja, M. Hum.
Ketika seseorang mempelajari bahasa, aspek yang umumnya menjadi fokus utama adalah tata bahasa dan pemilihan kosakata. Namun demikian, dalam berbahasa kita tidak sekedar merangkai kata-kata untuk membentuk kalimat yang gramatikal. Rangkaian kata-kata dalam sebuah kalimat haruslah bermakna dan kontekstual sehingga maksud dan tujuan penutur dimengerti oleh pendengarnya.
Menurut Chrystal (2014) Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang memberikan penjelasan mengapa kita memilih kata-kata tertentu dengan menggunakan struktur kalimat tertentu ketika berkomunikasi. Seorang penutur tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu dengan pemilihan kata dan pola kalimat tertentu. Di lain pihak pendengar juga diharapkan dapat menangkap maksud dan tujuan penutur ketika penutur memilih kata-kata dengan pola kalimat tertentu.
Jika pendengar hanya terpaku pada, misalnya, kosakata tanpa menimbang maksud dan tujuan penutur, ada kemungkinan pendengar gagal paham dengan maksud penutur. Sebagai contoh dua tahun lalu ada kasus yang cukup kontroversial mengenai penggunaan kosakata tertentu dalam bahasa asing. .
Seorang dosen Business School di satu universitas di Amerika memberikan kuliah Komunikasi dan menggunakan satu kata bahasa Mandarin nei ge yang berarti itu dalam Bahasa Indonesia atau that/that one dalam Bahasa Inggris. Kata tsb dipakai oleh dosen tsb dalam konteks untuk memberikan contoh penggunaan filler untuk mengisi jeda dalam ujaran dalam komunikasi. Kata nei ge merupakan filler yang umum dipakai dalam bahasa Mandarin sama halnya dengan uh, er, like dalam Bahasa Inggris, dan dalam Bahasa Indonesia hm, anu, itu. Kata anu, misalnya, dapat berarti dan berkonotasi lain jika konteksnya berbeda, namun dalam komunikasi informal kata tersebut tidak dianggap berkonotasi negatif.
Jadi dalam komunikasi filler berfungsi sebagai pengisi jeda dalam ujaran ketika seorang pembicara memerlukan waktu untuk berpikir, mengingat-ingat, atau ragu-ragu. Kata-kata pengisi jeda tidak mempunyai arti pada dirinya sendiri dan harus lebih dimengerti dari fungsinya dalam ujaran. Hampir semua bahasa memiliki kata-kata filler sendiri untuk menjaga agar percakapan tidak terputus sehingga memperlancar jalannya sebuah komunikasi.
Namun demikian, mengapa penggunaan kata filler dalam kasus ini menjadi masalah bagi pendengarnya dan menjadi isu yang cukup kontroversial pada waktu itu. Protes dari mahasiswa kandidat MBA kulit hitam yang disampaikan kepada pihak administrasi kampus mengatakan bahwa penggunaan nei ge pelafalannya mirip dengan nigger yang merupakan sebutan rasis bagi komunitas kulit hitam dan dianggap sebagai suatu penghinaan dan tidak sepatutnya diucapkan. Pihak universitas menanggapi protes tsb dengan tidak mengijinkan dosen tsb mengajar di kelas itu lagi tetapi beliau masih boleh mengajar kelas-kelas lainnya.
Kebijakan yang diambil universitas ini menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak. Dukungan terhadap dosen tersebut datang dari berbagai pihak; tanggapan datang dari pihak mahasiswa Cina di universitas tersebut dan juga dari Cina, dan Hongkong. Mereka menganggap pelafalan kata nei ge sudah akurat dan penggunaannya sudah tepat dalam konteks perkuliahan sebagai contoh kata pengisi jeda dalam Bahasa Mandarin. Jadi apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa ini?
Dalam Linguistik ada perbedaan yang signifikan antara pengertian kalimat dan ujaran. Kalimat adalah serangkaian kata-kata yang terstruktur menurut kaidah bahasa yang baik dan mempunyai arti sebagaimana adanya. Ujaran merupakan kata-kata atau kalimat yang diucapkan pada satu peristiwa (speech event) sehingga arti ujaran tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks peristiwa di mana, kapan, bagaimana dan siapa yang mengucapkannya serta siapa pendengarnya. (Kroeger, 2018) Di sini ada perbedaan yang penting ketika seseorang harus menanggapi arti sebuah kata dalam kalimat dan ujaran. Dari kasus yang dijabarkan di atas pemakaian kata nei ge dapat dikategorikan sebagai ujaran karena kata tsb diucapkan dalam satu peristiwa yaitu dalam perkuliahan utuk menjelaskan penggunaan kata pengisi jeda dalam komunikasi, dalam hal ini dengan contoh Bahasa Mandarin.
Keputusan dosen tsb untuk menggunakan kata tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sikap inklusif dan ini tentu dapat dimengerti mengingat ada mahasiswa Cina yang belajar di kelas tersebut. Namun, di lain pihak ada pula mahasiswa kulit hitam yang pada saat yang sama mengikuti perkuliahan tsb. Ketika kedua kelompok mahasiswa dari etnis yang berbeda ini mendengar ujaran yang sama, interpretasi dan respon mereka sangat berbeda.
Contoh peristiwa di atas hanyalah satu di antara kesalahpahaman yang dapat terjadi dalam sebuah komunikasi yang disebabkan oleh dilepaskannya sebuah kata atau phrasa dari konteksnya dalam ujaran. Presuposisi juga memegang peranan yang penting dalam menginterpretasi dan merespon sebuah ujaran. Sekelompok orang atau individu dari latar belakang tertentu akan segera memiliki asumsi tertentu baik positif atau negatif ketika menggunakan atau mendengar kata-kata tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa penutur bahasa seyogyanya memperhatikan pilihan kata-kata mereka dengan mempertimbangkan kepada siapa mereka berbicara dan dalam kesempatan apa dan kapan ujaran tersebut diucapkan.
Dengan memperhatikan hal ini diharapkan kesalahpahaman dapat diminimalisir dan tujuan komunikasi dapat tercapai tanpa adanya implikasi yang tidak diharapkan bagi kedua belah pihak.
========
Penulis adalah: Dosen Bahasa Inggris, Universitas Pelita Harapan, Jakarta