Oleh: Thomas Tokan Pureklolon
Publik Jakarta menyaksikan praktik demokrasi yang sedang mati tertelungkup di tengah demos yang berbaju agama dan diselimuti oleh kegelapan awan tebal egoisme yang terus mencekam. Nota politik hitam hadir secara serempak menodai bulan suci Ramadhan kaum muslimin, dan Sakralnya Pecan Suci yang sedang berlangsung bagi kaum kristiani. Sungguh sebuah ironi besar yang hadir seperti monster di tegah negara yang nota benenya terbilang rukun dan damai, aman dan sentosa. Dengan kata lain termonologi dialog antar agama kehilangan maknanya, menjadi percuma dan terhilang tanpa bekas.
Esensi utama varian negara adalah rakyat dan esensi utama varian demokrasi adalah demos. Dalam pemahaman politik, demos dalam sebuah polis atau secara langsung praktik demos dalam berdemokrasi mengisyaratkan bahwa adanya demos yang bersuara ( parle ): Vox Populi Vox Dei, kini sudah menjadi kambing hitam yang berpotensi menghancurkan dirinya sendiri. Multikulturalisme yang diserukan dengan menghargai pelbagai perbedaan secara intens, kini tidak bertahan dan hadir seperti bangunan yang tidak kuat alias rapuh. Agama yang sebenarnya hadir sebagai lembaga kedamaian berubah segera menjadi seruan dan ratap tangis.
Agama yang bisa membuat praktik berimannya seseorang menjadi panutan dan contoh yang lahir dari lubuk hati yang bening, kita perpindah tempat menjadi selimut kekerasan yang membalut agama, yang kapan saja siap disulut, ditanggalkan dan seterusnya dilemparkan ke orang lain melalui adu fisik. Memalukan: Status agama akhirnya sebagai institusi penanganan kekerasan.
Adegan konkritnya, insiden pemukulan terhadap Bung Ade Armando sang akedemisi dan intelectual campus matters, yang terjadi pada demonstrasi, 11 April 2022 adalah tindakan anarkis dari sekelompok orang penganut aliran yang saya sebutkan dengan : “ Antara halusinasi kehidupan dan masa depan yang sudah pudar.” Mereka ( kelompok yang bersangkutan ) berhalusinasi politik bahwa akan segera terjadi pergatian regim yang tidak mungkin terjadi karena bertentangan dengan konstitusi dan berbanding terbalik antara tuntutan mereka dan kinerja bapak Joko Widodo selama ini, bahkan isi tuntutannya tentang BBM harus turun, dan menolak masa jabatan presiden tiga periode atau pun penundaan pemilu 2024.
Tuntutan itu pun telah ditepis oleh bapak Joko Widodo beberapa hari sebelum dengan unjuk kerja sebagai seorang negarawan, dengan mengerahkan KPU Pusat dan Bawaslu untuk menyiapkan segala kelengkapan untuk Pemilu 2024. Sungguh sebuah kematangan dalam pembangunan politik yang dilakukan oleh bapak Joko Widodo, dan menjadi sebuah ironi besar atas peristiwa politik jalanan kaum demostran seperti menampilkan sebuah lelucuan yang tidak lucu dalam panggung politik.
Mahasiswa itu identik dengan “Academic Intelectual Capus Matters”. Bolehkah menghabiskan lebih banyak waktu secara proporsional untuk membaca, merenung dan menulis dalam rimba buku-buku teks tentang materi pembelajran ala kampus? Disebut sebagai academic intelectual berarti masuk ke dalam kaum intelektual di negeri ini dan langsung mendapat bernading sematan baru yakni orang yang mempunyai gagasan tentang nasion walaupun mereka sendiri belum mampu menciptakan suatu nasion.
Mereka bisa menjadi korban dari keadaan itu, karena nasionalisme belum tentu menjadi warga negara. Keanggotaan suatu bangsa yang berdaulat selalu mengandung arti keterikatan pada warga bangsa yang membentuk bangsa tersebut. Ia segera mengandung arti “sifat sebagian” dari suatu keseluruhan, dalam arti adanya rasa tanggung jawab kepada bangsa dan untuk bangsa ( Aswab Mahasin, Ismed Natsir, 1984:279 ). Dalam kehidupan politik, sifat-sifat semacam ini merupakan kebajikan dari sopan santun.
Perlulah diingat bahwa sopan santun hingga kini belum merupakan salah satu dari ciri-ciri penting kaum intelegensia yang berpolitik di tengah penduduknya yang yang mesti banyak membaca dan merenung di bidangnya. Politisasi yang keras sukar diserasikan dengan kesopanan karena dua kutub yang berbeda antara otot dan otak yang diperhadapkan. Politisasi yang keras itu disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang seasas dan sependirian sajalah yang merupakan anggota masyarakat yang terorganisir sebagai negara, dan sebaliknya mereka yang tidak seasas dan juga tidak sependirian dipisahkan dengan tembok yang menjulang tinggi, dan kalau pun darahnya tertumpahkan; itu pun disebut dengan bahasa agama yang berselimut kekerasan bahwa darahnya halal.
Politik jalanan demonstrasi mahasiswa “kita apresiasi” karena memperjuangkan nasip rakyat Indonesia yang dianggap tersolimi dan terpinggirkan dalam arti luas dan positip. Pertanyaannya adalah apakah seluruh mahasiswa berpikir pada saat yang sama seperri itu? Kalau jawabannya adalah: Tidak, maka perjuangan mahasiswa itu tentu diberi cap politik baru yang segera medapat label, maaf, politik yang tidak beretika karena absen terhadap pemikiran kritis (chrtical thinking ) dan terlalu berjarak dengan kebaikan bersama ( bonum commune ).
Perjuangan mahasiswa secara cerdas dalam sejarah pemikiran politik Indonesia:
Coba sedikit rilekslah dan sedikit tenanglah untuk menengok sejarah politik masa lampau mulai dari Budi Utomi, Sumpah Pemuda, sampai pada Proklamasi dan seterusnya Reformasi hingga dewasa ini. Tentu terdapat banyak momen perjuangan yang semestinya mengundang segenap mahasiswa ( kita semua ) untuk segera bermukim di dalamnya sambil menelisik lebih lama dan menemukan spirit kebenaran sejarah pembangunan politik di negeri ini. Kebenaran itulah yang perlu kita seret ke masa kini.Tekad kita sekarang dan seterusnya ke depan adalah satu yakni “PERSATUAN Indoensia”.
========
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP, Universitas Pelita Harapan – Jakarta