Quo Vadis ‘Nasdem’ NTT?

0
3027

Oleh : Robert Bala

Pilkada 9 kabupaten di NTT sudah selesai. Meski belum ada pengumuman resmi, tetapi hasil quick count telah mengelus nama pemenang.

Di antara banyak pertanyaan, salah satu yang cukup menggugah adalah bagaimana dengan Partai Nasdem? Bertanya demikian beralasan. Di NTT, Nasdem adalah partai yang tengah berkuasa. Victor Laiskodat sukses diangkat menjadi Gubernur. Hal itu kemudian dimeteraikan dalam pemilihan legislatif.

Tetapi mengapa kali ini Nasdem terjungkal? Tentu kegagalan bukan hanya Nasdem. Nasib PDIP hampir sama. Bersama PDIP, keduanya hanya menang di 3 kabupaten. Selebihnya kalah telak. Yang barangkali cukup beruntung Golkar. Tetapi tulisan ini lebih fokus pada Nasdem. Apakah masa bulan madu dominasi yang telah dicapai bakal bertahan bahkan meningkat atau telah berada pada masa antiklimaks?

Nasdem belum berumur 10 tahun (berdiri 11 November 2011). Tetapi sejak pileg pertama (2014) sudah mengusung 2 wakilnya dari NTT. Pada pileg kedua (2019), bahkan memiliki 3 anggotanya di Senanyan. Partai besar seperti Gerindra, digeser malah digusur.

Keberhasilan Nasdem sudah terbaca sebelumnya (2018) saat pemilihan gubernur NTT. Victor Laiskodat diusung menjadi gubernur NTT. Sejak saat itu dan kemudian terbukti sudah terdeteksi bahwa masa depan Nasdem akan sangat gemilang.

Kondisi itu tentu didukung oleh perubahan konstelasi politik internal PDIP yang menghadirkan kekecewaan dari kadernya yang tidak terakomodir jadi calon gubernur NTT. Raymundus Fernandez dan Kristo Blasin (selian Honing Sani) sekadar menyebutkan 2 kadernya berpindah dari PDIP. Raymundus dan Kristo dengan mudah diterima di Nasdem dan ikut menandai kesuksesan di Pileg tahun 2019.

Pencapaian di berbagai kabupaten turut menyakinkan bahwa partai ini memiliki alasan untuk diperhitungkan tidak hanya di masa depan tetapi sudah terbukti kini. Pencapaian yang fenomenal terjadi di Kabupaten TTU. Ada alasan yang cukup kuat. Raymundus tidak saja asal pindah ke Nasdem tetapi didaulat jadi Ketua DPW Nasdem NTT.

Gebrakan besar pun segera terlihat. 8 anggota DPRD TTU menggeser posisi dominan PDIP sebelumnya menggambarkan bahwa partai ini sudah menjadi parpol besar di NTT. Keterwakilan 3 anggota di DPR RI membenarkan hal ini. Isteri bupati TTU, Kristiana Muki menjadi salah satu representasinya.

Semuanya ini menjadi alasan yang cukup kuat memperhitungkan bahwa Nasdem akan menyapu bersih wakilnya di berbagai kabupaten. Dengan kekuatan yang ada pada Gubernur sebagai representasi Nasdem, banyak orang potensial akan direkrut menjadi pemimpin.

Tetapi yang terjadi kali ini cukup mengagetkan. Sebuah alarm besar bahwa kemajuan Nasdem yang pesat dipertanyakan. Apakah hal itu didasarkan pada ideologi yang kuat yang menjamin keberhasilan masa depan, ataukah sebauh eufori yang telah mencapai klimkasnya pada pileg dan kini mulai menurun ke titik terendah?

Kematangan Berpolitik

Sebagai partai baru, era konsolidasi dan sosialisis mestinya merupakan proses yang sulit. Hal itu tidak dialami. Sambutan Nasdem di tingkat nasional terutama aneka promosi melalui Metro TV menjadi alasan yang cukup kuat. Selain itu perpindahan kader potensial PDIP (seperti Raymundus Fernandez dan Kristo Blasin) merupakan momen pas untuk membesarkan Nasdem.

Yang terlupakan, eufori dukungan seperti ini mestinya tidak melupakan bahwa kemajuan pesat ini bukan didasarkan oleh prestasi tetapi lebih merupakan anomali. Hal itu karena terjadi perubahan di luar kendali normal. Karenanya Nasdem mestinya menyadari bahwa sebelum mencapai usia 15 tahun, ia masih berada pada posisi ‘sosialisasi’ untuk mempersiapkan diri ke arah kematangan yang lebih baik.

Yang terjadi cukup lain. Setelah sukses memiliki wakil di DPR Pusat pada 2014 dan terutama kesuksesan di tahun 2019 maupun pilkada Gubernur NTT telah membuat Nasdem seakan lupa daratan. Ia lupa sosialisasi dan konsolidasi. Dalam pilkada seperti di TTU, Nasdem malah begitu ‘pede’ hingga tidak mau ‘kawin’ dengan parpol lainnya. Ia malah sudah yakin bahwa akan terpilih. Karenanya jabatan DPR Pusat (Kristiana Muki ditinggalkan). Demikian Yosef Tani yang masih belasan tahun jadi PNS pun rela ditinggalkan. Semuanya karena keyakinan (berlebihan) bahkan bakal menang.

Dalam arti ini maka kekalahan kali ini mestinya menyadarkan bahwa tahapan sosialisasi itu harus terus diingat. Ibarat anak kecil seumur Nasdem. Ia dipaksakan untuk menyanyikan lagu-lagu cinta yang tidak sejalan dengan umurnya. Memang ia bisa menyanyikan lagu itu tetapi secara psikologis ia belum berada pada tahapan ini. Hal ini yang terlupakan dan kini terbukti. Singkatnya, Nasdem mesti selalu ingat akan proses sosialisasi dan tidak terlalu ‘overconfidence’ karena hal itu bisa berujung fatal hal maan terjadi dalam pilkada 2020 ini.

Selain itu, Nasdem ke depan akan menjadi partai yang lebih sukses kalau semboyan ‘tidak ada mahar politik’ diwujudkan secara proaktif dengan merekrut politisi muda potensial tetapi tidak memiliki dana untuk membeli partai. Itu berarti upaya menjadikan ideologi sebagai prinsip lebih diutamakan ketimbang secara spekulatif berduel dalam kontekstasi yang berujung kekalahan. Sebaliknya dibutuhkan upaya konsisten merekrut kader potensial yang belum dan tidak terlirik ketika di partai lain masih dominan ‘mahar politik’.

Harus diakui bahwa selama periode 9 tahun di Indonesia dan NTT, upaya rekrutmen menangkap kader potensial belum maksimal. Yang terjadi upaya menangkap kader yang sudah terbukti hebat dan karenanya direkrut masuk ke Nasdem. Hal ini juga penting karena termasuk bagian dari strategi, tetapi hal itu tidak akan kuat, karena hanya memanfaatkan popularitas orang yang bisa menguntungkan tetapi juga bisa mencelakakan dalam jangka Panjang.

Pada akhirnya, masa depan Nasdem NTT akan sangat bergantung pada kiprah Victor Laiskodat dalam 3 tahun kemepimpinannya ke depan. Tak berlebihan bila dikatakan Victor masih populer dengan pernyataannya yang kerap provokatif seperti tentang arak Sopia, Klaim diri sebagai penjahat yang meraih gelar professor, Turis Miskin di NTT, sekadar menyebut tiga contoh.

Ungkapan seperti ini mestinya lebih familiar untuk anggota legislative yang melansirkannya saat masa reses de daerah. Sementara saat menjadi pemiimpin eksekutif, yang dibutuhkan adalah aksi nyata yang memberdayakan melalui program merakyat dan menyapa.

Di sini harus diakui kevakuman yang belum sukses dihadirkan dalam 2 tahun kepemimpinannya. Dikautirkan, bila sisa waktu 3 tahun mendatang, upaya itu tidak terwujudkan secara maksimal, tidak bisa disangkal bahwa hal itu bisa menjadi ganjalan tidak saja untuk meraih periode ke-2, tapi bahkan harus menyerahkan kekuasaan itu ke parpol lain.

Genderang perang itu akhirnya ditentukan oleh kiprah gubernur NTT. Kalau 3 tahun menghadirkan karya fenomenal yang menyapa maka masa sosialisasi akan berakhir dengan kematangan berpolitik Nasdem. Tetapi bila gagal, maka masa emas kini akan segera diikuti post-klimaks yang berujung pada penurunan drastis. Tentu hal ini tidak diharapkan hal mana butuh transformasi berani kini.

Itu berarti ke mana perginya Nasdem tidak ditentukan oleh masyarakat pemilih tetapi ada di tangan Nasdem sendiri. Bila seperti Petrus yang dipertanyakan upaya melarin diri dari kota Roma menghindari pergulatan yang terjadi maka Nasdem harus berani kembali menghadapi masalah sulit untuk menghadirkan transformasi mencengankan.

=========

Robert Bala, Pemerhati Sosial – Budaya. Tinggal di Jakarta.

Komentar ANDA?