RUTENG.NTTSatu.com – Ritus Paka Dia atau Kenduri di Manggarai ternyata mempunyai makna yang mendalam yaitu mohon doa keselamatan jiwa bagi arwah yang meninggal dunia. Ritus ini digelar dengan doa adat dari keluarga besar baik itu dari pihak Anak Rona (pihak saudara), Ase Kae (pihak keluarga), Pang Olo Ngaung Musi (keluarga besar sekamping, dan Anak Wina (pihak saudari) yang ditandai dengan puncak penyampaian pesan/doa atau Tudak dalam bahasa Manggarai kepada almarhum atau almarhuma yang diungkapkan dengan Renge Ela (babi persembahan) disembelih di depan rumah duka.
“Inti dari ritus Paka Dia adalah doa untuk keselamatan jiwa bagi arwah alamarhum atau almarhuma yang meninggal dunia dan memohon kepada E’ma Jari Mori Dedek ( Tuhan) perlindungan bagi keluarga yang ditinggalkan baik itu keluarga besar Anak Rona, Anak Wina, Ase Kae dan Pang Olo Ngaung Musi agar tidak terjadi lagi bencana kematian yang sama dalam satu keluarga,” kata Blasius Taut tokoh adat Kampung Tenda Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai kepada NTTsatu.com belum lama ini.
Dia menjelaskan adapun rangakaian acara dalam ritus Paka Dia diantranya “ura cai”, “kapu ase kae”, “rahi renge ela”, “toto urat”,dan “hang helang”
Tura cai yang dimaksudkan adalah penyambutan Anak Wina dan Anak Rona di rumah duka dengan Tuak Kapu (Moke penyambutan di rumah duka) bagi Anak Wina disebut ris (ucapan selamat datang dari tuan rumah) Tuak Kapu biasanya dijawab oleh pihak anak wina kemudian tuak diberi kembali kepada tuan rumah dengan menggunakan uang tergantung berapa besar yang disiapkan anak wina kemudian diberikan kepada toko adat yang dipercayakan tuan rumah untuk menyambut Anak Wina sementara untuk Ana Rona sendiri Tuak kapu tidak diganti menggunakan uang
Dalam acara ini Anak Rona membawa beras , moke dan rokok sementara Anak wina membawa ayam atau kambing dan uang yang sudah disepakati sebelumnya sehingga diakhir acara beras, rokok dan moke menjadi Wali atau diganti oleh Anak Wina dalam rupa uang sementara ayam atau kambing menjadi buah tangan dari anak wina kepada Anak Rona dalam rangka meminta rejeki dalam kehidupan
Dalam tradisi Manggarai menghormati Anak Rona sama halnya kita meminta rejeki dalam kehidupan anak wina. “Menghargai Anak Rona dalam tradisi Manggarai merupakan hal yang istimewa dalam rangka meminta berkat kehidupan bagi Anak Wina,” katanya.
Setelah acara penyambutan Anak Rona dan Wina disuguhkan minuman dan makanan ringan, setelah itu dilanjutkan dengan karong (penuntunan) rumah untuk istirahat sambil menunggu acara inti “rahi” di rumah duka demikian pula anak rona dituntun di rumah yang sudah disiapkan tuan rumah.
Di rumah istirahat Anak Wina kemudian diberi makan siang dengan menu daging babi sementara Anak Rona di rumah lainya makan siang dengan menu yang berbeda dengan anak wina para Anak Rona dengan menu daging ayam atau kambing ataupun daging anjing.
Setelah makan siang khusus bagi anak wina menyerahkan uang Tadu Lopa (uang bagi ibu -ibu dan pelayan yang melayani para Anak Wina ). Setelah itu Moke dan rokok yang dibawa anak rona diserahkan oleh pelayan kepada Anak Wina, kemudian rokok dan moke diganti dengan menggunakan uang dimana uang pengantinya lebih besar dari harga rokok dan moke.
“Kalau rokok Gudang Garam Surya harganya Rp 13.000 pastinya anak wina mengantikannya dengan Rp 20.000 demikian pula tuak kalau dalam rupa bir dengan harga Rp 30.000 dan akan diganti dengan uang Rp 50 ribu,” kata Blasius.
Selanjutnya, setelah acara istirahat makan siang, para Anak Wina dan Rona kemudian kembali ke rumah duka untuk mengikuti acara puncak yaitu rahi. Acara ini merupakan acara inti penyampaian dan penyatuan pesan dan doa adat akhir kepada almarhum atau almarhumah yang meninggal dunia memohon kepada Tuhan senantiasa arwahnya diterima dan duduk disebelah kanan Allah dan meminta kepada Tuhan bagi perlidungan arwah nenek moyang maupun keluarga yang meninggal sebelumnya untuk melindungi segenap keluarga yang telah ditinggalkan semoga tidak terjadi kejadian yang sama.
Blasius menuturkan, penyatuan doa dan pesan ini dilakukan dengan tudak ( doa adat) oleh seorang torok (tokoh adat yang sudah dipercayakan untuk membawakan doa adat ini sambil Renge Ela (penyembelihan seekor babi di depan pintu rumah duka).
Bahasa adat yang biasa digunakan adalah Denge le hau……(sebut nama yang meninggal), dion olo hau lako toe baro ngo toe tombo, kud wale benta de morin agu ngaran. Sengget wintuk agu gauk di’a de hau porong baa kamping morin. Kud bae le hau, hitu pe’ang ela, ai leso ho de hau adak ngasang pat mpulu wie/kelas. Porong hau kali di’a lako kamping mori, neka manga baa sanget rabo agu jogot ka’eng golo, neka poto hae lonto neka dade hae ka’eng. Neka manga nipu sangget po’ong agu pa’eng . Porong dopo ne hau sangget irus one isung agu lu’u one mata. Porong hau kali ga loko molor kamping morin agu teing sehat ami mu,” ucap Blasius.
Ungkapan adat diatas itu diterjemakan kurang lebih seperti ini: alamarhum atau almarhumah telah dipanggil tuhan semoga dosa-dosa yang dia perbuat selama hidup di dunia diampuni Tuhan jika alamarhum atau almarhumah ada dendam atau sakit hati dengan sesama selama masa hidupnya janganlah engkau bawa serta dengan jiwamu dan beristirahat kekal bersama dengan Tuhan dan doa kami sebagai keluarga dalam acara paka dia atau kenduri ini dipersatukan dalam persembahan seekor babi .
Selanjutnya ketika doa atau tudak selesai para anak wina menyerahkan Senga Pampang Wakar (uang meminta keselamatan jiwa dari almarhuma atau almarhum dan meminta perlindungan dalam kehidupan anak wina selanjutnya).
Sementara Babi yang sudah dibunuh tadi diperlihatkan urat hatinya,kalau uratnya baik biasanya kehidupan bagi keluarga akan diberkati dan anak wina meminta rejeki dengan memberikan seng wali urat di’a (memberikan uang pengganti urat hati dari babi persembahan yang baik untuk memohon rejeki dalam hidup selanjutnya).
Setelah diperlihatkan uratnya, babi tersebut dibakar setelah itu daging hati itu dijadikan Hang Helang (makanan sesajian bagi almarhum atau almarhumah serta arwah nenek moyang yang telah meninggal sebelumnya).
Hang helang merupakan acara yang paling akhir setelah itu para anak wina anak rona makan bersama di rumah duka , Anak Wina pulang ke rumah masing-masing dengan membawa dea agu nuru gatang (Beras dan daging Kenduri untuk dibawa pulang ke rumah) sementara Anak Rona membawa ayam atau kambing dan uang .
Untuk diketahui, seiring dengan perkembangan zaman dana dari Anak Wina dalam ritus ini tidak ada unsur paksaan tergantung besar dari dana yang disiapkan Anak Wina dan dana yang terkumpul dalam ritus Paka Dia ini untuk diberikan kepada Anak Rona sebagai pengganti Ela Panggal (Babi persembahan dari Anak Rona pada saat hari almarhum atau almarhumah meninggal) dan dana sisanya tergantung musyawarah keluarga rencana pemanfaatanya.( Hironimus Dale )