Ritus ‘’Poka Sawar Limbang Sama” Selamatkan Masa Depan Ratusan Anak Desa lembur

0
577
Keterangan Foto :Darius Denge (64) tokoh adat Desa Lembur

Sebuah ritus yang sudah dibangun sejak tahun 1970-an  sudah menyelamatkan masa depan anak-anak Desa Lembur,  Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur (Matim). Ritus yang dimodernisasikan pada awalnya bertujuan gotong royong bersama untuk bekerja kebun atau membangun rumah kini menjadi ritus kumpul dana dalam rangka membantu proses  biaya pendidikan anak hingga bangku kuliah,dengan ritus ini  keluarga yang berasal dari kelas ekonomi lemah  juga bisa mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah”

Desa Lembur tidak begitu jauh dari Borong ibu kota Kabupaten Matim dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun empat Desa ini dapat ditempuh dalam waktu 1 jam. Sebagian besar masyarakat desa lembur adalah petani dengan pekerjaan sehari-harinya adalah merawat cengkeh, kakao dan kemiri yang dapat membantu kehidupan ekonomi mereka.

Sejak ratusan tahun lalu warga di desa ini mewariskan budaya gotong royong yang memilki nilai begitu tinggi dimana sebuah ritus dari nenek moyang dipertahankan untuk saling membantu satu sama lain sebagai salah ritus yang membangun kesadaran masyrakat terhadap masa depan anak mereka adalah ritus “Poka Sawar Limbang Sama’’yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Desa Lembur.

Ritus Poka Sawar Limbang Sama merupakan sebuah ritus  yang tidak  asing lagi dikalangan masyarakat Desa Lembur dimana dengan ritus ini begitu banyak anak-anak Lembur bisa menjadi sukses di masyarakat.

“Anak-anak kami ada yang jadi guru, pastor, anggota DPRD atau profesi lainya karena ritus ini “ Kata Darius Denge (64) tokoh adat Desa Lembur kepada NTTsatu.com.

Ritus “Pokar Sawar Limbang Sama” menurutnya  merupakan sebuah istilah, ungkapan ataupun goet dari nenek moyang  yang diwariskan bagi warga Lembur dan sekarang dipakai sebagai ritus untuk kumpul dana membiaya kuliah anak.

Dikatakanya sebenarnya istilah ini ada kelanjutan frasanya yaitu “Poka Sawar Limbang Sama, Poka Soet Limbang Oken” yang mempunyai makna mendalam dimana suatu kebutuhan yang berat dialami suatu keluarga dalam suatu kampung tidak bisa dijalankan sendiri tanpa keterlibatan keluarga besar dan orang lain.

Budaya ini tidak hanya dipraktekkan di Lembur tetapi juga diadakan di kampung lain yang ada di kabupaten Manggarai Timur. Perbedaanya adalah  istilah dari ritus itu sendiri  namun tujuan dan maksudnya    sama yaitu mengumpulkan dana untuk biaya pendidikan anak-anak.

Alasan tradisi ini dibuat jelas Darius, karena di awal tahuan 1970-an  warga Lembur mengalami kesulitan dalam hal ekonomi lebih khusus dalam membiayai pendidikan anak  yang berada di bangku kuliah.

“Karena alasan ekonomi yang sulit untuk membiayai kuliah  sehingga ritus ini dipakai dengan tujuan kumpul dana untuk membiyai pendidikan anak,” kata Darius.

Terkait pelopor ritus ini dirinya menjelaskan bahwa pelopornya adalah nenek moyang warga lembur sendiri dimana istilah ini sudah dibangun sejak adanya desa lembur ratusan tahun lalu hingga pada tahun 1970-an dimodernisasikan untuk kumpul dana bersama dalam membantu proses perkuliahan anak-anak warga Lembur.

Dikatanya, banyak pengalaman warga yang pernah melakukan ritus ini dimana cara mengundang warga kampung dilakukan dengan surat undangan yang mana dalam isi surat undanganya  tetera kalimat besar  “Poka Sawar Limbang Sama,Poka Soet Limbang Oken” tetapi cara memakai undangan pada saat ini sudah tidak dipakai lagi  karena beberapa alasan yakni pertama ada beberapa undangan yang tidak sampai tempat tujuan, kedua penulisan nama salah kadang juga orang tersinggung dan pada akhirnya tidak hadir.

Dia menjelaskan warga sekarang lebih menggunakan cara rekadu atau “Taeng Ata” karena lebih sopan dan warga yang diundang sangat dihargai dan sudah pasti akan hadir dalam ritus tersebut.

Dia mengatakan tradisi ini hidup karena karena alasan persatuan keluarga besar dan menjaga kelestarian dari ritus ini agar tetap dipertahankan bagi generasi penerus warga Desa Lembur, selain itu ritus ini sudah membawa berkah bagi anak-anak Lembur dimana pelan-pelan perubahan ekonomi terjadi pada setiap Kepala Keluarga (KK). Kalau sebelumnya ada KK yang hanya berharap pada hasil peranian,  sekarang mereka sudah terbantu oleh anak-anak mereka yang mempunyai nasib baik atau sukses setelah tamat kuliah.

“Ada yang jadi guru, pejabat, pastor, perawat, pengusaha maupun profesi lainya dan mereka juga pelan-pelan membantu kehidupan ekonomi orang tua mereka,” katanya.

Terkait pelaksanaan ritus ini, dia  mengatakan dalam setahun seuah Keluarga biasanya hanya sekali mengadakan ritus ini dan kadang kalau satu keluarga membuat ritus ini dua kali setahun yang hadir hanya keluarga sendiri ataupun orang tertentu .Setiap tahun biasa diadakan pada bulan Mei hingga bulan September karena alasannya pada bulan ini Warga sedang mulai memanen hasil perkebunan cengkeh dan Cokelat.

Menyinggung rata-rata dana yang dikumpulkan setiap KK ,dia menjelaskan paling kurang 1 KK menyumbang dana Rp 250.000. Sementara rokok, moke dan sate itu dibayar oleh undangan yang mau memesanya. Satu botol  sopi BM (bakar menyalah) ditambah sebungkus rokok Surya dibayar dengan uang tunai sebesar Rp 70.000 bahkan ada warga yang membayar Rp100.000. Sedangkan sate per 4 lidi dihargai dengan uang senilai Rp10.000.

Tidak Merugikan Masyarakat

Sementara Vinsensius Se ( 52 ) warga yang pernah mengadakan ritus ini mengatakan, pernah mengadakan Ritus “ Poka Sawar Limbang Sama’ pada pada tahun 2012 sebagai usaha pengumpulan dana bagi dua orang anaknya yang sekarang lagi dibangku kuliah Semester 3 dan 4 di Universitas Flores  kabupaten Ende.

Dia menjelaskan,  anaknya hanya kuliah di Universitas Flores selain tidak jauh dengan kampung halamnya di Lembur juga meringankan biaya kuliah dibandingkan jika anak-anaknya harus kuliah di luar pulau Flores yang sangat memakan biaya  besar, apalagi profesinya hanya seorang guru bantu saja.

Diceritakanya,  dua tahun lalu keluarganya mengadakan ritus ini didahulu dengan pertemuan bersama keluarga intinya untuk menetapkan jadwal pelaksanaan ritus ini.

“Kita rembuk dulu bersama sanak keluarga saya sendiri terkait rencana pembuatan tenda secara bersama-sama,” katanya.

Dia menjelaskan sebelum ritus “Poka Sawar Limbang Sama” ada ritus lain yang harus diadakan baik itu sebelum dan sesudah acara yaitu malam sebelum pesta diadakan ritus “teing hang” memberi sesajian bagi nenek moyang yang dilakukan di rumah. “Dan malam sebelum acara mereka membuat ritus memberikan sesajian kepada nenek moyang dengan memberikan nasi yang dicampur dengan hati ayam, daging paha yang sudah dibakar dan sopi lalu disimpan diatas “watu Lurung“ (batu persembahan yang ada di setiap rumah di Lembur). Setelah acara pesta sekolah selesai mereka mengadakan acara  “Tutung Lilin One boa” (nyalakan lilin dan berdoa di kuburan nenek moyang mengucapkan rasa terimakasih dan mohon berkatnya senantiasa proses kuliah anak mereka dapat berjalan dengan lancer,” katanya.

Dia menjelaskan yang membantu memasak menu makanan bukan hanya keluarganya saja tetapi juga tetangga di lingkungan sekitar rumahnya.

“Untuk kegiatan masak bukan hanya keluarga saya yang membantu tetapi juga tetangga di lingkungan sekitar rumah,” ujarnya.

Vinsen menjelaskan,  dana yang terkumpul melalui ritus “pokar Sawar Limbang Sama” itu dipergunakan untuk membiayai perkuliahan anak-anaknya.

“Dana yang dikeluarkan selama acara ini kurang lebih Rp10 juta, hitungan ini berdasarkan perhitungan jumlah keselurahan dimana untuk acara tersebut ternak yang disembelih diantaranya 2 ekor babi, 2 ekor anjing, dan kebutuhan lainya seperti bumbu, gula dan kopi. Sementara rokok dan Moke yang biasa di pesan oleh undangan paskah acara makan biasanya itu di bon dulu dengan pemilik kios dan dikembalikan setelah acara selesai,” ujarnya.

Menyinggung soal hasil pesta sekolah, Vincen mengakui, sumbangan warga yang diperolehnya sebesar Rp 80 Juta. Dari hasil ritus ini ia mengatakan dana itu belum cukup membiayai kedua anakya yang mengikuti kuliah di Ende. (Hironimus Dale)

 

Komentar ANDA?