Ritus Wuat Wa’i Meminta Berkat Kesuksesan di Tanah Rantau Orang Manggarai

0
2997

“Bagi masyrkat Manggarai merantau atau mengenyam pendidikan di tanah orang bukan sekedar melangkah kaki dan berangkat dari rumah  begitu saja, tetapi melalui ritus adat setempat dengan rangkain adat  naturalis  agar kelak sukses di tanah rantau

 

MEMASUKI bulan April  hingga Agustus setiap tahun, pada umunya di Manggarai beberapa KK menyelenggarakan ritus Wuat Wa’i   meminta restu keluarga  sekaligus mohon berkat arwah nenek moyang bagi pelajar pada proses pendidikan di tingkat sekolah tinggi  ataupun perantau  pergi  mencari  nasib di tanah orang.

Di Kampung Tenda Kecamatan Langke Rembong Kabupaten salah satunya, ritus Wuat Wai sudah dibangun sejak ratusan tahun lalu. Memang pada awalnya merupakan sebuah ritus bagi masyarakat kampung Tenda  dikhususkan bagi perantau  untuk mencari pekerjaan di luar Manggarai, Wuat artinya bekal dan wa’i kaki, jadi ritus ini adalah bekal jasmiah dan bathin bagi perantau/pelajar jika dia hendak merantau atau melanjutkan pendidikan ke luar Manggarai.

Dari tahun ke tahun sejak tahun 1960-an ritus ini bukan lagi berlaku bagi para perantau tetapi bagi generasi penerus hendak melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi.

“Sekarang  Ritus Wuat Wa’i di Tenda lebih banyak dilaksanakan bagi anak kita yang hendak melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi terutama di luar Manggarai,” kata Alex Taut  tokoh adat masyarakat Tenda kepada NTTSatu.com.

Ritus Wuat Wai  mempunyai maksud meminta berkat dari arwah nenek moyang  sekaligus restu ase kae atau keluarga kudut ndeng wai kukut wuwung dengan menyumbangkan dukungan dana pada acara tersebut.

“Sumbangan dari ase kae dijadikan dana  pendukung pada kehidupa awal ketika anak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi atau  perantau,” urai Alex.

Pada zaman sekarang ini, para perantau jarang melakukan ritus ini tetapi Pada awal bulan Mei  hingga Agustus merupakan musim diadakan ritus Wuat Wa’i  di Kampung Tenda, beberapa kepala Keluarga (KK)   menyelenggarakan ritus Wuat wai  karena pada bulan-bulan tersebut  siswa/siswi sedang proses tes ataupun persiapan masuk perguruan tinggi.

Alasan lain juga, ritus ini dilaksanakan pada bulan tersebut karena pada saat bulan-bulan cerah seperti ini masyarakat Tenda sedang memetik hasil panen kopi. Hasil jual kopi dapat disisihkan untuk persiapan sumbangan dana bagi KK yang mengadakan Wuat wa’i.

 

Rangkaian Acara

Adapun urutan rangkaian acara Wuat Wa’i yang diikuti NTTsatu.com  pada (14/3) di Rumah beberapa KK  di Kampung Tenda, dimana pada malam hari dilakukan acara pemberian makan sesajen kepada arwah nenek moyang dengan penyembelihan Ayam Jantan bewarna putih melambangkan kesucian meminta berkat kepada arwah nenek moyang.

Dalam teing hang pemberian sesajen dari daging ayam jantan putih diyakini ungkapan orang Manggarai  ‘’lalong bakok du lakom lalong rombeng koe du kolem” bekal awal sebelum kita pergi sekolah atau pergi merantau adalah ayam jantan putih maknanya perantau/pelajar  sudah dibekali dengan niat hati yang putih bersih dan semoga dia pulang menjadi  Lalong Rombeng (ayam jago) melambangkan orang sukses atau orang yang berguna bagi kehidupan masyrakat.

Seperti apa yang disaksikan, pada awalnya seorang Torok (juru bicara dalam ritus ini) menyapa arwah nenek moyang dengan menyuguhkan mereka sirih pinang, setelah itu mereka dilayani dengan moke atau sopi sebagai sapaan awal memanggil arwah leluhur sesuai tata nilai adat.

Ayam jantan putih dipertunjukan oleh Torok kepada arawah nenek moyang dan kemudian dibunuh persis di tengah para ase kae (keluarga ) yang hadir dalam acara wuat wa’i.

Darah ayam dioleskan pada jari jempol kaki bagi pelajar/ perantau, diyakini darah tersebut adalah tanda proses pendidikanya akan terus dilindungi arwah leluhur atau perantau memperoleh nasib baik di tanah orang.

Torok kemudian Rahi meminta restu keluarga dan merekapun menyatakan restu dalam rupa memberikan seng kukut wuwung agu ndeng wai dana bekal dalam perjalanan dan awal kehidupan di tanah rantau.

Ayam kemudian dibakar dan diperlihatkan urat hatinya sebagai tradisi seorang Torok melihat nasib kelak dari pelajar/perantau, paha dan hati ayam dibakar untuk dijadikan hang helang makanan sesajen bagi arwah leluhur.

“Biasanya daging paha dan hati ayam  yang sudah dibakar dipotong hingga kecil dan dicampurkan dengan nasi baru dalam keadaan panas atau matang,” kata Alex.

Sesajen disuguhkan menggunakan mangkok lalu pelajar/ perantau tadi mengambil satu atau dua sendok sesajen tersebut untuk dimakan. Diyakini,  dia akan bersatu dan dilindungi arwah leluhur ketika melanjutkan pendidikan atau bekerja di tanah rantau.

Setelah acara ini pada malam hari, keesokan harinya ada juga beberapa KK  mengadakan  acara pengumpulan dana ase kae pang olo ngaung musi keluarga besar   ataupun kenalan dalam satu kampung ,proses lanjutan ini tergantung kesepakan KK sendiri bersama ase kae.

Pada proses lanjutan Wuat Wai,para undangan  dikepok atau disapa  oleh Torok dengan menggunakan  satu botol bir atau moke meminta dukungan dana.

Dulang  sebuah nampan kemudian disodorkan kepada para undangan untuk meletakan uang sumbangan diatas dulang dilayani oleh anggota keluarga yang sudah dipercayakan

Dulangpun berjalan disetiap tempat duduk para undangan. Biasanya ada yang menyumbang Rp 50 ribu hingga 200 ribu per undangan bahkan lebih,” katanya.

Bentuk sumbangan lain dari para tamu   membeli moke dan rokok yang sudah disiapkan panitia. “Rokok dan moke  dibeli dengan harga dua kali lipat dari harga aslinya,” katanya.

Dalam hal ini jika rokok surya 12 (gudang garam kretek) harganya Rp13 ribu per bungkus pastinya akan dibeli Rp 20.000 ataupun Rp 25.000 demikian pula sopi. “Harga sopi di Tenda berkisar Rp 25 ribu per botol pastinya akan dibeli Rp 50.000 per botol,” kata Alex.

Diyakini dengan melaksanakan ritus Wuat Wai perantau atau pelajar akan memperoleh kesuksesan di tanah rantau atau bagi pelajar akan menyelesaikan pendidikan tepat  pada waktunya, demikian sebaliknya jika tidak melaksanakan ritus Wuat Wa’i mereka tidak akan memperoleh kesuksesan di bangku sekolah atau tanah rantau.

 

Keaslian Ritus  Mulai Luntur

Dari rangkaian keaslian ritus Wuat Wai ,  Kampung Tenda merupakan salah satu wilayah  di Kota Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai tentu dipengaruhi oleh perkembangan zaman.

Hanya  KK tertentu mempertahankan kemurnian dari ritus Wuat Wa’i,banyak perubahan muncul dimana ase kae pang olo ngaung musi mengumpulkan uang diselimuti amplop putih “Kadang di dalam amplop isi uang tidak sesuai dengan standar apa yang diharapkan keluarga,” kata Alex

Beli moke dan rokok sudah mulai hilang berbeda jika kita mengikuti ritus Wuat Wai di luar kota Ruteng modal Rp 200 ribu tidak cukup untuk mengikuti ritus ini ditambahh jika panitia menjual menu daging sate babi di tempat acara.

“Di Kampung Tenda,  hanya dengan Rp 50 ribu atau 100 ribu sudah cukup untuk mengikuti ritus ini,” kata Alex. (Hironimus Dale)

====

Foto : Dokumentasi Alex Taut ,Torok (tengah) samping kiri torok Alex Taut saat torok menyapa arwah leluhur dengan segelas Sopi (Minumuan tradisi jenis alkohol)

Komentar ANDA?